Dua: Terbunuh
Itu adalah pertemuanku yang pertama sekaligus yang terakhir dengan Marsinah. Tiga hari sesudah wawancara itu, mantan pembantu Nyonya Gubernur itu ditemukan tewas dalam selnya. Vonisnya bunuh diri dengan mencekik leher sendiri. Polisi melarangku untuk melakukan penyelidikan. Mereka beralasan apa yang dilakukan Marsinah wajar. Wanita itu sudah setengah gila, kata mereka.
Tentu aku tak mempercayai alasan itu. Kata-kata terakhir Marsinah dan harapan yang terbit di matanya meyakinkanku bahwa wanita itu tak akan melakukan hal gila seperti bunuh diri. Marsinah tahu dia tidak bersalah dan dia ingin bebas. Apa yang sebetulnya terjadi di dalam selnya di malam ketika dia meninggal, tak ada yang tahu.
Tapi aku tak perlu susah payah menebak-nebak. Kasus Marsinah telah menimbulkan huru-hara besar. Marsinah, seorang asisten rumah tangga tak berpendidikan, dituduh telah mengeksekusi rencana rumit untuk meracuni Nyonya Gubernur—majikannya sendiri, hingga tewas. Tentu banyak yang sangsi mendengar tuduhan itu. Meski polisi sudah menetapkan Marsinah sebagai tersangka, banyak orang yang skeptis, termasuk aku. Bagiku, kakak kandung Nyonya Gubernurlah yang seharusnya diperiksa. Mieke Sudrajat sedang mencalonkan diri sebagai gubernur, menantang sang petahana, adiknya sendiri. Namun kans kemenangan MS cukup tipis, karena dia nihil pengalaman di pemerintahan dan pernah dipenjara karena kasus pelanggaran HAM.
Sampai saat ini, aku hanya bisa menyesali kematian Marsinah. Wanita itu meninggal sebagai pembunuh dan sampai hari kematiannya, aku belum berhasil mencabut predikat itu dari dirinya.
Setelah kematian Marsinah—saksi kunci sekaligus "korban" tersangka dalam kasus ini—tidak ada lagi yang mau membuka mulut. Sulit bagiku untuk mendapatkan informasi. Apa yang diceritakan Marsinah telah meyakinkanku bahwa MS-lah pelaku sesungguhnya. Motifnya? Sejauh ini aku hanya melihat motif politis dan uang. Menurut desas-desus, kematian Nyonya Gubernur meninggalkan lima puluh milyar rupiah uang warisan, yang sampai sekarang masih belum jelas akan jatuh pada siapa. Nyonya Gubernur tak memiliki anak dan sepertinya telah merencanakan kakaknya sebagai pewaris tunggal. Dugaanku, MS membutuhkan uang itu untuk kampanye.
Namun semua itu hanya hipotesis, tak ada satu bukti pun yang mengarah pada Mieke Sudrajat atau menjeratnya. Mulut-mulut terkunci. Laporan-laporan menghilang. Semuanya lenyap ditelan bumi.
Pengadilan akhirnya menutup kasus Marsinah. Mereka betul-betul mengakhirinya, dengan alasan "segala sesuatunya sudah jelas". Fakta-fakta yang mendukung cerita Marsinah diabaikan begitu saja, mengaburkan soal siapa tersangka yang sesungguhnya dalam kasus ini. Dengan koneksi dan kekuatan uangnya, Mieke Sudrajat sanggup memutarbalikkan fakta semudah membalik telapak tangan. Sementara Marsinah, pembantu miskin yang berasal dari dusun, tak dapat berbuat apa-apa.
Ketidakadilan bukanlah hal baru di negeri ini. Kami sudah terbiasa disuguhi dengan ketidakadilan setiap hari, sehingga menganggap itu sebagai hal biasa. Apalagi bagi rakyat kecil. Di sini, keadilan memang tidak ada bagi yang miskin papa. Bagi mereka, keadilan letaknya jauh sekali, mungkin di Mars.
Sebagai pengacara aku tidak tinggal diam meski segala usaha yang kutempuh untuk membebaskan Marsinah—atau tepatnya almarhumah Marsinah— menemui jalan buntu. Aku bertekad sekalipun Marsinah sudah tiada, tetapi namanya harus dibersihkan.
Dua minggu menjelang pemilihan gubernur, aku menerima beberapa panggilan teror yang menyuruhku untuk tutup mulut. Hari ini calon gubernur yang tersisa hanyalah Mieke Sudrajat—wanita itu akan melawan kotak kosong, yang seharusnya diisi oleh sang petahana, almarhumah Nyonya Gubernur. Kans kemenangannya digadang-gadang cukup besar. Mieke Sudrajat bisa dipastikan akan menjadi gubernur selanjutnya, menggantikan adiknya sendiri yang tewas dibunuhnya.
Namun aku tak peduli. Kebenaran soal kasus Marsinah harus diketahui oleh publik. Bukti-buktinya sudah jelas, tak ada gunanya mencoba menutup-nutupi keterlibatan Mieke Sudrajat. Jika tuduhanku terbukti benar, maka sang pembunuh tak boleh menduduki kursi gubernur.
Usahaku yang terbaru—dan semoga bukan yang terakhir—adalah lewat demonstrasi. Aku ingin menggalang simpati publik, agar semuanya tahu siapa Mieke Sudrajat dan tidak memilihnya. Dan di sinilah aku sekarang, pada siang hari bolong, di depan Gedung Mahkamah Agung tempat sidang terakhir kasus Marsinah dilakukan. Dilengkapi spanduk dan pengeras suara, aku berorasi menyuarakan kebenaran. Aku tak peduli apa kata orang. Sudah selusin yang mengatakan aku gila. Memang begitulah yang terjadi pada orang-orang benar. Mereka dicap gila. Bukankah almarhumah Marsinah juga menerima perlakuan yang sama?
"Cabut tuduhan atas almarhumah Marsinah!" teriakku, bersama beberapa orang dari lembaga swadaya masyarakat yang turut mengikuti kasus ini.
"Marsinah tak bersalah!" teriak para simpatisan itu. "Marsinah tak bersalah!"
"Marsinah difitnah!" lanjutku. "Dia bahkan tak tahu apa-apa soal kimia, bagaimana bisa dia merencanakan pembunuhan dengan racun?"
Para simpatisan yang ikut berdemonstrasi denganku berseru-seru menyahuti kata-kataku. Sekumpulan PNS yang lewat di situ hanya berhenti sebentar, kemudian berlalu seakan kami bukan apa-apa. Bahkan ada yang menggeleng-geleng dan mendengus meremehkan. Aku tahu apa yang mereka pikirkan. Untuk apa mengurusi seorang pembantu "pembunuh", yang tewas bunuh diri dengan konyol?
"Ini semua rekayasa! Fitnah yang yang keji! Saya bisa menjelaskan semua yang terjadi! Saya punya bukti-bukti yang menunjukkan siapa pelaku sebenarnya!"
Sebuah mobil Mercedes hitam melintas perlahan di sebelah kami. Bapak-bapak parlente yang duduk di dalamnya kelihatan tertarik mendengarkan orasiku. Agaknya dia salah satu pejabat Mahkamah Agung.
"Bukan klorofluorokarbon yang membunuh Nyonya Gubernur, tetapi karbon monoksida! Saya mempunyai potongan laporan otopsi dokter yang asli! Laporan yang dipakai polisi itu sudah dipalsukan!"
Beberapa orang mulai berkumpul di sekelilingku, tampak antusias. Bapak-bapak parlente itu turun dari mobilnya disusul beberapa pejabat lainnya. Sejumlah mobil-mobil berhenti di sekitar kami, memagari kerumunan orator ini.
"Saudara-saudara!" Aku merasakan semangatku kian menggebu. "Apa yang ditulis oleh media massa semuanya adalah kebohongan. Saya, pengacara Handoko, telah melakukan penyelidikan independen pada kasus Marsinah." Aku menelan napas dalam-dalam. Apa aku akan mengatakannya? Semua kebohongan ini telah makan korban yang terlalu besar: nyawa tak bersalah Marsinah. "Nyonya Gubernur dibunuh oleh orang terdekatnya, bukan Marsinah! Mieke Sudrajat seharusnya diperiksa polisi!"
Gemuruh kekagetan terdengar di kerumunan itu. Mereka semua gempar. Beberapa nyonya pejabat yang mendengarku menggeleng-geleng tak percaya. Sorakan atas orasiku semakin menjadi semakin keras, kali ini dengan kecepatan yang luar biasa. Lalu ada yang mulai meneriaki aku sinting, dan dibalas oleh anggota kelompok kami.
"Marsinah tidak bunuh diri dalam selnya! Kemungkinan besar dia dibunuh, karena sudah buka mulut dan menceritakan kebenarannya pada saya! Selama ini pengacara yang sebelumnya mewakili Marsinah justru ikut berkonspirasi menyekapnya di penjara!"
Sekonyong-konyong terdengar teriakan-teriakan panik. Ada bunyi letusan, entah dari mana datangnya. Selama sepersejuta detik aku tidak tahu apa yang terjadi, sampai aku menyaksikan darah menyembur keluar dari dada kiriku disusul rasa sakit yang luar biasa. Pandanganku kabur seketika, keseimbanganku goyah. Aku jatuh terjerembab ke tanah dengan bunyi gedebuk menyakitkan.
Kerumunan itu menggila.
Tiba-tiba ada cahaya terang yang menyelimutiku. Dari baliknya aku melihat seseorang yang datang menghampiriku. Aku mengerjap-ngerjap karena silau. Sosok itu memadat dan mewujud sebagai Marsinah. Aku hampir tak mengenalinya. Wanita itu tampak segar dan sehat, amat kontras dengan sosok yang kutemui di penjara sebulan lalu. Marsinah tersenyum kepadaku dan mengulurkan tangannya kepadaku.
Dan aku menyambut uluran tangan itu.
***
Keesokan harinya, judul berita halaman depan seluruh surat kabar kota memuat tajuk utama yang hampir sama: "Pengacara Handoko Triadi tewas akibat serangan jantung pada saat melakukan demonstrasi meminta keadilan dalam kasus Marsinah...."
Tak ada seorang pun yang berani bicara.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top