18. Traffic Lamp
*ada sedikit adegan perkelahian, mungkin menimbulkan ketidaknyamanan*
*******************************
"Ranu!"
Aku terperanjat. Terkejut. Bara menepuk pundakku sembari memanggilku.
Aku gelagapan. Merasa bersalah karena lamunan mendistraksi pikiranku dari alam nyata.
"Iya Bar. Maaf?"
"Lo udah dapet kiriman foto dari agen model belum?" Tanya Bara sabar. Aku mengangguk.
"Kirim ya? Mau gue garap editingnya."
Aku mengacungkan jempol ke arah Bara sebagai pengganti kata yang enggan kuucapkan. Aku malas berbicara dengan siapapun. Lalu segera mengirim apa yang Bara butuhkan.
Aku lalu memutuskan menyimpan file desainku dan menutup aplikasi. Sudah setengah jalan tapi aku tidak punya niat meneruskan hari ini.
Sebenarnya beberapa hari ini aku tidak punya niat sedikit pun untuk melakukan apapun.
Resultnya adalah beberapa hari ini aku kurang fokus pada pekerjaanku.
Sungguh menyebalkan.
Pikiran subliminalku mengkhianati. Rasanya hampir seluruh neuronku hanya memikirkan tentang Tama.
Aku menatap layar handphone ku. Memandang setiap percakapan singkat dengan Tama sebelum malam itu.
Hanya untuk menuntaskan rasa rindu dan kalut yang aku pun tahu tidak akan terobati hanya dengan membaca teks demi teks.
Sejak terakhir kali kami melakukannya--maksudku terakhir kali kami kencan---, kami tidak pernah lagi bertemu.
Secara fisik maupun secara digital.
Tama tidak menelepon atau menghubungiku selama seminggu.
Bayangkan, seminggu sejak itu.
Akulah yang terus menerus berusaha menghubunginya.
Seperti gadis putus asa.
Nomernya selalu tidak aktif, dialihkan, pesan-pesan tidak terkirim, atau pesan yang tidak terbaca.
Mau tidak mau aku membayangkan skenario terburuk; ada sesuatu yang terjadi pada Tama. Nyawanya dalam bahaya.
Aku gusar, sungguh. Hampir menangis membayangkan hal yang bisa terjadi pada Tama. Kecelakaan, sakit, pembunuhan---
Aku teringat kengerian waktu menemukannya di IGD dengan luka menganga di dada.
Aku memandang jam di layar handphone. Sudah sore. Sejam lagi aku bisa pulang. Suasana di kantor lagi-lagi kurang menyenangkan.
Aku sering uring-uringan di kantor. Melamun di rooftop. Tidak menghiraukan sapaan yang lain selain Zania--- bahkan dia sering kuabaikan.
Hal yang paling mengesalkan adalah Sarah. Hubungan kami memang jadi aneh. Dia dingin sejak kasus akun gosip itu. Bahkan ketika aku 'pacaran' dengan Tama pun tidak lantas membuatnya berbaik hati menyapaku.
Aku tidak peduli. Masa bodoh dia mau berhenti mengenalku juga.
Tapi dua hari lalu dia kembali 'panas'. Menyindir bahwa pertunangan Syahdan yang batal lebih karena kehadiran orang ketiga daripada kenyataan bahwa Ayah si calonnya Syahdan mendekam di penjara dan Ayah Syahdan memutuskan pertunangan.
Aku cukup tahu akulah yang disindir olehnya.
Jadi aku menghardik Sarah yang balas menghardikku lalu kami menciptakan adegan saling memaki yang kemudian dilerai oleh Bara dan yang lain.
Tandya, untuk pertama kalinya, membelaku karena melihat Sarah sudah keterlaluan. Zania juga memilih membelaku karena dia tahu apa yang terjadi. Membuat luapan kebencian Sarah terhadapku jadi berlipat.
Oh, Astaga! Dia punya masalah apa sih?
Tapi serius, aku tidak peduli. Aku hanya emosi karena dikira perebut tunangan seseorang.
Bahkan aku tidak peduli dengan apapun yang menyangkut Syahdan sekarang. Apalagi hujan pesan yang diberikan Syahdan pun tak kuladeni.
Terbaca. Ku balas singkat lalu tidak kubaca.
Bagaimana bisa aku menghiraukan Syahdan tapi pusat pikiranku adalah Tama?
Jadi aku menunggu jam pulang dan sadar bahwa untuk pulang pun rasanya segan.
Dalam kegamangan tiba-tiba terbesit suatu pikiran yang menusuk.
Skenario terburuk lagi-lagi tercipta dalam otakku; Tama berusaha mencampakkanku dengan cara yang ia tahu. Perlahan dan manis. Lalu meninggalkan tanpa kabar.
Sudah ada berapa kasus perempuan yang dicampakan setelah memberikan kegadisannya dengan sukarela? Kalau dihitung, mungkin ratusan. Dan mungkin saja aku akan jadi yang kesekian.
Drama lainnya.
Aku meraih tasku. Bergegas pulang.
Sialannya, aku memang jatuh cinta kepada Tama. Tapi jika memang dia ingin mencampakkanku, campakkan sekarang sehingga aku tidak perlu jatuh terlalu dalam.
Jalanan sore hari ramai. Membuatku tambah jengah. Aku lalu berbelok ke sebuah jalan perkampungan di sisi sungai. Jalur alternatif yang memakan waktu dua kali lipat.
Setidaknya di sini lengang.
Aku memandang langit jingga sedikit lembayung. Matahari tenggelam berwarna merah muda besar tampak cantik. Aku memutuskan berhenti di sisi jalan.
Melihat pemandangan ini di balik kemudi. Menatap nanar.
Kuingin ini cepat berakhir.
Aku terlena dengan pikiran dan pemandangan yang ada di depanki, ketika aku sadar bahwa sudah masuk petang hari.
Aku buru-buru menghidupkan mesin.
Jalur ini lengang bukan tanpa alasan. Selain memakan waktu lama, jalur ini terkenal karena banyaknya aksi begal. Korbannya biasanya pengendara sepeda motor.
Tapi walaupun begitu aku harus waspada juga.
Aku mengendarai mobil di jalanan yang mulai menggelap. Lampu jalan temaram tidak banyak membantu.
Selama perjalanan aku sedikit cemas akan menemukan sesuatu yang berbahaya.
Tapi melihat ujung jalan, aku lega. Beberapa meter lagi aku akan keluar dari sini, tinggal melewati jalanan diantara pematang ilalang dan lahan tebu.
Baru saja berucap syukur, aku melihat sesuatu yang mencekam.
Di dekat pematang, segerombol orang ada di sana.
Lebih tepatnya, seseorang pengendara motor dikelilingi banyak orang dengan senjata tumpul.
Oh tidak.
Aku menyaksikan aksi pembegalan. Mana mereka berkelahi lagi. Satu lawan berapa itu? Astaga! Lima!
Aku sekilas melihat motornya. Itu motor yang pernah ditaksir Syahdan. Apa sih namanya? Ah. Z1000. Kata Syahdan seharga sembilan digit nol. Tapi dia urung karena bakalan tidak ada waktu memakainya. Dia tipe pemakai SUV.
Yah kamu pakai motor di daerah seperti ini. Apalagi yang ngejreng begitu.
Apa aku langsung pergi saja ya? Tapi kasihan. Sekilas kulihat tampak seperti masih anak-anak.
Ah orangtua jaman sekarang. Tolonglah jangan ngasih kendaraan macam-macam ke anak.
Aku tidak tahu apa yang aku pikirkan, tapi sedetik kemudian aku melajukan mobilku melewati mereka. Beberapa dari mereka berhenti mengeroyok si bocah hanya untuk memberiku pandangan mengintimidasi.
Aku melewati mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka membiarkanku karena merasa aku termakan intimidasi mereka.
Salah.
Aku berhenti beberapa meter dari mereka, lalu aku mengklakson mobilku berkali-kali. Suara nyaring memekakan terdengar. Tapi aku tidak peduli.
Benar saja, mereka panik dengan apa yang aku lakukan. Mereka bingung sendiri lalu kemudian berinisiatif mengejarku.
Aku injak pedal dan langsung ngebut ke jalan utama. Taruhan, coba saja kejar aku sampai jalan besar dan mereka tidak akan aman dari barisan pos polisi di sana.
Semoga si bocah sadar tak-tik ku dan cukup cerdas untuk mengendarai motornya pergi dari situ.
Aku memandang dari spion tengah dan samping. Mereka mengejarku.
Oh, sial. Ini yang kamu dapatkan menjadi warga teladan. Dikejar begal penuh amarah.
Aku mempercepat mobilku, berharap kecepatan yang sedikit di luar batas yang ditentukan akan menarik polisi manapun lalu mereka mengejarku.
Lebih baik aku ditilang daripada berpacu dengan bahaya.
Aku segera membanting stir ke kanan, berbelok tajam saat lampu lalu lintas nyaris menyala merah. Untung aku tidak menggasak para pengendara di belokan itu.
Aku tahu aku berhasil ketika aku melewati lampu lalu lintas kedua dengan aman tanpa gangguan dikejar. Aku tidak melihat mereka.
Lalu di lampu lalu lintas ketiga yang menyala merah, tidak tampak adanya pengendara yang bermaksud mengejarku. Toh kalaupun ada, aku tinggal lari lalu belok ke pos polisi yang tampak seperti safe haven lima puluh meter di depan.
Aku menghela nafas panjang.
Woaah Ranu, kau baru saja melakukan aksi berbahaya. Ha! Memangnya hanya Tama yang bisa?
Ah sial. Ingat lagi kan? Jadi galau lagi, kan?
Aku terlonjak kaget dan latah memaki ketika jendela mobilku diketuk. Apakah mereka berhasil mengejar?
Tapi harusnya bukan ketukan, kan?
Ternyata bukan.
Itu bocah tadi. Dia berhenti di sampingku.
Aku menurunan kaca sedikit. Menatapnya defensif. Apa maunya? Kenapa tidak pulang saja dan merasa aman?
"Hei, terimakasih." Ujarnya sembari tersenyum kecil.
Hmmm tidak perlu sebenarnya.
Aku mengangguk singkat "tidak masalah."
"Tapi sebenarnya aku bisa lakukan sendiri tadi, tapi tetap saja terimakasih banyak." Ujarnya. Aku menyerngit.
Lumayan songong juga ini bocah.
Aku tahu usia remaja adalah usia dimana hormon adrenalin meletup-letup tidak terkendali. Tapi tolong dong Nak bedakan antara sikap ksatria dan sikap ingin bunuh diri.
Serius, aku agak menyesal menyelamatkan bokongnya tadi. Dia tidak sayang nyawa. Lihat, bahkan dia tidak pakai helm.
Tapi aku tersenyum ke arahnya.
"Aku punya saran, dik." Ujarku, masih dengan nada yang manis dan senyum memgembang
"kalau belum cukup umur, bawa motor matic biasa dan jangan pancing begal pakai motor mahal pemberian orangtua. Nah, pulanglah atau ikut bimbel sana."
Aku segera melajukan mobilku tepat beberapa detik setelah kalimat barusan lampu menyala hijau. Efek dramatisasinya tepat sekali.
Aku sedang uring-uringan dan entah aku ingin melampiaskannya kepada semua orang.
Hahaha Ranu, sekarang kamu yang hormonal. Sana pulang, mandi sambil lihat film drama apapun agar emosimu terkuras dan kamu kembali normal.
***********************************
Ernest mengerjap beberapa kali.
Mencerna apa yang baru saja dilontarkan perempuan cantik itu dari mulutnya yang tersenyum.
Ia baru tersadar ketika suara klakson kendaraan di belakangnya meraung. Ia akhirnya melajukan motor besarnya yang memang harus diakui agak terlihat besar untuk posturnya.
Tapi motor ini motor kesayangannya.
Dia berhasil mencerna kalimat perempuan itu setelah berkendara beberapa saat.
Brengsek. Lagi-lagi dia disalahpahami sebagai anak sekolahan.
Tapi dia terkekeh kecil, tidak menyangka bahwa orang yang cukup nekat membantunya adalah perempuan. Ia sebenarnya memang tidak begitu kesulitan menghadapi preman begal tanpa fraksi yang baru saja membegal salah satu anak buahnya.
Mereka tahu Ernest adalah ketua preman dan tahu kekejamannya.
Tapi mendapati Ernest membalas dendam sendirian di wilayah mereka, mereka bagaikan kumpulan hyena haus mangsa.
Mereka pikir mengeroyok Ernest akan membuat pria itu terkapar dan menaikan reputasi mereka yang 'hanya' preman rendahan.
Tapi mereka salah.
Ernest sudah mematahkan beberapa gigi dan hidung serta meretakkan rahang sebagian dari mereka.
Ernest sudah akan menghabisi semuanya ketika mobil perempuan itu datang dan Ernest kira akan melewati mereka begitu saja karena ketakutan.
Tapi malah mengklakson dan membuat panik yang tersisa.
Tentu saja mereka mengejar pemilik mobil itu.
Tapi Ernest dengan sigap naik ke motornya dan mengeluarkan sebuah katana---pedang yang dipakai para samurai Jepang--- dari balik bajunya lalu menebas kaki dan punggung para preman begal yang menyetir mengejar mobil penyelamatnya.
Ambruk, tentu saja. Kalau pun mampus juga Ernest tidak peduli.
Dan Ernest cukup terpana juga mendengar kata-kata tajam perempuan itu. Cantik dan bermulut tajam.
Entahlah, Ernest merasa memiliki banyak kemiripan dengan perempuan itu, dalam hal beramah tamah kepada orang.
Ernest kembali terkekeh diantara desingan angin yang menerpa selama ia berkendara. Sedikit berharap bertemu dengan perempuan itu di kemudian hari dan meluruskan kesalahpahaman; dia bukan bocah puber.
Dia laki-laki berbahaya.
****************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top