8

Kalian semangat aku yg lemass guys! Udh berapa chap yg aku up? Ada 4 work yg di up, dan draft ny msh adaa...

Ya udh langsung! Cus dah

💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜______________________________________















Gimpo Airport, South Korea



Butuh kurang lebih dua jam perjalan dari Jepang ke Korea. 

Pemuda tampan berkulit putih pucat dengan rambut coklat yang ditata beratakan serta kacamata hitam yang bertengger manis di hidung bangirnya itu melangkahkan kaki jenjangnya keluar dari pesawat pribadi yang mengantarnya dengan selamat hingga Negara tercintanya ini. Korea. 

Menghirup dalam-dalam udara Negara kelahirannya yang terasa segar di tengah-tengah penghujung musim gugur ini nyatanya membuat suasana hati lebih ringan.

 Ia kembali, setelah tiga tahun lamanya pergi jauh dari rumahnya, rumah tempat ia pulang, rumah yang akan selalu ia jaga dengan darah, keringat dan airmata bersama para teman-temannya.

"Welcome home......








Park Jimin!"









Pemuda Park yang baru saja mendarat itu tersenyum simpul begitu kalimat itu ia ucapkan. 

Senyum simpul itu lenyap seketika bersamaan dengan langkah percaya diri Park Jimin melangkahkan kaki nya menuju bagian imigrasi bandara Incheon sebelum nantinya menuju suatu tempat yang harus ia datangi terlebih dahulu.

Tampan dan modis serta aura yang kuat membuat orang-orang yang ia lewati terpana menatap ciptaan tuhan yang satu ini. 

Inilah bedanya ia dengan Tsukishiro  Aki. Aki sangat tidak suka menjadi pusat perhatian. Sementar Park Jimin biasa menjadi pusat perhatian. 

Biasa, bukan berarti suka. 

Ia hanya tidak terlalu peduli dengan pandangan orang pada dirinya. Sementara Aki walaupun cuek, ia terikat dengan nama Tsukishiro di Jepang sana. Menjadi pusat perhatian disana sama saja menyerahkan diri untuk menjadi incaran para musuh keluarga itu.

 Sementara sebagai Park Jimin. Ia tidak memiliki tanggung jawab atas nama baik keluarga, walaupun keluarga aslinya bukan keluarga sembarangan, tetap saja itu tidak berpengaruh padanya. Karena orang-orang hanya tahu Keluarga Park memiliki tiga orang anak bukannya empat, jadi apa yang harus ia takutkan dari perhatian yang terarah padanya. Yang ada malah membosankan dan merepotkan.

Jimin baru saja melangkahkan kakinya keluar dari bandara, niat awal ingin menaiki taksi, tetapi niat itu urung ia lakukan begitu melihat mobil sedan hitam yang berhenti tepat tidak jauh darinya. 

Sang Sopir mobil itu berjalan cepat menghampiri Jimin yang sedang berdiri diam di dekat pintu keluar bandara itu. Memberi salam dan mempersilahkan Jimin untuk mengikutinya.

Pandangan orang-orang yang juga berada disekitar pintu keluar itu terarah pada mereka, bagaimana tidak terpsona, seorangpemuda tampan, modis dan juga cool, berjalan dengan santai memasuki mobil sedan mewah yang  dibukakan oleh seorang supir, seolah itu hal yang bisa.

'Ah, dia pangeran dikehidupan nyata'

'Aura orang kaya memang beda!'

Mobil itu bergerak perlahan meninggalkan area bandara dan memasuki tol, Jimin menatap jendela disisinya, menatap keluar dan mengamati landscape kota yang cukup banyak berubah. Walaupun ia tidak tinggal di kota ini, tetapi Jimin bahkan berani mengatakan jika ia lebih tahu seluk beluk ibukota dari jalur utama sampai jalur tikusnya dibandingkan orang asli sana. 

 Ia sudah biasa berjalan-jalan di Ibu kota sendiri, Ah! Lebih tepatnya bersama kedua sahabatnya atau temannya yang lain di waktu-waktu tertentu.

"Sudah sampai Tuan Muda."

Kata-kata sang supir itu mengembalikan Jimin kedunia nyata yang sempat ia tinggalkan sesaat selama perjalanan. Ia melirik sekitar dan benar saja, mobil sudah berhenti di sebuah tempat yang ia kenali. 

Sepertinya ia terlalu larut dalam lamunan hingga tidak sadar telah menghabiskan waktu cukup lama.
"Ah, ya. Terima kasih banyak Ahjushi."

"Sama-Sama Tuan Muda."

Jimin tersenyum membalas perkataan sang supir sebelum menegakkan tubuhnya, melepas kaca mata hitamnya dan berjalan menuju bagian selatan tempat. 

Ia kembali setelah sekian tahun lamanya bersembunyi. 

Permainan akan segera di mulai. Mereka sudah terlalu lama menebar umpan, sekarang sudah waktunya memulai aksi tari-menarik dengan sang ikan besar. Tinggal bagaimana teknik dan strategi mereka untuk memenangkan pertandigan pancing memancing ini dan menjadi pemenang yang berhasil mendapat paus besar yang sangat suka bermigrasi itu. 

***** 



Star City, Apartment

"Dia sudah sampai?"

Pemuda berkulit putih dengan gigi kelinci menoleh kearah pemuda lain yang sedang berbaring sofa ruang tengah apartemen miliknya itu. 

Diluar sedang hujan badai, karena itulah pemuda tadi lebih memilih mendatangi apartement si pemuda putih itu dari pada mendekam di apartemennya sendiri yang sebenarnya berada tepat disebelah unit temannya ini. Di lantai ini hanya ada tiga unit apartemen, satu milik si pemuda putih itu, satu milik pemuda yang terbaring tadi dan satu lagi tidak ada penghuninya, bukan benar-benar kosong, lebih tepatnya si pemilik sedang berada di luar negeri. 

"Seharusnya sudah." Kata pemuda putih itu sambil mendekati temannya yang masih betah berbaring menelungkupkan wajahnya ke sofa. 

Kedua tangan pemuda itu terlihat penuh dengan beberapa snack dan minuman yang ia ambil dari dapur sebelumnya. Karena tidak bisa pergi kemanapun mereka memutuskan untuk menonton tv saja dari pada mati kebosanan.

Di atas meja kayu  di depan televisi itu ada dua box pizza yang tadi mereka pesan untuk menemani acara menonton mereka. 

Kedua pemuda itu begitu fokus dengan tontonan mereka sambil sesekali memasukan pizza ataupun snack lainnya kedalam mulut hingga semua habis tak tersisa bersamaan dengan berakhirnya film yang mereka tonton. 

Sesekali keduanya berkomentar tentang film yang baru saja mereka tontong itu, tentang si pingguin biru kecil. Pororo the movie.

Kartun yang sudah menjadi favorit mereka sejak dulu. Memang terlihat aneh untuk ukuran pemuda berusia dua puluh tahun untuk menonton kartun, tetapi tidak ada hukum yang melarang bukan? Jadi nikmati saja.

"Bukankan ini terlalu membosankan? Alurnya tidak menarik sama sekali." Kata salah satu dari mereka setelah sempat terdiam beberapa saat. Mereka masih duduk bersebelahan di sofa ruangan itu. Dalam hening yang menenangkan.

"Haruskah kita mengubahnya agar lebih menarik?" Tanya pemuda itu lagi. 

Pemuda berkulit putih itu memandang temannya dengan alis berkerut. 

Dia pasti sedang tidak ada kerjaan hingga mengatakan hal-hal tidak jelas begini, pikirnya. Ia medengus pelan tetapi tetap menanggapi saja pertayaan itu. "Itu pasti akan sangat menyenangkan, tetapi tidak bisa dengan tiba-tiba. Alurnya akan jadi mencurigakan nanti! Harusnya kau biarkan aku meledakan markas mereka tiga tahun lalu." Sungutnya dengan bibir yang ia kerucutkan mencibir temannya.

Mendengar balasan itu, pemuda satu lagi hanya bisa memutar matanya malas. Jika ia membiarkan hal itu terjadi tiga tahun yang lalu,  bisa ia pastikan perang besar akan terjadi di Negara mereka. "Hem, dan membuat heboh Negara ini dengan pemberitaan pengeboman itu maksudmu." Dengusnya. Sebelum melanjutkan

"Jika ingin menangkap Paus, kau harus mengumpankan hiu! Jika umpan mu hanya ikan-ikan kecil itu hanya akan jadi santapan si paus dengan sekali telan! 

Jika itu hiu mereka perlu untuk mengunyahnya walaupun sebentar setidaknya umpan berhasil tersangkut bukan." Lanjutnya.

Sepertinya selain mengatakan hal-hal tidak jelas, temannya ini juga mengalami gangguan kerja otak gara-gara tidak ada kerjaan. 

Tadi dia yang bertanya haruskah mereka membuat semua ini menarik atau tidak. Kenapa sekarang ia yang ingin tetap pada alur sebelumnya. Mungkin efek hujan badai mempengaruahi kinerja otaknya yang sudah memang aneh dari lahir itu. Namun, walaupun begitu pemuda itu tetap saja menanggapi perkataan temannya dengan jawaban yang tidak jelas juga.

"Aku tidak suka hiu! Mereka jelek terutama giginya!" katanya. 

Bukankah dimana-mana hiu itu ya sama saja, giginya runcing-runcing tidak ada yang memiliki gigi rapi dan memakai kawat gigi. 

"Cih, berkacalah! Gigimu juga jelek!" sahut temannya

"Enak saja! gigi ku ini lucu dan menggemaskan tau! Gigi kelinci"

"Hem, kau mengakui jika kau itu kelinci."

"Sialan!"

Bukankah pembahasan mereka sudah jauh melenceng dari topik utama yang mereka bicarakan sebelumnya? Kelinci dan hiu yang tidak bersalahpun jadi ikut terseret. 

Melihat bagaimana keduanya yang masih betah beradu argument bisa saja isi kebun binatang akan keluar semua. Lihat saja, bahkan sang raja rimbapun ikut tersebut dalam argument mereka.

"Bersyukurlah kau tidak aku jadikan mangsa!" kata si pemuda yang kembali berbaring seperti awal sebelum kegiatan menonton mereka. 

Pemuda bergigi kelinci itu berdecih dan tersenyum sinis mendengar kata-kata temannya itu.

"Cih, memangnya ada Alien makan kelinci"

"Aku ini singa tau! Roaarrrrr!!"

"Bwahahahaha singa?? Mana ada singa yang kurus kering seperti mu!"

Pecah sudah tawa si pemuda kelinci yang berkulit putih bersih itu. Mungkin jika ia benar-benar menjadi seekor kelinci ia akan menjadi kelinci putih atau kelinci salju. Tawa itu masih terdengar geli, dan sulit berhenti.

 Ia akui temannyanya ini memang memiliki julukan lain sebagai singa. Tetapi tentu saja tidak dalam konteks seperti ini, ia memang singa sang pemanga puncak rantai makanan, hanya saat di lain situasi. 

"Tubuh yang kau katakan kurus kering ini bahkan bisa membatingmu dengan satu gerakan!"  bela si pemuda satunya, tidak terima di katakan kurus kering.

 Dia akui ia memang cukup kurus jika dibandingkan dengan pemuda-pemuda lain seusianya, tetapi tidak kering seperti yang dikatakannya juga. Tubuhnya bahkan memiliki otot-otok keren yang terbentuk seperti batangan coklat atau ibarat seperti roti sobek yang dijual di minimarket dekat apartemen.

"Itu dulu, sekarang tubuhku sudah jauh lebih besar tidak sepertimu yang kurus ini."

 olokan yang sengaja dengan nada menghina yang tidak disembunyikan.

Tumbuh besar bersama, mereka sudah terlalu hafal dan biasa dengan sikap sinis satu sama lain. Itu bukan masalah, itu hal biasa bagi mereka. Bahkan kadang bisa lebih parah lagi, apalagi jika satu orang lagi bergabung dengan keduanya. Pertemburan argumentasi mereka bisa lebih sengit dan seru dari pada ini.




TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top