12-The Night We Met
I am not the only traveler
Who has not repaid his debt
I've been searching for a trail to follow again
Take me back to the night we met
And then I can tell myself
What the hell I'm supposed to do
And then I can tell myself
Not to ride along with you
I had all and then most of you, some and now none of you
Take me back to the night we met
I don't know what I'm supposed to do, haunted by the ghost of you
Oh, take me back to the night we met
When the night was full of terror
And your eyes were filled with tears
When you had not touched me yet
Oh, take me back to the night we met
(Lord Huron, The Night We Met)
*************************
"Ini, silahkan."
Aku menyodorkan segelas susu coklat hangat kepada Mas Driver. Uapnya mengepul tipis. Hanya ini yang tersisa di lemari makananku. Aku belum belanja.
"Makasih," Mas Driver menerima, menyesap sedikit.
Aku memandang pria di depanku yang sebenarnya keberadaannya tidak aku harapkan.
Tapi aku bahkan tidak menolak saat dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang.
Aku ingat saat dia menjemputku, di jalan seberang gedung kantor. Di udara sore dan suasana Metro yang mulai temaram.
Saat dia berada di depanku tadi, aku hanya terpekur. Masing-masing dari kami hanya terdiam. Saling menatap.
"Ranu," suara berat namun ramah itu membuka keheningan di antara kami "aku antar pulang."
Lalu disinilah kami.
Di ruang tamu merangkap ruang santai apartemenku. Duduk berhadapan.
Aku berniat mengambil sebatang rokok dari meja. Sudah seminggu aku tidak merokok. Aku bukan perokok berat. Aku perokok sosial; hanya merokok jika kumpul dengan sesama perokok atau ketika hanya kalut saja.
Tapi kemudian Mas Driver mencondongkan tubuhnya, mengambil rokok yang sudah terselip diantara bibirku.
Aku hanya bisa menatap ketika ia meremas rokok itu dan membuangnya di asbak. Bau tembakau dan cengkeh menguar.
Aku bingung, agak marah sebenarnya.
Tapi kemudian aku sadar. Aku lupa.
"Jangan." Ujarnya tenang, tapi mengintimidasi. Dia tidak mengatakan apapun lebih lanjut. Tapi dari tatapannya aku tahu bahwa ia tidak mau yang aku lakukan akan mengganggu apa yang ada di rahimku.
"Maaf." Aku berujar lirih.
Mas Driver mengangguk. Lalu dia melihat sekelilingku.
"Apa nggak takut tinggal sendiri?" Tanyanya tiba-tiba.
"Eh?" Aku menyerngit "tunggu, Mas tahu semua tentang aku bahkan tahu aku tinggal sendiri? Mas ini sebenarnya siapa?"
Mas Driver tersenyum lemah "begini, sebelum menghakimi, aku melihat perabot. Semuanya di desain untuk satu orang. Hanya ada satu kamar tidur. Tidak banyak perabot makan, dan cucian di beranda hanya satu ukuran."
Aku baru tersadar.
Ah memang apartment minimalis ini aku sewa karena murah dan diperuntukan satu orang. Efisien harga dan tempat.
"Tapi Mas tahu nomerku dan tanggal menstrual ku." Tantangku "nggak mungkin hanya sekedar 'melihat' kan?"
Dia menghela nafas.
"Oke, aku ngaku kalau aku membobol informasi lewat handphone nya Ranu. Waktu di hotel." Jawabnya agak merasa bersalah.
"Apa?"
"Iya. Katakan saja aku bisa meretas data." Imbuhnya.
"Tunggu, itu kriminal kan?" Aku protes. Jadi dia mencuri data-dataku? Duh. Berbahaya sekali sih orang ini! Apa dia penipu?
"Maaf, tapi aku pernah bilang akan mencari tahu tentang Ranu, kan?" Jawabnya. Tapi melihatku terdiam dengan marah, akhirnya dia menghela nafas "baiklah. Ranu boleh laporin ke polisi."
Aku mendengus. Mana bisa aku laporin dia? Buktinya nggak kuat. Apalagi dengan keadaanku sekarang yang diterpa gossip menyebalkan. Kalau aku menambah dengan kasus seperti ini, aku bakalan dianggap panjat sosial beneran kan? Dianggap cari sensasi demi mendulang popularitas.
Tidak. Jadi orang biasa lebih menyenangkan, terimakasih.
Mas Driver meneguk susu coklat dengan sekali tegukan hingga habis. Menyeka sisa di bibirnya. Lalu memandangku.
"Ranu nggak perlu khawatir lagi sama gossip murahan yang beredar." Ujarnya tiba-tiba.
"Loh, Mas tahu? Suka akun gossip juga?" Tanyaku geli. Setengah mencibir.
"Anggap saja aku memperhatikan Ranu. Dimanapun."
"Bukannya itu justru nakutin? Mas nya Stalker?" Cemoohku.
"Anggap saja juga begitu."
Aku menggigit bibir. Kejujuran yang menakutkan. Jawaban yang menjengkelkan. Lalu dia mengeluarkan handphonenya. Menunjukan padaku.
Akun gossip yang 'menyerang' ku tiba-tiba di kunci. Tidak ada postingan.
"Habis kena report karena isinya konten dewasa. Menyebarkan video porno dan hoax." Ujarnya santai.
Aku memandangnya dengan selidik "Mas yang melakukannya?"
Dia mengangkat bahu.
"Mas bisa dipenjara!" Ujarku gemas. Ya Tuhan orang ini mainannya kok berbahaya begini, sih!
"Kalau ketahuan." Dia berujar santai "lagipula, dengan adanya saksi yang melihat kita tadi, kemungkinan besar gossip itu akan reda lebih cepat."
Aku berpikir. Tadi sih memang nggak begitu sepi keadaan kantor. Tapi sudahlah.
Aku cukup senang dia melakukan hal-hal seperti membobol akun gossip sih sebenarnya. Tapi dia tidak perlu berbuat jauh seperti itu.
"Mas nggak perlu berbuat aneh-aneh lagi." Ujarku.
"Ranu khawatir?"
"Aduh, jangan ge er! Aku cuma nggak mau terjadi sesuatu sama orang lain padahal itu bukan urusan Mas!"
Mas Driver menarik nafas.
"Ranu beneran masih menjalin hubungan sama orang itu?"
Raut wajahku mengeras. Aku menggeleng.
"Aku tidak menjalin hubungan dengan Syahdan lagi. Secara romantis."
"Apa Ranu masih mencintainya?"
Aku terdiam. Memejamkan mata.
Akhirnya aku mendesah lelah "itu bukan urusan Mas."
"Tapi aku punya alasan buat peduli sama hal itu." Mas Driver mencondongkan tubuhnya, lalu suaranya yang berat terdengar menusuk
"apa Ranu hamil?"
Manik mataku membesar. Sial, dia ini apa sih? Semacam cenayang?
"Aku... Aku belum periksa. Belum tentu juga aku hamil!" Sergahku. Mas Driver mengangguk, tampak seolah masa bodoh dengan jawabanku.
"Kalau gitu," Mas Driver mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
Bungkus karton. Dari penampakannya aku tahu itu apa. Alat uji kehamilan.
"Coba periksa. Aku tunggu." Ujarnya tenang sembari bersandar pada sofa. Mataku berkernyit marah.
Tapi melihat tingkahnya yang menantangku itu, membuatku kesal. Aku lalu menyambar alat uji itu. Lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Aku membaca instruksinya.
Hati-hati melaksanakan setiap langkahnya. Agak jijik karena melibatkan cairan ekskresi.
Aku menunggu.
Lalu mengangkat stik kecil itu. Memperhatikan apa yang terjadi.
Ada tanda garis merah.
Satu. Satu tanda garis merah.
Aku mau tidak mau merasa lega. Agak menyangkal perasaan kecewa. Memang kenapa aku harus kecewa ya?
Tanpa sadar, sembari memegang alat uji kehamilan, aku menyentuh perutku. Ada rasa kehilangan yang aneh.
Aku kembali ke ruang tamu. Menunjukan alat uji kehamilan kepadanya. Dia melihatnya.
Rahangnya mengatup keras.
Matanya menatap tajam. Tapi ada makna bahwa dia kecewa.
"Aku..." Aku membuka suara "aku belum dapat bulanan, memang. Tapi aku nggak hamil. Aku minum morning-after pill. Itu sejenis kb."
Dia menghela nafas. Lalu mengangguk.
"Baiklah." Ujarnya pelan "tidak ada yang terjadi. Rasanya aku tidak perlu khawatir lagi."
Mas Driver menatapku sejenak sebelum akhirnya memutus kontak mata. Ia berdiri.
Menuju pintu.
"Selamat tinggal." Ujarnya sembari membuka pintu apartment.
Apa yang harus aku lakukan? Bukannya jelas lebih baik dia pergi?
"Mas," aku memanggilnya. Dia berhenti.
"Apa.. Apa setelah ini Mas nggak akan ganggu aku lagi? Maksudku, benar-benar seperti orang asing?" Tanyaku hati-hati.
"Seperti yang Ranu inginkan." Jawabnya setelah jeda beberapa saat "Jaga diri baik-baik. Jangan terlibat sesuatu yang berbahaya lagi."
Sosoknya berlalu dari pintu.
Tapi tanganku langsung menggapainya.
Dia menoleh dengan heran. Tatapan matanya tajam.
"Ranu---"
"Aku ingin berterima kasih secara pantas." Ujarku memotong kalimatnya "apa yang Mas lakukan sudah lebih dari cukup. Aku yang sembrono masuk dalam kehidupan Mas. Membuat berbagai kesulitan kepada Mas. Aku juga harus minta maaf atas hal itu."
Mas Driver masih menatapku dalam keheningan.
"Jadi---"
Mas Driver lalu melepaskan tanganku perlahan. Menggenggam sejenak sebelum melepaskannya.
Ia menghela nafas.
Dia ingin pergi.
"Jaga diri baik-baik. Berbahagialah."
Lalu dia menutup pintu. Meninggalkan udara kosong berbau maskulin menyegarkan.
****************************************
((bagian ini dibaca berdasarkan sudut pandang orang ketiga))
Pria itu melangkah dengan kaki ringan keluar dari sebuah gedung lantai sepuluh. Sebuah apartment.
Namun sebenarnya hatinya yang berat.
Sekali lagi, ia harus menerima bahwa harus menjadi orang asing bagi wanita itu.
Sebenarnya sejak awal dia ingin wanita itu menjauh darinya sejak bertemu di hotel itu. Keadaannya yang sekarang tidak memungkinkan untuk memiliki seseorang yang harus dijaga.
Tapi ketika mengetahui bahwa mereka melakukannya ketika wanita itu dalam keadaan subur, sejatinya ia sudah tidak peduli lagi. Ia ingin bersamanya walaupun ini perasaan sepihak. Walaupun mungkin si wanita menganggap ini adalah bentuk tanggung jawab.
Ranu.
Ranu Paramita. Salah satu staff desain di perusahaan advertising.
Dia melakukan apapun agar wanita itu aman, bahkan hal-hal yang bisa mengganggu pikirannya seperti gossip.
Dia melakukan apapun.
Jujur saja, si Pria tidak menyangka bahwa Ranu sempat memiliki hubungan istimewa dengan salah satu public figure di negeri ini. Tidak mengherankan juga, mengingat Ranu adalah gadis yang menarik.
Bahkan si Pria tidak bisa melepaskan begitu saja dari ingatannya. Wajah. Gerakan. Sentuhan. Suara. Desahan.
Dia membuang nafasnya.
Memikirkan bahwa kemungkinan Ranu masih mencintai pria bernama Syahdan itu.
Harusnya kehamilan Ranu bisa memutus rantai perasaan antara Ranu dan Syahdan.
Tapi nyatanya, dia tidak hamil.
Jujur saja, si Pria mengalami kekecewaan.
Tapi mungkin itu adalah pertanda si Pria harus melupakan Ranu. Bagaimanapun sekali lagi, Ranu akan dalam bahaya jika ada di dekatnya. Keselamatannya terancam. Hidupnya akan sangat tidak jelas jika dengannya.
Maka dari itu, walaupun Ranu memberikan tawaran yang mungkin akan dia sesali karena menolaknya, ia tidak bisa mengutarakan keinginannya bersama wanita itu.
Berpisah dan saling melupakan adalah pilihan terbaik.
Ia adalah masalah. Dan Ranu sudah harus lepas dari segala masalah.
Si Pria duduk di dalam mobilnya. Mengeluarkan rokok dan membakarnya. Menghisap dalam.
Patah hati, dari namanya saja, dari dulu memang menyakitkan.
**************************************
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top