Second Sight
Dedicated to : dtonggo, ulat_kiyut46, trisnawatiyono, ainov_iruka, zarinahi, shadowshades, EmaYufina, DhiaDeka, Mimialogo, setiasari123, TeaGlass, Tikhan, Di_Evil, widya271179, ratu_kyuhae, iearyanto, yoonajessica3, adhienda, WidyaEmawati, RiaSanti,
Untuk kalian diatas, saya tunggu kritiknya ... So, Singgah dan cacilah !!!
Pagi ini secerah mentari yang bersinar cemerlang. Sebening wajah Jasmine yang pagi ini mengenakan kembali seragam sekolah yang sudah beberapa waktu ini tak dia kenakan karena dalam masa tenggang menunggu kelulusan.
Ya, pagi ini adalah pengumuman kelulusan tingkat menengah atas. Dan Jasmine yang sudah kelas tiga ini tentu saja menunggu dengan harap-harap cemas.
"Kelihatannya kamu gelisah, Jasmine? Apa kamu ragu dengan kelulusanmu sendiri?" Pak Affandy menyapa Jasmine yang sedang melahap sepotong roti bakar pagi ini. Sementara segelas susu coklat panas sudah kandas dan berpindah ke lambungnya.
"Jasmine nggak gelisah, Yah. Cuman sepertinya ... entah mengapa hati Jasmine resah dan berdebar."
"Sudahlah. Ayah yakin kamu akan lulus hari ini."
Spontan senyum manis menghias di bibir cantik Jasmine. Kalimat Ayahnya memang selalu menjadi penyejuk yang paling mujarab.
"Ayah datang kan nanti?"
"Akan Ayah usahakan, Jasmine. Semoga hari ini tidak ada rapat mendadak."
Jasmine lalu mengangguk memaklumi kesibukan ayahnya. Tiba-tiba Jasmine ingat dengan Jose, laki-laki yang sudah tidak muda lagi utnuk ukuran dirinya, namun sangat berwibawa dan penuh pesona.
"Yah ..."
"Ya?"
"Jasmine boleh bertanya sesuatu?"
Pak Affandy menghentikan kunyahan rotinya dan memandang Jasmine penuh tanya. Lalu beliau mengangguk untuk memastikan bahwa Jasmine boleh bertanya.
"Apakah ... apakah Ayah mengenal Mister Jose dengan baik?"
Pak Affandy menatap heran ke arah Jasmine dan kemudian mengangguk.
"Bagaimana dengan beliau?" Jasmine bertanya dengan nada pelan dan malu-malu.
"Maksudnya?"
"Yaa ... apakah beliau baik, sudah berkeluarga mungkin? Atau yang lain?"
Pak Affandy menghela nafas sejenak.
"Setahu Ayah dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, berkharisma, memiliki insting dan cara kerja yang bagus. Hanya itu yang Ayah tahu selama bekerjasama dengan beliau."
"Istri?" Jasmine semakin kelihatan penasaran mendengar bagaimana persepsi ayahnya mengenai laki-laki menawan sekaligus menyebalkan itu.
"Setahu Ayah dia masih lajang."
Cesss...hati Jasmine mendadak sejuk mendengar keterangan ayahnya bahwa laki-laki itu masih single.
"Sudah siang, Jasmine. Jangan sampai kamu terlambat mendengar pengumuman hanya karena obrolan ini."
"Siap, Yah."
Jasmine lantas segera berkemas dan berlari kecil menuju ke depan, karena di sana, Pak Rusman yang merupakan sopir pribadi Jasmine sudah menunggu untuk mengantar ke sekolah.
Tiba disekolah, suasana sudah ramai. Teman-teman sekolah Jasmine sudah banyak yang hadir bersama dengan orang tua masing-masing. Jasmine celingukan mencari Celline, teman sebangkunya. Tapi kelihatannya Celline tak ada. Atau belum datang mungkin, Jasmine membathin.
"Hai, Jasmine?" terdengar suara perempuan menyapa Jasmine. Gadis itu menoleh dan tersenyum begitu tahu siapa yang datang. Clara, teman sekelasnya yang cantik dengan rambutnya yang sedikit coklat, menandakan bahwa dia ada darah campuran.
"Hai, Clara? Kamu sudah datang juga?" Jasmine balik menyapa Clara.
"Ya."
"Dengan orang tuamu?"
Clara menggeleng. Wajahnya sedikit mendung.
"Lantas?"
"Seharusnya kakakku yang datang. Tapi katanya dia ada rapat, jadi entahlah ... mungkin aku akan tahu kelulusanku paling akhir."
Jasmine tersenyum lembut.
"Kenapa harus bingung? Ada ayahku yang bisa kau mintai bantuan untuk mengambil lembar pengumuman kelulusan kamu."
Clara berbinar.
"Apa mungkin bisa?" Clara meragu.
"Mengapa tidak kita coba?"
Clara tersenyum cerah, berharap bahwa ide Jasmine kali ini benar-benar bisa dia terapkan. Karena menunggu kakaknya datang untuk mengambil lembar pengumuman kelulusan akan sedikit sia-sia karena dia sudah mengatakan bahwa hari ini ada rapat. Dan rapat serta urusan perusahaan selalu lebih penting dari segala hal yang berbau remeh temeh seperti ini.
"Ayo kita bergabung dengan yang lain. Ayahku janji, akan hadir nanti pada pukul sembilan."
Clara mengangguk dan mereka berjalan menuju ke segerombolan teman sekolahnya yang lain. Keceriaan mereka tak surut meski sebentar lagi mereka akan berpisah untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.
* * * * *
Rapat karyawan yang membahas laporan akhir bulan tiap-tiap divisi di kantor Jose terlihat demikian serius. Karena beberapa laporan terlihat mengalami data yang tidak sinkron, sehingga butuh klarifikasi dari masing-masing penanggung jawab. Dan Jose kelihatan sangat gelisah karena hari ini dia berjanji akan menghadiri acara pengumuman kelulusan adiknya, Clara.
Beberapa kali dia melirik arloji mahal yang terpasang manis di pergelangan tangan kirinya. Sekretaris pribadinya seakan menangkap kegelisahan Jose.
"Maaf, Mister terlihat gelisah?" dengan suara lirih, Roza, si sekretaris memberanikan diri menanyakan ketidaknyamanan Jose kali ini.
Jose mengangguk tanpa menatap ke arah Roza.
"Hari ini kelulusan sekolah Clara diumumkan. Dan aku sudah berjanji untuk datang."
Roza manggut-manggut mengerti.
"Mister bisa saja ijin dari rapat ini, dan mengenai laporan yang kurang sinkron, nanti biar saya yang akan meminta laporan tepatnya pada kepala divisi." Roza menjawab dengan suara masih terdengar lirih.
Jose kelihatan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Oke, terima kasih, Za."
"Sama-sama, Mister."
Lalu Jose interupsi untuk meminta waktu dan mengatakan bahwa dia akan undur sejenak dari rapat dan meminta kepada setiap kepala divisi untuk mengantar laporannya kepada Roza. Sebenarnya Jose paling sungkan jika harus pamit dari rapat, tapi dia tak punya pilihan. Hingga akhirnya menyetujui usul Roza.
Beberapa karyawan yang tadi terlihat tegang kini bernapas lega karena memiliki waktu untuk meneliti ulang laporan mereka yang tidak sinkron.
Dengan sedikit menambah kecepatan mobilnya, Jose berharap tidak akan terlambat memenuhi undangan pengambilan pengumuman kelulusan. Meski Jose tahu, bahwa bisa saja dia terlambat karena jadwal penyerahan adalah pukul sepuluh. Dan sekarang jam sudah menunjukkan pukul sebelas.
Suasana sekolah sangat ramai oleh siswa-siswi yang sedang menunggu kelulusan berikut orang tua mereka masing-masing. Jose bergegas turun dan mencari gedung yang dimaksud dalam undangan kemarin. Namun rupanya gedung sudah kosong dan menurut salah satu pegawai administrasi, penyerahan pengumuman sudah selesai lima belas menit yang lalu.
Jose seperti menyesal tak bisa datang tepat waktu. Dia mengedarkan pandangan ke segala penjuru mencari keberadaan Clara. Kacamata hitam yang dikenakannya membuatnya tak terlalu mencolok sedang mencari seseorang. Namun dia segera menoleh ketika sebuah panggilan menyebut namanya.
"Kak Jose!"
Jose mencari sumber suara dan disana, didapatinya Clara sedang berlari dengan riang mendekat ke arahnya. Sebuah amplop berwarna coklat ditentengnya dengan senyum mengembang, menunjukkan bagaimana riang suasana hatinya saat ini. Jose menyambutnya dengan wajah menyesal.
"Clara, Kak Jose minta maaf nggak bisa tepat waktu," ekspresi Jose dibuat sedemikian memelas hingga membuat Clara menahan tawanya.
"Yang penting Clara luluuussss....," lantas gadis itu melompat memeluk Jose, kakak yang berubah menjadi orang tua baginya.
"Ups!" Jose yang terkejut langsung memeluk adiknya itu, untuk ikut merasakan kebahagiaan yang baru saja dirasakan oleh Clara.
"Selamat ya, Cantiiikkk."
Masih dalam pelukan kakaknya, Clara mengangguk.
"Tunggu, bagaimana kamu tahu bahwa kamu lulus, sementara Kakak datang terlambat?" Jose bertanya begitu Clara turun dari pelukannya.
Gadis itu masih saja tersenyum ceria. "Tadi teman Clara menyarankan, agar hasil pengumuman diambil oleh ayahnya. Kebetulan Oom itu bersedia, jadi sekarang Clara sudah pegang hasilnya." Senyum tak juga lepas dari bibir Clara begitu dia mengatakan dengan berapi-api, bagaimana proses pengambilan pengumuman tadi.
Jose manggut-manggut.
"Mereka baik lho, Kak. Kakak temuin mereka, dong, bilang makasih kek?" Clara merajuk.
"Clara ... mungkin lain kali kita bisa menemui mereka dan makan malam untuk mengucapkan rasa terima kasih kita. Karena hari ini kakak meninggalkan rapat, bahkan sebelum rapat usai."
Clara menggeleng.
"Nggak! Pokoknya harus sekarang!"
Jose mendengus tetapi selalu tak berdaya jika Clara sudah bilang harus.
"Baiklah...baiklah." Jose lantas berjalan karena Clara langsung menyeret langkahnya, memaksa menemui teman Clara beserta orang tuanya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang petugas administrasi sekolah untuk menanyakan kelanjutan pengambilan ijazah.
"Hallo, Oom ... Jasmine," Clara menyapa ceria begitu mereka sampai pada Pak Affandy dan Jasmine.
Keduanya menoleh dan tentu saja ada rona keterkejutan di wajah mereka.
"Oom, ini kakak saya, Jose namanya. Dan kak Jose, ini Jasmine dan ayahnya yang tadi mengambilkan pengumuman buat Clara," gadis itu memperkenalkan.
"Pak Affandy?" Jose mengulurkan tangan, namun tak mempedulikan keberadaan Jasmine yang Jose yakin bahwa gadis itu memiliki keterkejutan yang sama dengan dirinya.
"Mister Jose?" Pak Affandy menyambut uluran tangan Jose dan menjabatnya. "Selamat, Clara lulus."
"Terima kasih, Pak Affandy. Anda sudah berkenan mengambil hasil pengumuman untuk adik saya."
"Ah, hanya kebetulan karena saya diperbolehkan mengambilnya, Mister."
"Jadi kalian sudah saling mengenal?" Clara bertanya dengan nada takjub.
Jose mengangguk. "Kami rekanan dalam usaha, Clara. Oh, ya ... selamat juga untuk putri Anda, Pak Affandy," Jose melanjutkan dan hanya melirik sekilas pada Jasmine yang ternyata tak menggubris kehadirannya sama sekali. Bahkan menyambut dengan malas uluran tangan Jose yang mengucapkan terima kasih dan selamat padanya itu.
Dan getaran akibat persinggungan kulit antara Jose dan Jasmine itu kembali terjadi. Jose kembali dapat merasakan kelembutan tangan Jasmine kini ada di genggamannya. Mengirimkan ribuan sinyal yang membuat darahnya mengucur deras dari kepala menuju jantungnya tanpa sensor. Membuat Jose waspada dengan efeknya.
"Selamat, Jasmine."
"Terima kasih." Jasmine menjawab dengan malas dan suara lirih, tanpa menatapnya sama sekali. Padahal kalau boleh jujur, sungguh, tangan Jasmine bahkan berkeringat dingin dengan perjumpaannya kali ini dengan Jose. Laki-laki yang tadi pagi menjadi bahan pembahasannya dengan sang ayah, yang sebenarnya mengganggu pikirannya sejak pesta ulang tahun perusahaan malam itu. Dan Jasmine berharap, Jose tak menyadari betapa dingin jemarinya tadi.
Sial! Jose merutuk dalam hati karena Jasmine hanya cuek saja dengan ucapan selamatnya. Gadis itu kemudian malah asyik cekikikan dengan Clara, setelah jabatan mereka terlepas, entah apa yang mereka bicarakan.
"Baiklah, Pak Affandy. Sekali lagi saya berterima kasih untuk semua ini. Saya pulang dulu, karena rapat hari ini saya tinggalkan."
"Baik, Mister. Sama-sama." Pak Affandy menjawab dan mengangguk ramah ketika Jose pamit dan mengajak Clara untuk pulang segera.
"Sampai jumpa, Jasmine." Clara melambai.
Jasmine membalas melambai dengan senyum tak lepas yang malah mengundang kecurigaan ayahnya.
"Kok malah murung, Jasmine? Kelihatannya kamu kurang suka dengan Mister Jose? Padahal tadi pagi kamu bertanya banyak tentang beliau kan?" Pak Affandy bertanya saat mereka sudah ada didalam mobil menuju jalan pulang.
"Nggak murung, Yah. Jasmine biasa aja, kok?"
Pak Affandy hanya tersenyum.
"Hati-hati dengan rasa benci, Jasmine. Nanti berbalik menjadi cinta lho?" Pak Affandy menjawab sambil terkekeh, membuat Jasmine merengut kesal.
Sementara didalam mobil yang lain, yang didalamnya ada Jose dan Clara, terlihat bagaimana cerianya gadis itu yang hanya ditanggapi dengan kalimat-kalimat pendek oleh kakaknya.
"Tahu nggak, Kak? Jasmine itu selalu baik sama semuat teman. Dia cantik, pintar dan baik banget. Nyatanya tadi nawarin agar ayahnya yang ngambilin pengumuman punya Clara."
"Oh, ya?" Jose menanggapi pendek yang dijawab dengan anggukan semangat Clara.
"Kalau nggak ada mereka, nggak tahu deh kapan bisa dapet pengumuman?" Clara menggerutu membuat Jose menoleh.
"Kan kakak sudah minta maaf tadi?"
"Oke, Clara maafin. Tapi janji ya, kapan-kapan kita ajak mereka makan malam?"
"Mereka?" Jose mengertukan keningnya.
"Iya, mereka. Jasmine dan ayahnya."
Jose menghembuskan napas sedikit berpikir, merasa menyesal karena tadi menjanjikan makan malam sebagai ungkapan rasa terima kasih. Dan memberi janji pada Clara adalah kesalahan berikutnya yang telah dia buat, karena gadis itu akan menjejalinya dengan kalimat-kalimat berdengung bagai lebah hanya untuk mengingatkan janjinya.
Oke, makan malam sebagai ungkapan terima kasih di restoran mana saja akan Jose sanggupi demi menghindari bombardir dari Clara. Tapi satu meja dengan Jasmine? Tidak! Jose harus memutar ulang otaknya untuk menghindari persinggungannya kembali dengan Jasmine. Ini akan berbahaya. Bukan bahaya bagi orang lain, tapi berbahaya bagi Jose sendiri.
"Hmmm...bagaimana dengan voucher belanja? Kalian bisa berbelanja sepuasnya sebagai hadiah kelulusan kalian?" Jose mencoba menghindari pertemuan kembali dengan Jasmine. Laki-laki itu mengeluhkan, bagaimana dunia bisa sedemikian sempit?
Clara menimbang ragu.
"Tapi ucapan terima kasihnya bukan hanya unytuk Jasmine, Kak ... tapi sama ayahnya juga?"
"Itu bisa kakak atur. Kakak bisa mengundangnya makan siang saat kerjasama di kantor."
"Beneran?"
Jose mengangguk dan Clara kemudian juga menyetujui ide belanja sepuasnya dengan senyum khas remajanya. Jose lega karenanya.
Jalanan kembali padat merayap dan mobil Jose berada diantara kepadatan tersebut. Tapi Jose masih mengumpat dalam hati, dengan keacuhan Jasmine padanya. Oke, ini memang tak seharusnya jadi bahan pemikiran Jose, karena bagaimanapun dia dan Jasmine bahkan tak saling memiliki hubungan. Jadi kalau sampai Jose selalu kepikiran tentang Jasmine, bisa dipastikan bahwa ada yang kurang klik dengan otak Jose.
Fix, bisa disimpulkan bahwa Jose hanya mulai setengah waras.
* * * * *
Seminggu dari pengumuman kelulusan, dan Jasmine menjadi pengangguran sukses karena beberapa urusan pendaftaran kuliah sudah dia bereskan. Tiduran dirumah malah membuat gadis itu semakin rusuh saja. Karena bayangan Jose kembali menghantui otaknya. Berualng kali Jasmine mencari kegiatan yang bahkan hanya bertujuan untuk mengalihkan pikirannya dari laki-laki yang satu itu. Tapi tetap saja hasilnya nihil, karena justru Jose nyaris seperti bayangan dalam otaknya.
Ini tak bisa dibiarkan.
Jasmine harus mengeyahkan laki-laki yang satu ini. Selain karena dia terlalu dewasa, juga karena sudah ada perempuan sempurna yang waktu itu menyambutnya dengan sebuah ciuman saat Jose usai memberikan sambutan pada perayaan ulang tahun perayaan kemarin dulu itu.
Tapi memangnya ada yang salah dengan ciuman mereka? Mereka mau lebih dari sekedar ciuman juga bukan urusan Jasmine, seharusnya.
"Eeerrrrggghhh...," Jasmine menggeram sambil menyembunyikan kepalanya di bawah bantal.
Ddrrrttt...ddrrrttt... Ponsel Jasmine bergetar dan disana muncul nama Clara. Jasmine memegangnya, tak langsung mengangkat panggilan itu. Tumben Clara meneleponnya, padahal selama ini mereka hanya teman sekolah biasa. Cenderung jauh karena Jasmine memang jarang berteman dekat dengan teman sekolahnya yang lain. Tapi dia pikir, mungkin saja ada yang penting sehubungan dengan urusan ijazah?
"Hallo, Clara?"
"Hei, Jas? Apa kabar?"
"Baik. Kamu?"
"Aku juga baik, kok."
"Ada sesuatukah?"
"Hmm... kamu ada acara hari ini?"
"Sepertinya nggak," Jasmine menjawab sambil menggeleng, padahal Clara juga nggak bakal tahu kalau dia menggeleng.
"Kita shoping, yuk?" ajakan Clara membuat Jasmine berpikir, tumben-tumbenan Clara mengajaknya shoping, padahal mereka bukan teman dekat.
"Shoping?" Jasmine bertanya untuk memsatikan pendengarannya.
"Iya. Jadi gini, anggap saja ini ucapan terima kasih kami karena ayahmu bersedia mengambil hasil pengumuman kelulusan kemarin."
Jasmine tersenyum.
"Nggak perlu pakai acara begitu. Kebetulan Ayah sempet, jadi nggak masalah." Jasmine mencoba menolak dengan halus, karena dia ingat bagaimana menyebalkan kakak laki-laki Clara.
"Ayolah, Jasmine ... please ..." Clara memohon dengan suara yang dibuat memelas dan menyedihkan. Jasmine mencebikkan bibirnya meski akhirnya menyanggupi.
"Baiklah," kata Jasmine kemudian. Sementara di seberang, Clara tersenyum riang karena berhasil membujuk Jasmine, hingga akhirnya mereka berada di sini sekarang. Di sebuah mall yang besar, jalan-jalan berdua tanpa pak sopir, dengan beberapa tas tenteng yang berisi hasil buruan mereka. Ups, koreksi ... lebih banyak dan bahkan nyaris semua adalah belanjaan Clara.
"Aku lapar, Jasmine. Kita makan, yuk?"
"Tapi ini sudah hampir malam, Clara? Ayah akan marah jika aku pulang terlalu malam." Jasmine mengeluh karena dis sudah kelelahan.
"Nanti aku yang akan bilang sama ayah kamu bahwa aku yang ngajak kamu main sampe malem."
"Tapi, Cla ..."
"Ayolah!" Clara menyeret Jasmine masuk ke resto.
Beberapa kali Jasmine melihat kearah arloji cantiknya dengan gelisah. Malam sudah pukul selapan dan Clara masih juga payah diajak pulang.
"Tenang, Jasmine. Bentar lagi sopirku dateng kok."
Jasmine mengangguk dan kembali menyesap minuman yang dari tadi hanya menghiasi meja didepannya.
"Kak Jose!" tiba-tiba Clara berteriak memanggil seseorang yang namanya membuat Jasmine menegang. Jose? Bagaimana mungkin laki-laki itu ada di mall begini?
Clara bangkit ketika seseorang, maksudnya sepasang manusia, datang menghampiri mereka. Jasmine masih tak berani menolehkan pandangannya.
"Kak Jose di sini?"
"Hai, Clara?" suara manis seorang wanita terdengar, yangh disambut dengan say hello juga oleh Clara.
"Ya. Kamu belum pulang?" Jose bertanya dengan nada datar, namun ada yang terusik ketika dia melirik bahwa yang dibawa Clara kali ini adalah Jasmine. Jose mendadak hilang fokus. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Dia harus segera menghindari gadis ini, Jose membathin.
"Ya. Sama Jasmine."
"Ini sudah malam, jadi sebaiknya segera pulang. Sudah telepon Pak Min?" Jose bertanya tanpa mengacuhkan keberadaan Jasmine, membuat gadis itu mengumpat dengan kesombongan Jose.
"Sudah, katanya akan datang segera."
Tiba-tiba ponsel Clara bergetar dan gadis itu segera meraihnya untuk membaca pesan yang dia terima. Kemudian Clara memandang Jose dengan wajah yang sedih.
"Pak Min bannya bocor, Kak. Boleh ya kami nebeng?" kalimat Clara jelas membuat Jose menegang.
"Tapi, Cla ... Kakak harus mengantar Irina, dan ..."
"Nggak apa-apa, Jose. Kita bisa mengantar mereka satu demi satu." Irina, perempuan cantik yang dibawa Jose kali ini menengahi.
Jose menyerah. Dia tak tahu lagi, bagaimana cara menghindari Jasmine kalau sudah seperti ini. Maka jadilah Jose sopir mendadak. Laki-laki itu mengumpat dalam hati. Selama dalam mobil, Clara dan Irina selalu terlibat dalam obrolan asyik, karena sepertinya mereka saling kenal.
Dan Clara adalah penumpang yang diturunkan Jose pertama kali. Setelah cipika cipiki, gadis itu melambai dengan riang ke arah Jasmine yang dibawa kembali oleh mobil Jose, mengantar Irina kemudian.
Selama dalam perjalanan mengantar Irina, Jasmine merasa seperti kambing congek yang keberadaannya sama sekali tak dianggap. Karena Irina, si cantik yang ternyata adalah perempuan yang mencium Jose ketika pesta kantor, selalu mendominasi percakapan dengan Jose. Bahkan beberapa kali terlihat perempuan itu mendaratkan elusan pada lengan Jose yang sedang memegang kemudi, membuat Jasmine harus memalingkan muka karena jengah.
Oke, itu adegan dewasa mereka yang tak seharusnya Jasmine memusingkan hal itu. Tapi tetap saja Jasmine jengah, karena setiap kali Irina mengeluskan tangannya, Jose malah menatap Jasmine dengan pandangan yang tak bisa dipahami, dari kaca spion mobil.
Jasmine berharap waktu cepat berlalu dan segera sampai di rumah. Tapi ketika mengantar Irina, ternyata merupakan waktu paling memuakkan yang pernah Jasmine rasakan. Bagaimana tidak, setelah dianggap kambing congek selama dalam perjalanan, kini Jasmine harus menyaksikan Jose tang ditarik paksa keluar dari mobil. Dan ternyata tak sampai disitu, karena Jasmine bisa melihat dengan jelas, bagaimana mereka akhirnya bertransaksi bibir untuk waktu yang lumayan lama.
Jasmine lantas mengalihkan perhatiannya dengan memainkan handphonenya untuk sekedar membunuh rasa jengah dan marah yang tiba-tiba bertahta, hingga tak menyadari bahwa Jose sudah membuka pintu disebelahnya dan menyuruh agar Jasmine duduk di jok depan.
Dengan malas-malasan Jasmine mengikuti kata-kata Jose untuk duduk di jok depan. Mobil kembali melaju membelah jalanan yang hingar bingar dengan lampu jalanan yang gemerlap.
Jasmine tak menyadari, bahwa ada nafsu yang mengintip disebelahnya. Berwujud serigala berbulu domba dengan segenap pesonanya.
* * * * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top