1-Drag Me Down
Aku hanya bisa menyesap orange punch dengan --mencoba-- tenang. Berusaha dengan sekuat tenaga agar pandanganku tidak berkabut dan kemana-mana.
Berharap rasa gemelitik di lidah bisa menahan apapun yang mau membuncah.
Aku bahkan mencoba tersenyum kasual ke arah para gadis yang sedari tadi mengelilingiku seperti ingin melihat reaksiku, ingin menghiburku,
Atau bahkan ingin melihat drama dariku.
Siapa yang tidak tertarik melihatmu berdiri di sebuah pesta ulang tahun seorang mantan yang sudah menggandeng pacar barunya?
Apalagi kalian sebelumnya dikenal sebagai pasangan yang baik-baik saja.
Jika bukan karena si mantan adalah bos ku, mungkin aku memilih bergelung melihat session lanjutan sebuah acara TV.
"Gila. Pacarnya masih muda katanya, sekitar delapan belasan." Celetuk salah satu gadis, bernama Sesya, sembari mengicip kudapan mini yang tersebar di penjuru ruangan hall hotel.
"hmm, yang pistachio nggak enak." Ia lalu memberi komentar pada macaroon pistachio yang ia gigit. Mungkin berharap itu berasa melon atau macha.
"Eh serius? Anaknya yang punya Lukito Group itu, kan?" Sahut Bella si gadis lainnya, ia lantas melihat lagi ke arah pemilik acara "tua ya, wajahnya."
Bella melihat ke arahku, melirik meminta tanggapan dari mulutku. Seolah mengatai gadis itu 'berwajah boros' akan membuatku tenang dan jumawa.
Tidak.
Bahkan kalau wajahnya jelek sekalipun--yang sayangnya cantik, cantik sekali--- aku tidak akan bahagia.
Hai, bagaimana kamu bisa bahagia melihat mantanmu yang masih kamu cintai berpacaran dengan orang lain?
Oh akan kutampar kamu jika kamu bilang kamu ikhlas dan turut berbahagia untuknya.
Atau alasan klise masih banyak 'ikan di lautan'.
Jatuh cinta tidak seperti memakai sepatu.
Tidak cocok tinggal beli lagi dengan beragam aneka pilihan.
Laki-laki jaman sekarang tidak bisa dipilih sembarangan.
Ada yang kaya, tampan tapi sayangnya brengsek.
Ada yang miskin, biasa saja, tapi setia.
Ada yang kaya dan wajahnya biasa saja.
Ada yang memiliki semuanya; kaya, tampan, gentleman tapi sayangnya ia tidak menyukai lawan jenis.
Beberapa ada yang memiliki semuanya dan heterosexual namun limited edition.
Di kantorku ada dua yang seperti itu. Reino dan Syahdan.
Syahdan contohnya; dia tampan, tinggi, anak pengusaha tapi memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga. Kalau kamu lihat followers nya, didominasi oleh lawan jenis dari berbagai pekerjaan, golongan, suku, ras, dan daerah.
Bahkan negara.
Mencapai angka M.
Dia adalah dambaan setiap wanita, dan sedikit wanita beruntung yang dekat dengannya.
Aku, Ranu Paramita, adalah wanita yang sempat beruntung itu.
********************
Menjalani hubungan dengan Syahdan Syarief tidak seperti di sinetron atau drama. Bahkan awal mula bertemu pun biasa saja.
Dimulai saat kami bertemu di salah satu acara gathering komunitas pemilik mobil SUV terkenal.
Bukan, aku bukan pemilik mobil SUV. Aku tidak sekaya itu.
Aku hanyalah panitia yang kebetulan diajak kakak angkatanku untuk menjaga pos check point. Memberi stempel kepada para pemilik mobil jika ia berhasil melewati pos-pos yang ditentukan lalu berakhir pesta campfire di pantai.
Pada saat itu, aku tidak sengaja memberi stempel tiga kali di lengan Syahdan.
Mungkin auranya. Mungkin gayanya. Bisa juga karena aroma parfumnya, jadi aku terlena.
"Hei, Ranu satu aja!!" mbak Stevi, panitia yang bersamaku kala itu, langsung menghentikan aksiku. Bisa-bisa aku meneruskan memberi banyak stempel.
Menyadari, aku memandang Syahdan dan Mbak Stevi bergantian dengan wajah bodoh.
Aku buru-buru minta maaf. Syahdan hanya tertawa kecil, lalu berlalu lagi dengan mobilnya.
Kukira hanya sampai situ.
Tapi ternyata waktu acara puncak, dimana aku bersantai melepas lelah di tempat duduk panitia sembari mengudap semangkuk sup kepiting, Syahdan menghampiriku.
Meminta berfoto sebentar di salah satu fitur media sosial.
"Aku boleh tag ya? Nama kamu siapa?" Tanya Syahdan. Aku menyebut username ku.
Aku membuka media sosial milikku dan mendapati diriku di kaitkan di sebuah foto.
Foto tersenyum menawan Syahdan yang menunjukan lengannya 'bertato' banyak stempel, dan fotoku yang tampak kusut kelelahan memegang mangkuk makanan.
Perpaduan yang memalukan.
Lalu yang membuatku terkejut, dia yang 'mengikuti' aku terlebih dahulu di media sosial. Memberi tanda hati di beberapa foto, saling bertukar komentar dan pesan.
Lalu meminta nomer pribadi.
Mengantar tiap tidur dengan dengan pesan dan curhatan.
Kami sering jalan setelahnya; kadang berdua, kadang kami membawa teman. Pokonya jalan. Sekedar menghabiskan hari.
Hingga akhirnya suatu hari di sebuah restoran cepat saji, saat aku selesai kuliah dan dia selesai kerja seperti biasa, dia menyatakan perasaannya.
Ia menyukaiku.
Pernyataan sederhana dan tidak muluk.
Seorang Syahdan Syarief menyatakan cinta kepadaku. Rasanya setiap sudut kota Metro ditumbuhi bunga.
Bodoh kalau aku tolak, kan?
Hubungan kami berlanjut selama dua tahun. Bahkan pada masa-masa itu aku diterima bekerja di sebuah perusahaan advertising miliknya yang ia bangun bersama seorang sahabat ekspartiat.
Oh, aku berani bersumpah aku melamar dengan jujur. Melalui berbagai tahap. Bahkan yang mewawancaraiku bukan Syahdan.
Semua di kantor tahu hubungan kami beberapa bulan kemudian. Pro dan kontra, tapi jelas mereka menganggapku gadis yang beruntung.
Lalu kemudian intensitas pertemuan kami mulai jarang terjadi. Dia mulai merambah karir politik dan mempersiapkan pembukaan cabang di lain kota.
Walau begitu kita masih melakukan panggilan video atau bertemu di akhir pekan.
Hingga kemudian sebulan lalu, dia mengajakku ke sebuah taman, berjalan beriringan mencuri waktu kami yang sibuk. Membicarakan banyak hal. Berakhir makan malam di restoran cepat saji.
Lalu disana dia memutuskanku.
Aku bertanya apa alasannya. Apa karena waktu? Apa karena dia tidak cinta lagi?
Tidak kusangka dia jujur alasannya; dia menjalin hubungan dengan seorang wanita lain karena dijodohkan sejak tiga minggu sebelumnya.
Dia tidak bisa meneruskan hubungan kami. Jadi dia berubah brengsek malam itu.
Tapi dia malah menawari dirinya untuk aku tampar, siram, atau apapun. Hal-hal yang dapat mempermalukan dirinya di restoran cepat saji yang ramai itu.
Karena keputusan orangtua adalah kewajiban baginya. Di lain sisi dia mencintaiku dan menyadari betapa brengseknya dia kepadaku.
Dia menyerahkan martabatnya. Harga dirinya sebagai Syahdan Syarief.
Bagaimana aku bisa melakukan hal-hal semacam mantan pacar histeris jika alasannya seperti itu?
Jadi aku memutuskan keluar dari restoran dengan taksi, menangis berhari-hari, mengambil cuti, dan tidak ingin dihubungi.
Siapapun.
Banyak yang sudah terjadi diantara kami.
Apakah kami melakukannya? Maksudku, tidur bersama? Perlu kukatakan?
Kami melakukan heavy petting dan handjob. Tidak, kami belum pernah bersenggama.
Syahdan adalah pria yang lumayan logis. Dia tidak ingin nafsu mengalahkan akal sehat.
Tapi dia yang pertama menjamah tubuhku.
Aku masih mencintainya sampai detik ini. Kemungkinan dia juga masih memiliki rasa yang sama.
Berpisah dengan Syahdan adalah patah hati terburuk dalam hidupku.
****************************
Jadi aku disini, memakai riasan terbaik, pakaian terbaik dan senyuman terbaik. Sisa kekuatan untuk merasa tegar dan baik-baik saja.
Aku akan mengantarnya pergi. Melepaskannya seperti seorang sahabat.
"Aku ke tempat Syahdan dulu ya," pamitku. Aku dapat melihat beberapa manik membesar. Menuntut kenapa aku harus kesana.
"Aku mau memberi selamat ulang tahun sama Syahdan." Aku menambahkan. Sudah jelas, kan? Alasan aku kesini adalah untuk itu.
Aku bukan wanita jahat yang akan merusak pesta ulang tahun mantannya.
Aku melangkah mantap. Mengabaikan desiran aliran darah dan degup jantung. Kepalaku hampa, perasaanku pun begitu. Suara musik seperti dengungan.
"Syahdan," aku memanggil pria berbalut kemeja hitam menawan. Dia menoleh, menatapku.
Tatapannya masih sama.
Menentramkan.
"Ran... " Gumam Syahdan, agak tercengang. Tapi lantas dia tersenyum "kamu datang."
"Ya iyalah. Kamu kan bos aku. Gimana sih? Kurang ajar banget aku jadi karyawan nggak ngasih selamat ke bos." Aku lalu menyerahkan sebuah kotak kecil.
Isinya adalah parfum.
"Selamat ulang tahun."
Syahdan menerimanya, tersenyum.
"Makasih Ran," ujarnya "makasih banget."
Aku membalas senyumnya. Memandang manik miliknya. Begitu pula dirinya. Aku tersadar harus memutus aliran ini.
"Eh, mana pacarmu?" Aku mencari sosok yang tadi mendapat gibahan dari teman-temanku. Alasan saja agar tidak memandangnya lama-lama.
"Ah," Syahdan menoleh, ikut mencari. Lalu mendapati sosok itu duduk memandang para tamu sembari menggengam gaunnya.
Cantik. Cocok sekali dengan Syahdan.
Matanya besar dan teduh. Dengan bulu mata rapat dan lebat. Berkulit bersih. Rambutnya digelung di atas, berwarna hitam kecoklatan. Satu dua helai rambut jatuh.
"Gia," Syahdan memanggilnya lembut. Gadis bernama Gia itu mendongak. Wajah cantiknya statis, tapi dengan sopan dia menghampiri kami.
"Kenalin, ini Ranu. Dia pegawaiku sekaligus sahabatku." Ujar Syahdan.
Ah. Hatiku.
Gia menyambut jabat tanganku dengan ramah. Menyalami mantap.
"Gianni." Ujarnya tersenyum lemah.
"Ranu."
Dia lalu menawariku makan, yang kutolak halus. Berbincang sebentar dengannya.
Dia memang masih delapan belas tahun. Tapi dia sudah kuliah di luar negeri, semester dua.
Katanya dia cukup beruntung waktu SMP lolos dalam mengambil progam kelas akselerasi.
Kami bertukar cerita. Anehnya, aku bisa bisa bicara apa saja dengan Gia seperti teman.
Lalu Gia lalu pamit ke belakang. Meninggalkanku berdua dengan Syahdan. Ada sedikit kecanggungan.
"Gimana kabar, Ran?" Tanya Syahdan akhirnya.
"Baik. Aku baik kok." Jawabku "Jadi, kapan nih mau nyaleg?"
Syahdan tertawa "pemilu yang akan datang. Sekarang sih sibuk di partai aja. Kenapa?"
"Aku mesti milih kamu atau gimana?"
"Ya harus dong. Banyak yang muda tapi jelas aku yang paling tampan." Jawabnya narsis.
"Idiih..."
"Hahaha nggak kok. Pilih sesuai hati aja. Jangan karena aku bos atau temen kamu."
Iya. Aku akan memilihmu. Karena pakai hati.
Syahdan tampak tidak nyaman. Ia lalu menggosok tengkuknya.
"Eeng Ran... Sebenarnya---"
"Pak Syahdan, acara mau dimulai. " Seorang panitia EO memotong. Menunjuk ke arah bangku khusus.
Syahdan melirikku, tampak tidak mau beranjak.
Aku mengangguk "udah sana. Aku mau balik ke anak-anak."
Aku melambai ke arah Syahdan. Berbalik untuk menolak bertatapan dengannya lebih lama.
Aku menghela nafas. Berdiri di tempatku lagi diapit Sesya, Bella dan Zania. Bella sudah akan membuka mulut bertanya ketika tiba-tiba suara musik membahana.
Memaksa perhatian semua orang ke venue utama.
Disana berdiri dan bermain musik grup musik Nahari dan penyanyi yang sedang naik daun Arsya.
Mereka adalah musisi kesukaanku.
Musisi kesukaan Syahdan, pula.
Pekikan gembira terdengar, kasak-kusuk para fans dan akhirnya hampir seluruh orang bernyanyi bersama.
Setelah dua lagu andalan, MC menggantikan posisi mereka. Memandu acara.
Memberi sambutan ulang tahun kepada Syahdan.
Memandu para pengunjung menyanyikan lagu-lagu ulang tahun diiringi petikan akustik Nahari dan suara merdu mendayu Arsya.
Kue ulang tahun minimalis elegan dihadirkan. Acara potong kue dilaksanakan. Ketika potongan pertama diberikan, sudah tertebak akan diberikan kepada siapa.
Dan tentu saja, Gianni.
Tampak tersenyum kalem dan berkharisma, Gia menerima kue dan ciuman ringan di pipi.
Seandainya itu aku.
"Daaaan.... Yang kita tunggu nih, yang kita tunggu... Secret event nya." Sang MC yang merupakan publik figure itu mengucapkan nada yang membuat penasaran.
"Secret event apaan sih, Fran? Ih, kasih tahu dong." Tanya MC satunya, pura-pura penasaran.
"Jadi nih De, selain ulang tahun, Bang Syahdan juga mau ngumumin sesuatu. Kalau gue sih jelas udah tahu. Tapi afdhol nya biar Bang Syahdan yang ngomong." Lalu semua menatap Syahdan. Begitu pula manik mataku.
"Sini, Bang. Kasih tahu Bang!" Sang MC membimbing Syahdan ke tengah.
Gestur Syahdan salah tingkah.
Dan aku merasakan ada yang salah.
Aku merasa tidak seharusnya aku disini.
"Hahaha," Syahdan memulai canggung "ini nggak tahu harus mulai darimana ya?"
"Hmmm mungkin harus pakai doa dulu, Bang." Sahut sang MC.
"Bisa aja sih," gelak Syahdan "ya jadi saya, Syahdan Hardiawan Syarief, resmi menambah umur tahun ini. Semoga semakin berkah, terutama untuk kita semua."
Koor amin panjang membahana dalam ruangan.
"Selain itu, saya minta doanya kepada khalayak semua, sama temen-temen, kalau saya hari ini mau melamar kekasih saya,"
Tatapan Syahdan sempat mampir dalam pandanganku, namun secepat itu pula dia memutuskannya.
Aku hanya bisa berdiri mematung.
Tidak peduli Syesa memanggil namaku.
"Gianni Odette Lukito. Saya akan melamarnya hari ini. Jadi malam ini bisa dikatakan adalah malam pertunangan kami."
Tepuk tangan dan suara riuh rendah melingkupi ruangan luas dan mewah. Merayakan kebahagiaan dan kehidupan baru Syahdan.
Band Nahari dan Arsya menyanyi lagi. Mengiringi dua insan yang mengumumkan hubungan baru mereka.
Lagu romantis lainnya yang menghangatkan suasana. Euforia cinta di udara.
"Ran..." Zania menyentuh lenganku yang meremang "jangan nangis..."
"Eh?"
Aku terpengarah. Aku menangis? Yang benar saja!
Tapi kenyataannya begitu. Aku sendirilah yang merasakan aliran basah mengalir di pipi.
"Aku mau ke belakang," aku buru-buru menunduk. Berlalu dengan cepat menuju ke belakang ruangan. Menuju ke kamar mandi. Tidak mempedulikan Zania yang berniat mengikuti untuk menguatkanku.
Di salah satu bilik, aku menumpahkan semua.
Menangis. Sedu sedan. Hampir mengerang.
Sudah cukup. Aku tidak mau disini. Aku harus pergi.
Aku sudah menampakan diri di hadapan Syahdan sebagai formalitas. Aku nggak harus tetap berada di tempat sialan ini.
Setelah puas menangis, aku menyeka wajahku. Memperbaiki riasan seadanya. Menahan desakan gelombang patah hati.
Segera pulang dan meringkuk.
Mungkin saatnya aku mengambil sisa cuti.
****************************************
Aku kembali ke tengah pesta setengah jam kemudian. Setelah menghabiskan satu batang rokok.
Musik syahdu Nahari sudah berganti lagu-lagu menghentak elektro dance. Seorang producer atau DJ terkenal dari luar negeri sengaja dipanggil. Memeriahkan suasana.
Seketika lampu menjadi gelap dan hanya ada lampu sorot warna-warni.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba sudah menjadi rave party.
Minuman beralkohol juga sudah diedarkan.
Aku tidak tahan dengan suara berdentum musik ini. Mencari minum. Orange punch lagi kurasa lebih baik. Lalu setelah itu aku harus pulang.
Aku mengambil segelas minuman warna kuning itu. Meneguk langsung.
Lalu aku sadar rasanya agak berbeda. Lebih pahit dan keras.
Tidak. Aku baru saja minum minuman beralkohol. Dan aku paling tidak tahan dengan minuman beralkohol, minum segelas saja bisa membuatku mabuk dan hilang ingatan sesaat.
Hilang ingatan sesaat.
Persetan.
Aku mengambil lagi segelas. Menikmati sensasi rasa pahit manis segar di tenggorokan. Lalu wajahku mulai hangat.
"Eh nggak nyangka kamu suka mimosa* , Ran."
Aku menoleh, melihat siapa yang baru saja berbicara. Agak tidak jelas. Pandanganku mulai kabur.
"Ah, kamu Yu." Ujarku. Tadi adalah Wahyu, cewek beda divisi denganku. Dia memegang botol cola di tangannya.
Melihatku yang agak sempoyongan dan kuyu, Wahyu menangkap sesuatu "kamu mabuk, Ran?"
"Aku pusing Yu..." Aku memijat pelipisku.
"Mau diantar pulang?" Tanya Wahyu sembari membantu memapah tubuhku.
"Hengg... Nggak..." Aku mendongak, mencari udara "aku bawa mobil kok."
"Ya bahaya dong Ran. Kamu nyetir sendiri?"
Aku mengangguk.
"Duh, aku nggak bisa nyetir." Keluh Wahyu "Gini aja. Mobilmu kamu titipin disini dulu. Besok aja diambil. Sekarang kamu naik taksi online aja ya? Jangan maksain nyetir nanti ada apa-apa malahan."
Sebenarnya, mungkin lebih baik aku nabrak sesuatu lalu gegar otak dan hilang ingatan.
Nggak. Aku nggak mau mengambil resiko jadi bodoh hanya gara-gara patah hati.
"Punya applikasi nya?" Tanya Wahyu. Aku menggeleng. Wahyu mengeluarkan handphone nya "aku pesenin lewat punyaku, ya? Kita tunggu di lobby."
Aku mengiyakan. Wahyu segera memesankan taksi online lewat applikasi sembari menemaniku duduk di lobby. Ia bertanya aku harus diantar kemana.
Aku menyebutkan daerah apartment ku.
Aku menyandarkan kepalaku di sofa. Kepalaku rasanya ringan.
Rasanya nyaman.
Tujuh menit kemudian, sebuah mobil sedan warna hitam keluaran terbaru berhenti di depan pintu hotel.
"Ah, udah datang Ran." Wahyu segera mengapit lenganku. Ia lalu membuka mobil.
Aku mendengar mereka berbincang sejenak, yang seperti dengungan di kepalaku, lalu Wahyu membantuku duduk.
"Makasih, Yu..." Aku tidak lupa mengucapkan terimakasih.
"Iya, hati-hati Ran."
Lalu mobil melaju. Membelah jalanan yang tidak pernah lengang.
Aku memandang gedung-gedung berkelebat. Semua badanku ringan. Tapi hatiku masih sesak.
Ternyata mabuk tidak menyembuhkan patah hati seluruhnya.
"Sialan..." Desisku. Dengan kurang ajarnya semua kenangan bersama Syahdan berkelebat bagai flashback di kepala.
"Kenapa dia jadi anak nurut, sih! Kenapa dia nggak sesekali nglawan ortunya!" Aku mengerang sendiri.
Harusnya aku bangga pada Syahdan.
Tapi aku ingin dia egois soal pilihan hidup.
Tapi mungkin saja sebenarnya Syahdan menyukai Gia lalu memakai alasan tidak mau membantah orangtua sebagai alasan?
"Keparaaat!!" Aku memaki-maki. Bingung dengan berbagai spekulasi di kepalaku. Kesal dengan diri sendiri yang mantap untuk tegar tapi ternyata berakhir meratap merana.
Aku mulai menangis sembari berbicara sendiri. Mengungkit masa-masa konyol dan indah bersama Syahdan. Menghitung setiap waktu liburan bersama kami atau alasan-alasan kami bertengkar selama pacaran.
Atau tentang cita-cita kami jika kami bersama.
Aku menaikan kaki dan menyembunyikan wajah diantara lutut. Membiarkanku melepas semua emosi.
Lalu kemudian aku tersadar di sela-sela rasa melayang di kepala dan perasaan merana. Mobil sedang berhenti. Aku menatap ke luar.
Tepi jalan.
Sejak kapan sudah ada disini?
Aku segera menoleh ke arah sopir yang sedari tadi diam.
Pria itu duduk tegap bersandar sembari menatap ke depan.
Aku merasakan jantungku semakin cepat berdegup. Sensasi waspada. Alarm bahaya menyalak dalam diriku.
"Ngapain... Ngapain kesini?" Tanyaku tajam.
Pria itu menoleh. Memandang menembus manik mataku. Aku seperti diperangkap.
Lalu, masih memandangku tajam, ia mulai berbicara.
"Senang-senang sama Mbak."
*****************************"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top