Batas Waktu

Bersepeda di sore hari sudah menjadi rutinitasku di akhir pekan. Sama halnya dengan unggahanku pada tanggal 1 Januari, sejak 7 tahun yang lalu tidak berubah. Mengunggah foto tersebut di Twitterku sudah menjadi rutinitas yang tak pernah kulupakan.

"Posting sepeda dengan pemandangan dari atas jembatan lagi, Fit?" tanya Sasa, sahabatku. Aku hanya tersipu malu mendengar ucapannya. Ternyata sahabatku itu tahu kebiasaanku, tetapi tidak mengiyakan pertanyaan Sasa, karena aku merasa tidak perlu menjawab pertanyaan tersebut.

Pemandangan sore hari dari atas jembatan, sebuah sepeda dan sekotak susu cokelat adalah seperangkat kenangan antara aku dan dirinya. Kenangan terakhir sebelum kami memutuskan untuk berpisah, membuat jarak dan menghabiskan waktu tanpa temu, entah untuk sementara ataupun selamanya.

Tak pernah ada janji yang terucap, tetapi aku tahu kami memiliki perasaan yang sama. Hanya saja, waktu itu kami masih terlalu belia untuk saling mengungkapkan cinta. Namun tanpa kata, kami memahami rasa yang tersemat dalam hati masing-masing. Rasa yang tumbuh seiring dengan kedekatan kami.

Sore di atas jembatan saat itu, kami saling mengungkapkan rencana masa depan. Rencana yang sebenarnya membuat susu cokelat yang kuminum saat itu terasa seperti jamu, sangat pahit. Dia memilih hijrah ke kota lain untuk melanjutkan pendidikan, berbeda dengan keputusan awal yang pernah dia ucapkan, saat pria itu berkata akan bersekolah di tempat yang sama denganku.

Kekecewaan tak bisa kuingkari, tetapi aku tak bisa melarangnya. Sekali lagi aku katakan, kami masih terlalu belia saat itu. Tepat setelah kepergiannya aku mulai melakukan rutinitas memposting foto ini, dengan harap pria itu bisa melihatnya. Melihat jika aku di sini masih menunggunya dan masih dengan perasaan yang sama. Mungkin terlihat bodoh, tetapi aku belum menemukan alasan yang tepat untuk mengakhiri semua penantian ini.

"Jadi apa maksud foto ini?" tanya Sasa, lagi.

Aku kembali tersenyum. "Hanya pemberitahuan," ucapku sembari melihat foto tersebut yang baru saja diunggah beberapa jam yang lalu.

"Pemberitahuan apa dan untuk siapa?" desak Sasa yang mungkin saja tambah penasaran dengan jawabanku.

"Seseorang," jawabku singkat, bukan bermaksud untuk menutupi sesuatu dari sahabatku itu. Hanya saja, masalah hati tak pernah mudah untuk diungkapkan.

Meskipun Sasa terus saja mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa orang itu, aku tidak akan menjawabnya untuk sekarang. Mungkin nanti, saat penantian ini berakhir. Entah akhir sepeti apa, aku tak pernah tahu.

Hingga sebuah denting notifikasi Twitter, membuat jemariku kembali bergerak. Membuka sebuah direct message dari sebuah nama yang membuat hati ini kembali berdegup cepat. Sebuah nama yang telah kutunggu sekian lama.

'Hai, Fitri. Apa kabar?'

Aku tersenyum membaca pesan tersebut. Mungkin ini saatnya semua penantianku akan menemukan jawaban yang jelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top