Satu: Tertuduh


Kuberanikan diri untuk melangkah mendekati bangunan kokoh yang tampak mengintimidasi itu. Dinding-dindingnya yang menjulang tinggi tampak seperti tangan-tangan raksasa yang menghadang siapa saja untuk masuk.

Bukan hanya masuk, pikirku getir. Tapi juga keluar.

Sebenarnya aku enggan menuju ke sana. Bukan berarti aku tak pernah mampir ke tempat seperti ini. Pekerjaannku mengharuskanku sering-sering ke tempat seperti ini, dan meski sudah berkali-kali mampir, tetap saja aku tak merasa lebih baik. Biasanya motivasiku kemari untuk mencari kebenaran. Namun hari ini sedikit berbeda. Aku tak hanya akan sekedar mencari, tetapi harus menguaknya.

Petugas yang berjaga di depan pintu gerbang sama sekali tidak ramah. Mereka memang tak di-setting untuk beramah-tamah. Pria  menanyaiku dengan berbagai macam pertanyaan seolah aku salah satu penghuni bangunan yang dijaganya. Hanya mengikuti prosedur, begitu alasannya. Kujawab semua pertanyaan itu dengan ogah-ogahan. Kutunjukan kartu identitasku, meski rupanya tak banyak membantu. Setelah nyaris selusin pertanyaan, akhirnya aku diizinkan masuk.

Seorang petugas lain menjemputku di dalam dan mengantarku menuju tujuanku. "Silakan," katanya agak ketus sambil membuka pintu ruangan di hadapan kami. "Anda punya waktu lima belas menit."

"Terima kasih."

Aku masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan khusus untukku tersebut. Ruangan itu nyaris kosong, hanya ada sebuah meja kayu kasar dan dua kursi yang agak reyot. Di salah satu kursi, duduk meringkuk sesosok wanita yang jika tidak dicermati baik-baik hanya akan terlihat seperti onggokan kain usang. Ketika aku masuk, wanita menatapku dengan pandangan curiga. Matanya merah dan mencelat. Tubuhnya luar biasa kurus sehingga tulang-tulangnya terlihat dengan jelas. Wanita itu hanya memakai sehelai jubah lusuh yang tak lebih bersih dari kain pel. Rambutnya awut-awutan dan mulai rontok perlahan. Wajahnya sepucat mayat.

Dia berseru dengan suara yang mirip patahan seratus batang korek api, "Siapa Anda?"

"Marsinah?"

Dia menjawab dengan tawa getir.

"Perkenalkan, saya Handoko. Saya pengacara Anda yang baru."

Marsinah memicing menatapku, seolah aku baru saja memakinya. "Pengacara?"

Kudekati kursi di seberang Marsinah dengan hati-hati. "Hampir setahun ini saya telah mempelajari kasus Anda." Kuletakkan tas kerjaku di atas meja. Marsinah masih bergeming. "Saya tertarik untuk mengambilnya. Saya tahu sudah ada beberapa pengacara lain yang mencoba menolong Anda, tapi mereka gagal."

Marsinah tertawa lagi, kali ini kedengaran lebih getir. "Menolong," katanya serak. "Bapak sama saja dengan mereka. Tak ada yang bisa menolong saya."

"Saya menemukan beberapa kejanggalan dalam kasus Anda dan jika Anda bersedia menjawab beberapa perta—"

"KELUAR!" Tiba-tiba wanita itu membentak berang. "KELUAR!"

"Bu Marsinah..." kataku berusaha sehati-hati mungkin, "Saya hanya ingin menolong Anda!"

Marsinah meludah ke lantai dan mencibir kepadaku. "Masih ada orang yang mau membantu saya, toh? Omong kosong! Semuanya mengatakan begitu. Tetapi apa yang mereka lakukan? Saya malah semakin lama tinggal di tempat ini!"

"Saya rasa mereka melewatkan beberapa fakta. Saya baru mempelajari lagi rekaman CCTV—"

Betapa terkejutnya aku karena kini wanita itu mulai menangis meraung-raung dengan sangat memilukan. Tangannya memukul-mukul meja. Kucoba menenangkannya meski aku sadar aku tak boleh menyentuhnya. Tapi Marsinah semakin menjadi-jadi, sepertinya dia nyaris gila karena dipenjara. Wanita mengambil gelas yang ada di atas meja, memecahkannya lalu memungut pecahan yang paling besar dan menghunusnya ke arahku. Para petugas yang menonton lewat kaca satu arah langsung menerobos masuk untuk menenangkan Marsinah.

Beberapa rekan sejabatku yang pernah menjadi mantan pengacara Marsinah memang sudah mengingatkanku tentang hal ini. Wanita itu gila, begitu kata mereka. Awalnya aku hampir memutuskan untuk menyerah saja. Namun melihat keadaan Marsinah yang terpuruk menyedihkan begini, aku tak mungkin mundur. Instingku sebagai pengacaralah mengatakan Marsinah bisa bebas. Ada kebenaran yang belum terungkap atau sengaja dilewatkan. Kebenaran yang bisa membebaskan Marsinah dari penjara ini.

Marsinah tampaknya tak tertarik untuk melanjutkan pembicaraan. Kuputuskan untuk kembali besok saja. Ketika aku bangkit dan bersiap meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba ada yang menarik lenganku.

"Saya..." sepasang mata merah berair menatapku. "Tidak bersalah!"

"Saya tahu."

Marsinah sesengukan beberapa kali sebelum menarik napas dalam-dalam. Dia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada para petugas dia baik-baik saja. Kutawari gelas airku dan dia menerimanya. Diteguknya segelas air itu dalam-dalam, sepertinya kehausan sekali.

Setelah cukup tenang, barulah aku berani menanyai Marsinah lebih lanjut. "Bisa Anda ceritakan kejadian waktu itu?"

Dengan sesengukan, Marsinah mulai menceritakan kepadaku peristiwa yang menyebabkannya dipenjara.

"Saya bukan pembunuhnya. Saya tidak melakukan apa-apa pada Nyonya Gubernur. Beliau memang menderita penyakit asma parah. Menurut saya, penyakit itulah yang membunuhnya. Pada waktu saya hendak mengantarkan handuk ke kamar Nyonya Gubernur, saya menemukan beliau sudah tergeletak di tempat tidurnya. Saya berteriak dan dua orang ajudan Nyonya Gubernur masuk ke kamar. Lima menit kemudian polisi datang dan mengatakan kalau... kalau beliau sudah meninggal."

"Bagaimana dengan Mieke Sudrajat?" pancingku. Mata Marsinah berkedut begitu mendengar nama itu. "Saudari MS menuduh Anda yang membunuh Nyonya Gubernur."

"Sebagai kakak kandung Nyonya Gubernur, saya paham mengapa Nyonya Mieke menuduh saya yang membunuh beliau," kata Marsinah lirih. "Karena saya pembantu yang ada di kamar beliau saat itu. Padahal saya sama sekali tidak menyentuh Nyonya Gubernur. Beliau sudah berhenti bernapas begitu saya masuk."

Kukeluarkan selembar kertas berisi catatan medis. "Apa Anda masih ingat soal hasil otopsi Nyonya Gubernur?"

Marsinah mengangguk. "Nyonya Gubernur meninggal karena keracunan gas dari pendingin ruangan. Beliau menghirup kloro... kloro—entah apa namanya, saya tidak hafal betul...."

"Klorofluorokarbon," sambungku. "Itu adalah gas refrigeran pendingin ruangan. Tapi bukan itu yang menjadi pembunuhnya."

Marsinah yang selama ini menunduk ketika bercerita, mengangkat kepalanya. "Apa maksud Bapak?"

"Klorofluorokarbon punya ciri-ciri tertentu yang dapat terdeteksi dengan mudah," lanjutku. "Saya menemukan versi lain laporan otopsi Nyonya Gubernur. Versi ini dibakar nyaris habis, dan saya yakin isinya berbeda dengan laporan yang diserahkan pada polisi."

"Dibakar?" Marsinah terperangah. "Jadi ada yang memalsukan laporannya?"

Aku mengangguk. Tabirnya akan segera terkuak, tak lama lagi. "Apa Anda ingat ada hal lain yang terbilang janggal ketika Anda masuk ke kamar Nyonya Gubernur?"

Marsinah termenung cukup lama. Tangannya memijat-mijat keningnya yang pucat dan menonjol. "Saya ingat-ingat dulu," katanya sambil gemetar sedikit. "Sewaktu saya masuk ke kamar Nyonya Gubernur, kedua jendela kamarnya terbuka. Menurut saya hal itu aneh, karena Nyonya Gubenur selalu menyalakan pendingin ruangan di siang hari. Beliau paling tak suka hawa panas, karena membuatnya gerah dan berkeringat."

"Apakah pendingin ruangan itu menyala ketika Anda masuk?"

Marsinah terdiam lagi. Lalu dia menggeleng yakin. "Saya ingat betul kamar Nyonya Gubernur terasa agak hangat. Pastilah ada yang mematikan pendingin ruangannya."

"Apa Anda pernah menyentuh pendingin ruangan itu atau remote-nya?"

"Saya membersihkan pendingin udara itu setiap hari. Nyonya Gubernur tak bisa kena debu—debu sedikit saja bisa menganggu pernafasannya. Pagi itu asma Nyonya Gubernur kambuh. Saya membantu memasangkan selang oksigen untuk beliau."

Ini tidak membantu. Apa yang dilakukan Marsinah justru menjadi bukti tak terbantahkan yang menjebloskannya ke penjara ini. "Ketika Anda membersihkan debu dari pendingin ruangan, sidik jari Anda menempel di benda itu. Polisi memakai itu sebagai bukti untuk menuduh Anda sebagai pelaku yang membocorkan pendingin ruangan itu."

Marsinah mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menggeleng kuat-kuat. "Saya tidak tahu apa-apa soal pendingin ruangan. Saya cuma membersihkannya dengan kemoceng."

"Dari hasil investigasi, pendingin ruangan itu bocor. Klorofluorokarbon di dalamnya diduga mengalir keluar sehingga mencekik Nyonya Gubernur yang sedang tertidur."

"Di pagi sebelum Nyonya Gubernur meninggal, pendingin ruangan itu sempat macet," kata Marsinah tegang. "Nyonya Mieke memanggil tukang servis pendingin ruangan. Para tukang servis itu juga menyentuhnya!"

Si tukang servis justru dibayar Nyonya Mieke untuk membocorkan AC itu. Sayangnya, tukang reparasi AC itu menggunakan sarung tangan. Penipu itu bersumpah AC dalam kondisi yang sempurna sewaktu selesai diperbaikinya. Aku jadi ingin tahu berapa banyak Nyonya Mieke membayarnya untuk tutup mulut. Tapi aku tak bisa memberitahu Marsinah soal ini, karena semuanya masih berupa hipotesis.

"Tahukan Anda, bahwa ketika polisi sampai, kedua jendela yang pada waktu itu Anda saksikan terbuka sudah tertutup?"

Kata-kataku membawa efek yang dramatis pada wanita itu. Marsinah mengeluarkan pekikan keras, mirip suara tercekik. "Mustahil! Saya bersumpah melihat kedua jendela itu terbuka!"

"Bu Marsinah, pada hari kejadian, apakah ada keanehan pada diri anggota rumah dinas Gubernur? Misalnya, apakah ada orang yang melakukan hal-hal yang tidak biasanya?"

Marsinah menunduk lagi, matanya bergerak-gerak liar.

"Saya sempat mendengar Nyonya Mieke sibuk mencari-cari pompa."

"Pompa?"

"Ya. Saya pikir ban sepeda Aldo—anak Nyonya Mieke—kempes lagi. Tapi ternyata yang dicarinya bukan pompa biasa. Beliau pergi ke klinik dokter Herman untuk mencari pompa itu. Saya tidak tahu pompa macam apa yang bisa ditemukan di klinik...."

Dadaku nyaris tercekat. "Siapa dokter Herman ini?"

"Dokter gigi langganan Nyonya Mieke."

Dapat! 

Aku nyaris bersorak saking senangnya. Sekarang semua jadi terang benderang. Yang dicari Mieke Sudrajat pastilah pompa vakum. MS memompa oksigen keluar dari tabung oksigen Nyonya Gubernur dan ganti memompakan karbon monoksida ke dalam tabung itu. Beberapa saat sesudah waktu kematian, dia melepaskan sisa gas beracun itu ke udara luar dengan membuka jendela, sekaligus membocorkan pendingin ruangannya. Korban sudah tewas sebelum pendingin ruangan itu bocor.

"Ada apa, Pak?" tegur Marsinah.

Dua kata muncul di kepalaku, melengkapi hipotesisku yang selama ini masih tak lengkap.

"Karbon monoksida."

"Karbon..." Marsinah tergagap-gagap. "Karbon apa?"

"Karbon monoksida. Itu adalah gas sangat beracun yang tidak berbau, tidak berwarna sekaligus tidak berasa. Klorofluorokarbon memang beracun, tetapi gas itu akan meninggalkan jejak yang dapat dilacak secara kimia. Jejak itu tidak akan begitu mudah dihilangkan. Sebaliknya, karbon monoksida sangat sulit dideteksi karena bisa menguap begitu saja."

Marsinah melongo menatapku. Aku tak tahu apakah dia paham penjelasanku barusan, tapi jika aku terbukti benar, artinya aku baru saja menemukan konspirasi besar.

"Pertanyaan terakhir, Bu Marsinah," lanjutku. Darahku terasa berdesir-desir karena semangat. "Apakah Anda menceritakan semua ini sewaktu di pengadilan? Soal pendingin ruangan dan pompa itu?"

"Tidak semuanya..." Marsinah menggeleng tersiksa. "Saya diancam akan dibunuh oleh beberapa orang asing jika mengatakan hal yang tidak seharusnya saya katakan."

"Kenapa?" sergahku tak percaya. "Siapa yang memaksa Anda?"

Mata Marsinah bergulir ke arah kaca satu arah. Di baliknya, selusin petugas sedang menonton kami, meski kami tak bisa melihat mereka.

Seharusnya aku tak perlu bertanya. Sudah pasti Marsinah dibungkam. "Bagaimana dengan para pengacara Anda sebelumnya?"

"Mereka menganggap saya gila," Marsinah menggeleng sedih. "Mereka memaksa saya untuk menyerah saja. Tapi saya tidak mau, saya tidak bersalah! Makanya saya ditahan di penjara ini."

Intimidasi. Hal umum dalam banyak kasus. "Saya paham. Terima kasih atas kerja samanya, Bu Marsinah. Saya pamit dulu. Mudah-mudahan kebenaran terungkap atas kasus ini!"

Marsinah mendongak menatapku dengan pandangan memelas dan aku bisa melihat secercah harapan bersinar di matanya. "Percayalah pada saya Pak Pengacara," katanya pilu. "Saya tidak bersalah! Ini semua fitnah. Saya ingin bebas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top