11. Nasihat Mira
POV Wulan
"Bang, aku mau cari kerja," kataku pada Bang Yudi, saat ia tengah menikmati sarapan buatanku. Sendok di tangannya berhenti mengayun seketika, lalu pria itu menoleh ke arahku.
"Kerja apa? Aku udah bilang'kan, kamu kerja jadi pembantu aja di rumah Teh Mira. Pasti bayaran kamu gede," katanya semangat.
"Aku yang akan bilang Teh Mira. Setelah makan, aku ke rumahnya," lanjutnya lagi.
"Aku mau kerja di luar, Bang," kataku lagi tidak mau kalah.
"Kamu mau selingkuh di luaran sana? Kamu udah bosan hidup?!"
"Aku bosan punya suami malas. Kerjanya duduk manis sambil main judi slot. Jadi aku harus kerja biar aku bisa makan." Ucapanku sepertinya membuat Bang Yudi kesal.
Sendok ia lemparkan ke lantai, hingga berdenting amat nyaring.
"Alasan kamu malah salahin aku, padahal kamu yang mau selingkuh. Pokoknya kamu gak boleh ke mana-mana, apalagi sampai kerja di luar! Kamu kalau mau kerja, maka jadi pembantu di rumah Teh Mira. Itu sudah tepat. Kamu gak harus pakai ongkos dan aku bisa memantau kamu. Sekarang kamu mandi, aroma bawang gak enak banget masuk ke hidungku. Setelah kamu mandi, aku mau minta jatah!" Aku hanya bisa mengepalkan tangan menahan emosi. Ini bukan saatnya aku melawan Bang Yudi karena dia masih sangat emosi soal kemarin.
Aku mandi dan berganti pakaian sesuai dengan permintaan Bang Yudi. Ia pun sudah berada di kamar dan tengah bermain ponsel.
"Bisa gak, Bang, gak usah main judi online?" tanyaku sewot, sembari merebut ponselnya.
"Gak bisa. Karena hanya ini hiburanku. Kamu gak usah ngatur urusan suami. Kamu cukup atur tanggung jawab kamu sebagai istri." Pria itu kembali merampas ponsel yang ada di tanganku.
"Ya, termasuk minta-minta sama ipar ha ha ha ...," sindirku balik sambil tertawa. Lebih tepatnya menertawakan nasibku yang sedang tidak baik-baik saja sejak Bang Yudi tidak mengerjakan apapun, ditambah judi slot.
"Aku hari ini gak mau minta duit atau minta beras ke rumah Teh Mira. Di dapur beras sudah habis. Kalau kamu mau makan, berarti minta beras di sebelah. Aku lagi malas makan nasi."
"Sekarang kamu makin berani ya, Wulan! Siapa yang ngajarin kamu, huh! Pacar kamu itu?!" aku menelan ludah. Kedua kaki ini gemetar seperti kemarin, tetapi aku gak boleh kelihatan lemah di depan Bang Yudi.
"Bagaimana dia di ranjang? Apa kalian pernah tidur bersama? Hah? Senjata dia lebih besar dari punyaku, iya?!"
"Kamu gila! Aku mau pulang ke rumah ibuku." Aku sudah tidak sanggup lagi. Biarlah nanti orang tuaku di kampung habis-habisan menyalahkannku. Aku mengeluarkan tas dari dalam lemari, tetapi tangan ini ditahan oleh Bang Yudi.
"Kamu mau ke mana? Pulang kampung? Kamu gak akan ke mana-mana, Wulan. Kamu akan tetap di sini menjadi istriku!" Bang Yudi menarik tubuh ini hingga terhempas di atas kasur. Batinku sakit, jiwaku sedang tidak baik-baik saja saat ini dan aku dipenjara oleh suamiku sendiri. Aku harus segera keluar dari zona suami toxic, tapi aku tidak tahu caranya.
Setelah menuntaskan apa yang ia inginkan, Bang Yudi keluar dari kamar. Aku ingin sekali menangis, tetapi air mata ini tidak mau keluar. Segera kuambil pakaian yang tercerai-berai di lantai, mengambil handuk, lalu melilitkan di tubuh ini. Bang Yudi tidak ada di kamar mandi atau di mana pun di ruangan dalam rumah ini. Aku bersyukur karena aku sedang tidak ingin bicara ataupun melihat wajahnya.
"Mana Yudi?" suara dari pintu depan membuatku yang tengah menyapu rumah, menoleh.
"Teh Mira," kataku pelan sambil tersenyum.
"Gak tahu ke mana, Teh," kataku.
"Kok bisa gak tahu, kamu kan istrinya," kata Teh Mira lagi. Wanita itu duduk di sofa ruang tamuku yang sudah usang.
"Bang Yudi jarang bilang dia ke mana kalau pergi, Teh," kataku.
"Kamu itu jangan gak perduli sama suami, Wulan. Suami kamu jadi gak betah di rumah deh. Lihat tuh, Mas Ares, betah di rumah dan selalu ijin bila mau keluar."
"Saya jadi harus mencontoh Mas Ares atau Teh Mira yang punya kesibukan? Saya mau aja kerja, tapi gak boleh sama Bang Yudi," balasku datar.
"Kamu mau kerja apa? Cuma tamatan SMA, paling kerja pabrik dan kamu juga gak punya pengalaman kerja di pabrik. Terakhir kamu kerja di restoran yang di Mall Taman Anggrek itu'kan?" aku mengangguk.
"Adik iparku sayang. Kamu udah benar di rumah. Kalau kurang beras atau telur atau bumbu dapur, ambil aja ke rumah, Teteh gak papa kok. Teteh juga gak enak Yudi gak kerja-kerja. Kamu pasti repot. Teteh tahu banget adik Teteh itu, dia bukan malas, cuma belum ketemu jalannya aja untuk kerja. Teteh yakin suatu saat, Yudi akan sukses seperti Teteh. Kamu yang sabar ya. Mm ... Teteh traktir baso, yuk!" aku tentu saja tersenyum sambil mengangguk. Aku sudah lama sekali tidak menghirup udara di luar gang rumahku.
Ingin ke sana, ingin ke sini, tetapi tidak punya uang. Mau minta tentu saja tidak mungkin.
"Begini saja udah cakep. Ayo, kita makan baso! Saya bikin kesalahan sama Mas Ares. Orangnya ngambek dan saya mau bujuk biar gak ngambek lagi. Temani saya ya." Inilah hal yang paling aku takutkan, jalan bertiga dengan Teh Mira dan Mas Ares.
Jantung ini berdetak cepat, apalagi saat Mas Ares duduk di kursi kemudi. Teh Mira di sebelahnya dan aku di belakang.
"Yudi gak diajak?" tanya Mas Ares pada Teh Mira.
"Yudi gak tahu ke mana. Aku coba telepon juga gak aktif, Mas. Ya sudah, belum rejeki Yudi. Kita makan bertiga saja. Buat Yudi nanti tinggal dibungkus saja." Mas Ares mengangguk dan sama sekali tidak banyak bicara padaku. Bahkan ia tidak bertanya apapun. Mungkin ia masih tidak enak hati soal pemukulan yang dilakukan Bang Yudi pada wajahku. Baguslah, akhirnya kami putus dan aku bisa terlepas dari jerat pria tidak setia seperti Mas Ares.
"Pipi kamu gak papa?" aku tersentak saat suara Mas Ares begitu jelas didengar telinga ini.
"Nggak papa, Mas, udah enakan," jawabku gugup.
"Kamu ini, kalau suami main kasar. Tampar kamu, maka kamu harus mempertahan diri dengan mengelak atau tampar balik. Dia tendang kamu, kamu tendang balik. Kalau masih digebukin, teriak aja biar suami kamu digebuk warga," katanya dengan suara sewot.
"Mas! Ya ampun, kita mau makan baso, masih masalah kemarin aja yang kamu singgung. Kamu kenapa?" sela Teh Mira dengan suara ikut meninggi; tidak terima dengan ucapan suaminya.
"Jangan dengarkan Mas Ares, Lan. Suamiku ini kayak lagi datang bulan." Mas Ares diam. Tidak lama, ponsel Teh Mira berdering. Wanita itu mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya. Mungkin terselip, sampai-sampai ia mengeluarkan sedikit barang dari dalam tasnya untuk mendapatkan ponselnya yang terus berdering.
"Ya ampun, ponsel di mana sih? Ribet banget nyarinya," oceh Teh Mira, tepat saat lampu merah dan mobil pun berhenti. Isi tas Teh Mira semua jatuh.
"Mira, ini apa? Ini bukannya kertas USG'kan? K-kamu hamil? K-kenapa gak bilang?" bukan hanya Teh Mira, aku pun sangat terkejut dengan ucapan Mas Ares.
Bersambung
Jreng... Jreng!
Apakah ada yang ditutupi Mira atau ini akhir dari skandal Wulan dan Ares?
Hamil? Waduh,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top