Aku pulang, dan Dibungkam Penyesalan (1)

IBU-IBU masih berkumpul mengelilingi gerobak sayur Pak Mamat, memilah milih apa yang ingin dibeli sembari bergosip. Artinya waktu masih cukup pagi, sekitar jam 9, tetapi Maya sudah pulang sekolah. Rapat guru yang diadakan sekolahnya, membuat Maya dan murid-murid SMA Kencana 1 dipulang lebih awal. Rasa senang sudah pasti, perasaan jengkel tetap tidak bisa dihindari.

"Harusnya diberi pengumuman dari kemarin, jadi enggak sayang-sayang baju hanya dipakai sebentar saja," keluh Maya kepada Rini sebelum mereka berpisah.

Rini tertawa lagi mendengar keluhan Maya yang sudah diulang kesekian kalinya sejak mereka jalan pulang. "Alasan kamu, May. Bilang saja kamu ingin bangun lebih siang," ucap Rini, tangan gadis dengan rambut sebahu itu terulur, membuka gerbang rumahnya, "sudahlah, sampai jumpa besok. Jangan lupa tugas kelompok kita kamu print."

"Siap. Dah...." Maya melambaikan tangan, lalu pandangannya beralih ke arah tukang sayur yang berada tak jauh dari rumah Rini, melihat apakah ibunya ada di sana.

Gadis berkucir kuda itu melanjutkan langkah ketika tak melihat sosok ibunya. Dengan sepatu hitam bertali putih Maya melangkah ringan, sesekali bersenandung dan menendang kerikil-kerikil kecil yang ada di depannya. Ia berhenti sesampainya di depan sebuah rumah berwarna hijau dengan banyak pot tanaman menghiasi. Membuka slot pintu gerbang, lalu masuk ke dalamnya.

Jemarinya meraih gagang pintu rumah yang bercat cokelat. Terkunci, Maya menggeser sedikit tubuhnya lalu mengintip dari jendela samping pintu. Diketuknya jendela tersebut.

"Assalamualaikum, Bu," panggil Maya. Namun hingga beberapa saat, tidak ada yang menanggapi panggilannya.

Maya menghampiri pot tanaman lidah mertua yang berada tak jauh dari pintu, tangan kanannya mendorong pot plastik itu hingga bagian bawahnya sedikit terangkat. Tangan kirinya meraba bagian bawah pot, dan menemukan kunci rumah yang sudah pasti sang Ibu meninggalkannya di sana.

"Pada ke mana ya?" gumam Maya.

Gadis berseragam SMA itu langsung menuju kamarnya, mengganti seragam sekolah dengan kaos hitam dan celana bahan selutut. Ingat dengan tugas yang harus di print, Maya keluar dari kamarnya dan masuk ke kamar Dewi, kakaknya.

Dewi adalah perempuan yang sempurna bagi Maya. Sikap ramah, prestasi yang dimilikinya buka hanya di bidang pelajaran, dalam seni pun Dewi mempunyai nilai plus sebagai penyanyi dan pelukis. Sebagai seorang adik, Maya menjadikan Dewi sebagai role mode-nya. Selain lulus SMA dengan nilai terbaik di sekolahnya, Dewi juga diterima salah satu Universitas Negri terbaik di Indonesia.

Dewi adalah definisi terbaik bagi Maya.

Maya mulai membuka pintu kamar Dewi dengan sedikit waspada. Sebenarnya Dewi sangat melarang Maya memasuki kamarnya tanpa izin dari sang Pemilik. Bahkan Maya pernah dimarahi habis-habisan saat memakai laptop di kamar kakaknya ketika Dewi tidak ada di tempat, padahal sebelumnya sudah izin. Namun gadis yang masih bekucir kuda itu tidak mau mengulur waktu menyelesaikan tugasnya. Mumpung kakak sedang tidak ada di rumah, batin Maya.

Belum sempat Maya menyalakan laptop di dalam kamar Dewi, terdengar suara pintu gerbang yang terbuka. Terperanjat, Maya berlari mengintip dari jendela kamar. Dilihatnya Dewi bersama seorang pria berjalan menuju pintu. Takut ketahuan, gadis itu berlari ke arah kamar mandi di dalam kamar Dewi. Menutup pintu kamar mandi dengan dada yang naik turun, disandarkan tubuhnya di balik pintu. "Kenapa sudah pulang, sih," gumam Maya.

Sembari menengkan jantungnya yang berdetak cepat, Maya mencoba mendengar situsi di luar kamar mandi.

"Benar di rumah kamu tidak ada orang? Kok pintunya tidak terkunci." Suara berat pria terdengar semakin dekat.

"Iya, ibu aku mau pergi katanya. Mungkin sengaja enggak dikunci, soalnya aku tadi cuma izin ke supermarket." Suara pintu terbuka membuat Maya semakin panik, ia yakin itu suara pintu kamar kakaknya, sedangkan dirinya terjebak di dalam kamar mandi. Jika keluar sekarang, pasti Dewi akan memarahinya.

"Pintu depan sudah kamu kunci, kan?" Suara seorang pria kembali terdengar, membuat Maya mengerutkan dahinya. Mengapa kak Dewi membawa seorang pria masuk ke dalam kamarnya? Hanya berdua lagi, batin Maya.

Ia mencoba memfokuskan pendengarannya. Beberapa saat tidak lagi terdengar suara orang berbicara. Maya belum berani keluar dari persembunyiannya, karena ia tidak mendengar suara pintu kamar lagi dan pasti keduanya masih berada di dalam kamar.

"Zaki...." Suara lembut Dewi terdengar pelan. Maya semakin penasaran dengan apa yang terjadi di balik pintu ini. Merapatkan telinganya ke daun pintu, tak lama gadis itu kembali terkejut. Sebab suara desahan terdengar begitu jelas.

"Tunggu, Dew. Tolong buatkan aku minum dulu. Perutku mulas, mau ke kamar mandi."

Mendengar ucapan pria yang bernama Zaki itu, membuat Maya benar-benar panik. Tak lama lagi dia akan ketahuan. Maya benar-benar merutuki kebodohannya yang memilih bersembunyi.

"Oke, tunggu, sayang," ucap Dewi.

Suara langkah kaki mendekat, refleks Maya menahan gagang pintu sekuat tenaga. Dirasakannya tarikan daun pintu berlawanan arah. Tenaganya tak mampu menahan pintu agar tetap tertutup. Dilihatnya Zaki yang kini berhadapan dengan Maya.

"Wah, siapa ini yang sedang mengintip?" ucap Zaki dengan seringai yang terlihat begitu menakutkan di mata Maya.

Langkah Zaki mendekat ke arah Maya meskipun gadis itu terus menghindar. Hingga keduanya berada di dalam kamar mandi. Zaki berbalik memunggungi, lalu mengunci pintu kamar mandi tersebut.

"Apa-apaan kamu! Kenapa dikunci?" Suara Maya terdengar bergetar. Rasa takut benar-benar melingkupi diri Maya.

Pria yang hanya menggunakan celana dasar hitam tanpa baju itu kembali mendekat ke arah Maya. Seringai di wajahnya tidak pudar. Gadis yang ketakutan itu merapatkan badannya ke tembok, tangannya tanpa sadar melindugi bagian dada. "Apa yang kamu lakukan dengan kakakku?" tanya Maya dengan nada meninggi.

Zaki tertawa melihat Maya yang ketakutan. "Shutt... Jangan kencang-kencang bicaranya. Apa yang saya lakukan? Kamu mau tahu?" Zaki mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.

"Tidak, tidak, aku tidak mau tahu. Sebaiknya kamu keluar dari rumah ini. Atau aku akan melaporkanmu pada kedua orang tuaku," ancam Maya melihat Zaki yang kini berada sangat dekat darinya. Tangan kiri Zaki mengulurkan ponselnya, memperlihatkan sebuah foto yang membuat Maya terbelalak tak percaya. Benarkah itu kakaknya? batin Maya tak percaya.

Sebuah foto vulgar dan tak senonoh terlihat dari ponsel tersebut. Tubuh Maya terasa menggigil melihatnya, ditambah sebuah elusan kini terasa di pinggulnya. Remasan pelan dirasakan Maya, refleks gadis itu memukul pria di hadapannya.

Zaki kembali tertawa. "Kamu harus diam gadis manis. Tutup mulutmu kalau kamu tidak mau kakakmu saya permalukan." Mengusap wajahnya yang terkena pukulan, Zaki kembali mendekat.

Digenggamnya kedua tangan Maya dengan kuat yang melakukan pemberontakan. Kaki Maya tidak diam, menendang-nendang pria di hadapannya. Setetes air mata jatuh dari wajah manisnya. Maya terisak, ketakutan.

"Kalau kamu berani macam-macam ... bukan hanya kakakmu yang menaggung malu, tapi saya tidak segan-segan untuk memperkosamu nanti. Jadi, tutup mulut manismu, Cantik," ancam Zaki. Pria itu mendekatkan bibirnya ke leher Maya. Dicecapnya leher gadis SMA tersebut.

Maya tak mampu lagi menahan beban tubuhnya. Lemas, tubuhnya meluruh, jatuh menduduki lantai kamar mandi yang basah. Suara tangis yang mengencang membuat Zaki membekap mulut Maya dengan telapak tangannya. "Diam dan tetap di sini. Kalau berani melawan saya, keluarga kamu akan menanggung malu yang amat besar," tegas Zaki.

Lalu pria itu meninggalkan Maya yang terduduk di lantai kamar mandi. Di tutupnya pintu kamar mandi tersebut.

Maya terus terisak, dirinya dilecehkan tetapi tak mampu bertindak apa-apa. Ia terlalu kalut melihat foto dengan wajah dan tubuh telanjang kakaknya yang berpose sangat tidak senonoh. Kakaknya yang sangat ia hormati, ia kagumi. Bertindak seperti wantia yang tak pernah bisa Maya bayangkan sama sekali.

Terlarut dalam sesal dan malu yang tak tertahankan Maya melupakan keadaan sekitar. Hingga tak lama kemudian terdengar suara erangan dan desahan yang sekali lagi membuat Maya menagis sejadi-jadinya dalam diam.

Sungguh Maya sangat keweca.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top