17-Scream Your Name
Eh saya sudah bilang kan kalau cerita saya mesum 21++? Nah sekarang ada adegan ena-ena ⚠. Kalau masih ingin suci, skip yang akhir-akhir saja. I love you.
Maaf ya tadi nggak sengaja ke publish. Kebiasaan hahahaa.
Oh ya maaf telat update. Harus beres2 ini itu menjelang liburan panjaaang. Btw, saya sudah ijin Cast nya Tama kalau dia dipake buat bahan imajinasi (tokoh) Tama (jangan dibuat imaji yang lain ya hahaha) Saya diketawain. Tapi dia bilang oke.
*Coret* tapi saya gak bilang ke dia kalau cerita saya adalah cerita cabul *coret*
Ya kalau ketahuan terpaksa cari lagi --kalau dia keberatan-- T.T
But again, this is contain adult materials. Please be wise because I love you.
*******************
"Lo nembak anak kijang ya?"
Tama menghisap rokoknya sejenak, lalu menghela nafas. Dia mengangguk agak masa bodoh ke arah pria yang duduk di dalam mobil bersamanya.
"Iya." Jawabnya sambil menawari Gandi, pria tersebut, rokok. Gandi mengambil satu. Menyalakannya.
"Jangan ngelakuin hal-hal yang nggak perlu." Ujar Gandi "nembak itu tugasnya panah. Lo cuma nyari info aja."
Tama terdiam. Rahangnya mengeras "dia ngelawan. Lagipula..." Ada jeda.
"Apaan?"
Masalah pribadi, ujar Tama dalam hati.
"Nggak." Tama menggeleng "Wajahnya ngeselin. Kesel aja gue, Bang."
"Haah?" Gandi hampir tidak percaya. Ingin tertawa "lo ini kadang lucu ya? Untung semua udah ke cover. Tapi lo jadi menghadap?"
Tama mengangguk "gue sempet nggak paham tiba-tiba di HT suruh 1-2. Apaan dah. Ternyata gue disuruh ngehadap ke Komandan lo langsung, Bang."
"Disemprot lo?" Tanya Gandi, senyum prihatin menghias bibirnya secara reflek.
"Ya, mau gimana lagi. Lo punya Komandan galak bener sih Bang. Untung info gue banyak. Jadi gue nggak diapa-apain." Tama tersenyum miring "cuma diancem, kalau gue sampai ngrusak targetnya, gue bakal dipenjara gara-gara kasus penganiyayaan."
Gandi terkekeh.
"Kalau lo sih gue tebak bakalan masa bodoh kalau disemprot gitu sama Komandan. Bener nggak?"
Tama spontan tertawa "gara-gara itu gue dimaki sama Komandan lo, Bang. Katanya Serigala Selatan itu tai semua. Dia sampai sumpah nggak bakalan minta bantuan kita lagi."
"Halah," Gandi mengibaskan tangannya "bentar bakal nyuruh lagi. Apalagi Danny yang agen dia udah nggak ada." Gandi lantas tersadar, lalu menelan ludah "gue turut berduka ya."
Tama tersenyum pelan dengan cepat. Tidak ingin terbawa perasaan sentimentil.
"Biasanya yang berdedikasi kalau sama bawahan galak minta ampun." Ujar Tama menambahkan, mengalihkan. Ingatannya berkelebat "dalam artian yang bagus."
Dia teringat pemimpinnya sendiri. Ketua preman. Emosional dan sadis. Berdedikasi kepada kelompok. Bagaimanapun, anak buah premannya yang slengehan termasuk dirinya tidak akan berkutik kalau bos mereka sudah emosi.
Namun akhir-akhir ini, ironisnya, Tama justru lebih sering berurusan dengan polisi daripada di lingkungan premannya.
Katakan saja, Tama memang sudah di'daulat' sebagai agen polisi. Dia menyediakan informasi untuk intel kepolisian. Berbagai kasus, lebih sering Narkoba.
Tama bukannya dengan senang hati melakukannya; pertama atas perintah orang berpengaruh di kelompoknya, Danny si lingkar dalam kelompok mereka. Orang kepercayaan ketua mereka.
Kata Danny, jika kita 'bekerja sama' dengan polisi akan memudahkan akses informasi bagi kelompok mereka juga.
Dan tentunya 'menjaga' agar hubungan mereka tidak merembet ke hal-hal yang membahayakan kelompok Serigala Selatan. Karena bagaimanapun, polisi dan preman adalah dua kutub bersebrangan yang ingin menghancurkan satu dengan yang lain.
Penegak hukum dan pengganggu keamanan.
Jadi sebisa mungkin jauhkan polisi dari hal-hal yang mengganggu aktivitas mereka. Kalaupun ada anak buah mereka banyak yang ditangkap karena perbuatan mereka di jalanan, jangan sampai hal tersebut menghancurkan kelompok mereka.
Lalu yang kedua, Tama sebenarnya juga butuh informasi untuk dirinya sendiri.
Tama kemudian jadi ingat saat menembak target di hotel beberapa minggu lalu. Target kasus penadahan barang-barang ilegal dari luar negeri. Ini kasus 'sepele', kenapa para polisi itu tidak melakukannya sendiri saja, sih?
Tapi toh, Tama tetap bersedia melakukannya.
Seharusnya dia hanya memata-matai dan mengorek informasi menggunakan 'jasa' Dahlia sebagai perempuan panggilan sekaligus memberinya ganja karena pria itu pecandu berat,
Tapi tiba-tiba urusan itu menjadi masalah pribadi manakala target itu menyeret Ranu ke kamarnya dan menganiyaya wanita itu.
Tama berusaha meredam amarahnya. Berusaha membuat garis bayangan antara urusan pribadi dan urusan lainnya.
Tapi melihat pipi Ranu sedikit memar kala mereka bercumbu, membuat ia kalut. Ia merasa harus menuntaskannya. Ia tidak tahan. Ia masuk ke kamar 469 dan menanyai si target yang sedang teler ganja dan masih menikmati sisa nafsu.
Sebenarnya mereka berdua sama-sama masih dilingkupi nafsu, tapi setidaknya Tama tidak teler.
Mendapat perlawanan, Tama yang semula membawa senjata hanya untuk berjaga-jaga, malah menodongkan ke dahi pria itu.
Beruntung, Tama tidak lepas kendali dengan melubangi kepalanya, cukup menembak tulang kering pria itu dengan senjata api berperedam.
Dengan emosi yang aneh, Tama mulai menginterogasi targetnya itu dengan hal-hal yang, katakan saja, kurang manusiawi.
Memang benar, dia tidak perlu bertindak sejauh itu. Dia cuma preman yang kebetulan agen informan polisi. Dia tidak punya hak menganiyaya target, untuk hal apapun.
Tapi Tama, sekali lagi, dilingkupi emosi yang aneh. Urusannya dengan pria itu sudah menjadi urusan pribadi bagi Tama.
Namun justru Tama mendapatkan informasi lebih dari sekedar kasus penadahan; pria itu ternyata terlibat dengan jaringan perdagangan manusia berkedok penyalur tenaga kerja.
Tama menahan nafas.
Dia ingat dia semakin membabi buta mengorek informasi itu lagi, tapi targetnya keburu pingsan. Mau tidak mau Tama menghubungi Gandi dan rekan-rekan personilnya, sekaligus menyerahkan rekaman interogasi.
Informasi terakhir yang ia dengar dari pengakuan pria itu adalah satu alasan Tama bersedia menjadi agen polisi.
Tapi ia tidak bisa mencampuri lagi urusan itu. Itu kasus berat. Di lain sisi, dia sangat menginginkan informasi itu.
"Bang," panggil Tama "gue boleh minta imbalan soal informasi Narkoba kemarin, nggak?"
Tama menoleh ke arah Gandi, memandang polisi preman itu tegas namun penuh pengharapan.
"Kasus transaksi antar negara kemarin? Lo minta apaan?" Tanya Gandi. Tama menatap serius.
"Gue minta informasi kasus human trafficking kemarin, pengembangan dari kasus penadahan. Lagian gue juga ikut andil ngebongkar."
"Lo buat apa?" Kernyit Gandi heran.
"Ada..." Tama gamang "ada yang perlu gue selidiki lagi, Bang."
"Udah bukan tugas lo lagi, Tam. Lo santai aja sekarang, kenapa?" Gandi menghisap rokoknya "ya tapi kurang-kurangin kegiatan preman lo. Ganteng-ganteng gini jadi preman."
Tama menarik nafasnya. Ia harus mencoba segala kemungkinan.
"Gue nggak minta banyak, Bang. Gue cuma minta data aja. Data korban mereka terus kemana aja mereka dibawa." Ujar Tama serius dan dingin.
Gandi merasakan itu. Ada intensitas aneh dari Tama. Gandi menghela nafas.
"Susah itu Tam. Gue nggak bisa seenaknya ngasih ke orang lain, apalagi bukan polisi."
Harusnya Tama tahu. Sia-sia.
"Tapi," Gandi melanjutkan sembari mengusap dagu "lo udah ngebantu banget soal Narkoba sama Tiongkok kemarin. Belum lagi kasus yang terakhir kemaren berkembang di luar dugaan. Kalau data-data mungkin gue bisa usahain. Tapi gak janji."
Tama mengangguk mengerti. Ia lalu mematikan rokoknya. Menyalakan mobil.
"Gue antar balik, Bang." Tama menjalankan mobilnya. Deru halus mobil sedan Tama meninggalkan jejak ban. Berlalu ditelan senja.
************************************
"Ngg... Tama... Ah..."
Desahan keras lolos dari mulutku. Jemari Tama mengacau ke dalam diriku secara cepat. Membuat irama yang bersaing dengan serangga malam.
Nafas kami sama-sama memburu.
Aku mencengkram bahu Tama erat. Aku tahu kami bakal melakukannya malam ini. Bersetubuh lagi.
Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini dan di tempat yang.... Tidak terduga.
Seharusnya kami akan berjalan-jalan Sabtu pagi ini dan menonton film sorenya.
Tapi ternyata proyek iklan kosmetik membutuhkan karyawan yang terlibat mengambil lembur di hari Sabtu.
Jadi kami merubah rencana; kami akan bertemu di petang hari. Setelah menyelesaikan lembur hingga Sabtu sore, Tama akan menjemputku ke kantor. Jadi aku berangkat naik taksi.
Kami putuskan untuk jalan-jalan saja sebentar sembari menghabiskan malam berdua melihat tayangan luar negeri di stasiun TV berbayar. Kebetulan, kami memiliki selera film sama.
Lagipula, entah kenapa aku memiliki keyakinan dia akan menginap di tempatku.
Tapi aku salah.
Dia tidak langsung ke apartmentku. Dia justru membawaku ke perbatasan luar kota, ke bukit yang dikenal sebagai Bukit Cahaya.
Tempat yang biasanya dijadikan spot untuk berfoto para pemuda-pemudi karena dari bukit itu bisa terlihat pemandangan kerlap-kerlip Metro Jayatri.
Kami akhirnya memilih spot sedikit menanjak dekat hutan. Tempat yang lumayan sepi dibanding spot datar luas yang biasa dipakai anak-anak muda menghabiskan malam Minggu melihat pemandangan Metro.
Kami duduk di kap mobil sedan milik Tama, menangkap imaji gemerlap kota metropolitan itu dari atas. Tampak bercahaya dan penuh warna.
"Kita kayak anak muda jaman sekarang nggak sih, ngelihat pemandangan kota dari bukit?" Aku bertanya, sedikit terkekeh. Tama menyampirkan jaketnya ke bahuku agar aku hangat.
"Ranu nggak suka?" Tanya Tama, bertopang kepada kedua tangannya "kita pindah?"
"Suka, kok." Sergahku "hanya saja, aku ngerasa terlalu tua melakukan ini. Terakhir aku kesini waktu kuliah. Tahun baru sama temen-temen."
"Oh, ya?" Tama tampak tertarik "udah punya pacar waktu itu?"
Aku mengedikkan bahu, "Ngg, cuma deket sih. Lagian dia kakak angkatan yang selalu sibuk di badan eksekutif mahasiswa."
Tama terkekeh pelan "Satu lagi orang yang menyia-nyiakan keindahan."
"Apa?"
"Nggak. Nggak apa-apa."
Aku mengernyit, tapi kemudian aku melihat lagi pemandangan di depanku.
Kami mengobrol. Mengalir seperti angin malam waktu itu. Tenang dan sejuk. Dia menceritakan keluarganya; Ibu yang sudah lama meninggal sejak kecil dan Ayah yang menyusul meninggalkan mereka selamanya setahun lalu. Meninggalkan Tama bersama kakak perempuan satu-satunya, pengganti ibunya sejak dulu.
"Kakakmu sudah menikah?" Tanyaku. Tama menggeleng. Pandanganya menerawang.
"Berarti sekarang sama kakak aja?"
"Sendirian." Jawab Tama singkat.
"Eh? Tapi katanya...."
Tama menghela nafas setelah jeda sejenak "Lima tahun sebelum Ayah meninggal, kakakku kabur dari rumah. Kabur dengan pacarnya yang nggak direstuin sama Ayah."
"Oh, astaga..."
Tama tersenyum kecut "mungkin itu yang membuat penyakit Ayah semakin parah. Apalagi anaknya yang ini malah kemudian ikut-ikutan nggak bener."
Aku memandang Tama yang masih menatap pemandangan di bawah.
Aku ingin bertanya lebih jauh agar dia bercerita semua rahasianya, semua beban hidupnya. Kalau bisa aku ingin memaksanya untuk itu.
Jikalau memang Tama terlibat hal-hal berbahaya, ada tekad aneh dalam diriku untuk berada di sampingnya. Sebagai penguat.
Tapi aku urung melakukannya. Katakan saja aku terpedaya laki-laki ini. Aku tidak ingin mendesaknya menceritakan semua rahasianya.
Karena mungkin ---aku akui walau gengsi-- justru karena mendesaknya sedemikian rupa, aku takut dia justru akan meninggalkanku.
Bukannya laki-laki semakin ditekan, dia akan pegi?
Astaga... Ada apa denganku? Aku membutuhkan Tama seperti orang ketagihan.
Mungkin aku mulai jatuh hati kepadanya. Aku tidak tahu. Namun yang jelas ada suatu perasaan tumbuh.
Jadi, untuk menyalurkan afeksiku kepada Tama, aku malah menyentuhkan jemariku ke jemarinya. Aku membiarkan kulit kami bertemu.
Untuk beberapa saat, tidak ada respon darinya. Ujung jemari kami hanya saling bersentuhan.
Tapi kemudian, jemari Tama merengkuh jemariku. Menyalurkan gelenyar dan debaran. Ibu jarinya mengusap ibu jariku lembut.
Aku menoleh ke arahnya. Dia sudah lebih dulu menatapku sayu. Sudah sejak kapan ia memberikan tatapan itu?
Lalu tangannya bergerak naik ke pipiku, menarik pelan kepalaku agar mendekat ke wajahnya. Aku merasakan nafasnya yang hangat di udara yang dingin. Lalu bibir kami bersentuhan.
Ciuman ringan. Untuk menuntaskan rasa rindu kami.
Ciuman dalam. Untuk rasa haus akan satu dengan yang lain.
Lalu ciuman itu melibatkan lidah, gigitan, dan intensitas yang semakin cepat. Memagut bibir, menyesap lidah, dengan jemari saling mencengkram rambut.
Ini adalah ciuman hasrat. Hasrat untuk menyatu.
Lalu tangan kami saling menjelajah di tempat yang berbahaya. Menelungsup ke balik baju.
Kami seperti hilang dalam dunia kami sendiri. Nafsu jelas membutakan akal kami.
Tapi kemudian Tama melepaskan ciumannya.
"Ini tempat umum Ranu." Ujarnya sedikit terbata "mungkin sebaiknya kita lakukan di hotel atau apartment mu..."
Aku menatap mata tajam Tama, tidak membalas pernyataannya. Tatapan kami bertemu, membuat kesunyian di antara kami. Lalu aku memagutnya lagi. Kami berciuman lagi, dan tangannya sudah kembali masuk ke dalam kemeja atasanku.
"Aku ingin sesuatu yang... Beda. Liar." Gumamku akhirnya disela ciuman kami "lakukan disini..."
Oh sial. Apa yang aku pikirkan sih? Aku mungkin saja terpacu hormon dopamine. Atau adrenaline. Atau noradrenaline. Ah, masa bodoh, yang jelas tubuh, otak dan naluriku mendikte agar aku menyatukan tubuhku dengan tubuhnya di sini. Menantang etika.
Aku dapat merasakan tubuh Tama menegang.
Tama mengerti gumamanku.
"Ranu?" Panggilnya, memastikan ucapanku. Berhenti menciumku.
"Maaf," aku tersadar, melepaskan diri "aku... Aku lepas kendali. Aku tidak tahu kenapa, tapi..."
Aku menggigit bibir. Tama menungguku menjelaskan.
"Aku ingin melakukannya di sini. Di tempat terbuka." Aku membuang nafas. Berkata jujur.
Sejenak dapat kulihat manik Tama membesar. Dia pasti terkejut kalau ternyata aku bisa senakal dan se ekhibis ini.
Tapi kemudian dia kembali menatapku sayu. Mengelus pipiku.
"Ranu, di sini berbahaya." Ujarnya "orang, binatang--"
"Iya. Tapi aku bersamamu. Apalagi yang lebih berbahaya daripada kamu?" Potongku.
Tama mendengus geli. Merasa tertohok aku sindir. Lalu ia mencium singkat bibirku.
"Kita lakukan di tempat yang bermartabat. Di tempat yang bisa membuat Ranu nyaman melakukannya." Ujarnya.
Aku menghela nafas.
"Kamu tahu?" aku tersenyum pelan "kamu selalu memperlakukanku dengan hati-hati. Sebisa mungkin membuatku nyaman. Aku suka caramu yang manis itu. Hanya saja..."
Aku menatap tajam ke arah manik Tama. Meyakinkan dirinya.
"Mari berbuat liar sekali-sekali. Bagaimanapun aku ingin merasakan sensasi apapun bersamamu. Manis, lembut, kasar, nyaman, sembarangan, spontan..."
Tama memandang lurus ke arahku.
"Aku ingin menjadi gadis nakal sekali-sekali. Aku hanya seorang yang kadang bisa berfantasi se aneh itu dan aku hanya yakin melakukannya denganmu--"
Aku tidak bisa meneruskan, Tama menangkap bibirku. Memagutnya.
"Itu nggak aneh." Gumam Tama "aku senang akhirnya Ranu menginginkanku seperti itu. Bukan hanya aku yang berfantasi bersama Ranu."
Wajahku pasti memerah. Untung saja gelap.
"Baiklah." Kini suara Tama mulai berubah, dalam dan berbahaya "setidaknya kita akan mencari tempat yang sedikit tertutup."
Lalu di sinilah kami berakhir; di bawah pohon, di rimbunan semak. Beralaskan semacam tikar piknik sebagai alas dan sehelai kain wol tebal yang kuasumsikan selimut milik Tama sebagai penutup tubuh setengah telanjang kami.
Ini benar-benar gila.
Maksudku, aku tidak menyangka pikiranku bisa segila ini dan Tama mau mengabulkannya!
Melakukannya di semak-semak. Oh Astaga, mirip sekali dengan pasangan tindak asusila tidak modal yang sering dicibir karena pemilihan tempat untuk bersenggama. Atau wanita tuna susila yang dibawa pelanggannya di sembarang tempat.
Beberapa waktu lalu aku akan turut mencemooh tindakan macam ini. Tapi sekarang justru aku yang memintanya.
Dan sungguh aku menikmati hal gila ini.
"Tamaah..hah, hah..." Jemari Tama semakin menggila, nafasnya di leherku dan giginya yang menancap di kulitku mengirimkan sinyal-sinyal birahi.
Tama melepaskan jemarinya ketika ia puas mengaduk ke dalam diriku. Aku mengambil nafas yang putus-putus. Suara kendaraan jauh lalu lalang di belakang, tapi pepohonan dan semak melindungi sosok tidak senonoh kami.
Gelap.
Tidak ada penerangan selain cahaya Metro Jayatri di bawah sana, lampu sorot kendaraan yang menikung di jalan raya yang sesekali lewat menembus pepohonan, serta bantuan kecil dari cahaya senter handphone Tama dan sinar bulan.
Lalu setelah melihatku bernafas tenang, Tama mulai merunduk, membuka kedua tungkai kakiku. Menyeruakan kepalanya diantara paha, membuka labia dengan jemarinya.
Lalu lidahnya masuk. Mencicipi. Menjilat dan menelusuk.
Aku melolong. Mendesah geli dan nikmat. Risih karena ini pertama kali Tama melakukannya. Lidahnya bahkan menggoda clit.
Tapi aku menyukainya.
Aku mencengkram rambut Tama, mendesahkan namanya tidak beraturan. Kakiku bahkan tidak bisa diam, sehingga Tama harus menahannya dengan tangannya.
"Tamaaa...Ngg.. Tama...." Aku semakin meracau. Aku akan sampai. Menyadarinya, Tama justru berhenti. Ia lalu mengusap mulutnya dengan ibu jari, lalu menciumku.
"Mmm.." erang Tama di sela ciuman "punya Ranu nikmat. Sungguh. Aku mau melahapnya sepanjang malam..."
Aku tahu itu tadi sangat amat cabul. Tapi jika Tama yang mengucapkan, justru membuatku semakin bergairah.
Tama meremas payudaraku, memainkan ujungnya sembari masih memagutku. Aku menahan semua gejolak ingin mendesah.
Lalu kami mencari oksigen. Mengadah. Menatap langit dengan mata berkabut nafsu.
Pakaian kami sudah tidak berbentuk. Tama hanya memakai kausnya dan celana jeansnya melorot hingga paha. Kejantanannya menantang, aku sudah memanjakannya tadi di awal.
Sedangkan aku hanya menyisakan kemeja yang sudah terbuka semua kancingnya. Menampilkan tubuh bagian depan yang polos. Bahkan pakaian dalamku sudah tidak menempel tubuh. Bekas gigitan Tama di seluruh dada dan leher. Puncak dadaku menegang karena dingin dan nafsu. Serta gigitan.
Kami benar-benar kacau.
Tama membimbing tubuhku, berbalik. Dengan posisi memunggunginya. Secara reflek, ku rendahkan tubuhku. Menungging. Memegang erat pohon tempat kami bersandar. Merasakan bonggol-bonggol kasar kulit pohon.
Lalu aku mendengar suara robekan.
Aku tahu Tama menyiapkan pengaman untuk dirinya. Memakainya dalam keheningan.
Dia menepati janjinya.
Aku menggigit bibir manakala ia memasuki dari belakang. Memelukku dan menghujam. Memompa.
"Agh, Agh..."
Tama mengerang, memompaku lembut. Tangannya meremas payudaraku, memilin puncaknya. Hal itu justru membuatku gila.
Aku mendesah. Ini benar-benar luar biasa. Sungguh. Gila dan luar biasa. Aku merasa seperti manusia prasejarah. Melakukannya secara sembrono di segala tempat. Seolah tujuan kami hanyalah bereproduksi.
Tapi justru itu yang memacu hasratku naik ke kepala. Sesuatu yang sangat liar dan 'mentah' (serta tidak bisa disebut legal) seperti ini malah membuat libido naik.
Oke baiklah. Aku mungkin saja memiliki kelainan seks. Tidak apa-apa, kata-katai saja aku.
Aku melolong semakin keras manakala hujaman Tama semakin dalam, memompa semakin cepat. Erangan Tama membelah suara malam, sungguh seksi.
Aku merasakan gesekan dengan kulit pohon, membuat kulitku sedikit bergurat kemerahan dan luka.
Tama tahu.
Ia lalu melepaskan dirinya. Membimbing tubuhku lagi. Berbaring. Ia menatap mataku dari atas.
"Ranu, jika aku kelewatan, tolong kasih tahu." Gumamnya disela deru nafas. Mengusap gurat lecet di dadaku. Menciumnya lembut.
Aku menggapai wajahnya, membelai.
"Itu tadi... Luar biasa. Lakukan yang kamu inginkan." Desahku.
Tama membuka kakiku. Mencium sejenak, lalu menyiapkan diri. Memasukiku. Menusuk.
Aku menjerit penuh nikmat.
Tama mengerang. Memompa lagi. Aku mencengkram kalung Tama untuk mengalirkan rasa nikmat. Tanganku membekas kemerahan.
"Ranu, Akh... Ranu...." Tama meracaukan namaku "Oh, nggg..."
Gerakannya semakin liar dan cepat. Aku tahu Tama akan segera sampai. Aku merapatkan kakiku di punggung Tama, menjepit miliknya lebih kuat.
Gerakan Tama tidak terkendali. Ia menggigit bahuku. Mengerang.
Lalu tubuhnya tenang. Aku tahu dia sudah sampai.
Begitu pula hasratku.
Tama ambruk di sampingku, mengatur nafasnya. Aku beringsut berbaring di atasnya. Tama memelukku.
"Aku masih nggak percaya..." gumam Tama "nggak kusangka Ranu penuh kejutan."
"Kamu nyesel?" Tanyaku.
Tama tergelak "Aku senang! Astaga itu tadi hebat!"
Tama lalu mencium puncak kepalaku "Kita lakukan sesekali yang seperti ini, kalau Ranu ingin." Ujar Tama. Matanya berkilat nakal "tapi selebihnya, kita lakukan di tempat tertutup. Demi keselamatan Ranu. Aku nggak mau tiba-tiba ada orang iseng ngerekam kita lalu kesebar."
Ah, aku bodoh tidak memikirkan sejauh itu.
"Aku mungkin bisa mencegahnya sebelum tersebar lebih luas, tapi bagaimanapun, aku nggak mau tubuh Ranu dilihat orang lain. Lalu,"
Tama menangkup dadaku, tersenyum jahil "ini jangan sampai kedinginan."
"Apaan sih!" Aku memukulnya pelan. Tama tergelak. Lalu dia bangkit, meraih semua pakaianku yang terlepas. Memeberikannya padaku.
Ia membenahi bajunya, membereskan pengamannya, memasukan ke kantung plastik dan membuangnya di trash can di dalam mobilnya.
Lalu kami setuju untuk kembali pulang dan dia memutuskan menginap ke apartment ku setelah membereskan kekacauan yang kami buat.
Aku sudah siap ketika handphone Tama berbunyi. Ia lalu menerima panggilan keluar. Setelah beberapa saat dia kembali.
Tatapannya berubah serius.
"Ada apa?" Aku bertanya. Tama menggeleng. Ia menghela nafas.
"Bukan hal penting." Ia lalu melaju, meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan, Tama mengobrol seperti biasa. Kadang ia melontarkan gurauan absurd (dia kadang melucu. Receh tapi lucu) dan kadang memberitahu beberapa tempat yang aku tidak tahu.
Tapi auranya berbeda.
Seperti kalut. Aku tahu itu.
Lalu sejam kemudian, kami tiba di depan apartment. Tama tidak memarkir mobilnya di basement. Ia berhenti di depan.
Aku memandangnya bingung.
"Tam..."
"Maaf, menginapnya lain kali. Aku ada urusan." Ujarnya tenang. Tapi dingin.
Aku ingin menolak. Melarangnya dan bertanya ada apa. Tapi aku urungkan. Aku tersenyum, sedikit terpaksa.
"Nggak apa-apa. Nanti hubungi aku, ya." Ujarku lalu keluar dari mobil. Melongok ke arah Tama.
Tama mengangguk "Maaf, Ranu.
"It's okay. Hati-hati."
Lalu aku melihat tatapan Tama yang dalam sebelum kemudian sedannya melesat pergi. Meninggalkanku yang berdiri di trotoar depan apartment.
Aku tahu harusnya tidak terlalu berlebihan, tapi kepergian Tama menyisakan ruang kosong.
Aku menghela nafas. Lalu memutuskan untuk segera naik, menyapa sekuriti, lalu mandi dan tidur. Atau menunggu panggilan dari Tama.
Namun malam itu, Tama tidak menghubungiku. Begitu juga malam-malam selanjutnya.
*****************************
Sandi antar polisi. Saya nggak tahu ya, sandi intel. Ini kode buat handy talky (radio HT) antar polisi jadi kalau buat sesama intel/agen saya kurang paham karena keterbatasan informasi dan pengetahuan.
Anak kijang : target
Panah : polisi reserse kriminal
1-2 : menghadap langsung.
Cmiiw.
Love y'all.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top