🍓8. Tetap Enggak Mau 🍓
Kini keduanya berada di dalam mobil Yuga. Sejak tadi Tya baru saja meneteskan air matanya karena merasa kesal sudah dicium oleh pria itu. Pasalnya selama ini gadis itu belum pernah merasakan sebuah ciuman. Membayangkan bisa melakukan cuman pertamanya dengan seorang pria yang ia sayangi. Semua kini harapannya itu pupus dan musnah karena kelakuan atasannya yang juga Kakak dari sahabatnya itu.
Yuga melirik ke arah Tya yang duduk di sampingnya. "Ngapain sih, pake nangis segala?" Yuga bertanya seolah tak memiliki dosa ataupun merasa bersalah.
Tya melirik kesal, sambil menghapus air mata dengan tangannya."Bapak sadar nggak sih apa yang Bapak lakuin tadi?"
Pria itu kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya, sadar, saya cium kamu. Apa yang salah? Cuma kiss aja?"
Tya berdecak lalu menggelengkan kepalanya. Yuga benar-benar di luar ekspektasinya. Mungkin bagi pria itu berciuman adalah hal yang biasa. Tetapi bagi seorang Tya tentu saja Ini bukan hal yang biasa.
"Cuma? Bapak bilang cuma?" Tya bertanya sedikit histeris karena merasa benar-benar kesal dan ingin marah.
Mendengar pertanyaan dia yang begitu emosional, Pak Ahyat sopir Yuga bahkan sampai menoleh. Menatap dari kaca dashboard untuk melihat sebenarnya apa yang terjadi dengan kedua orang itu di belakang. Yuga tau kalau Tya saat ini akan sulit diajak berbicara.
"Tolong mobilnya berhenti dulu di taman depan Pak." Yuga meminta pada sang sopir.
"Baik Den," sahut Pak Ahyat.
Mengikuti perintah sang atasan mobil itu menepi di sebuah taman yang berada tak jauh dari sana. Kemudian Yuga meminta Pak ahyat untuk turun dari mobil dan membiarkan ia untuk berbicara berdua dengan Tya. Dan kini tinggal mereka berdua di dalam mobil.
"Oke, saya minta maaf karena udah cium kamu mendadak tadi. Tapi kayaknya kamu nggak harus histeris gini kan? Emangnya kamu belum pernah ciuman??" Yuga bertanya pada Tya.
Tya melirik dengan tatapan kesal. "Kamu nanyeaa? Kamu nanyea?" Tya bertanya sambil menangis. Rasanya ingin mengacak-acak rambut pria itu dengan kedua tangannya.
Yuga berdecak, ia merasa kesal dengan reaksi yang diberikan oleh gadis itu. "Saya tanya ke kamu, tapi kamu malah jawab kayak gitu."
"Ya karena Bapak harusnya udah tahu! Bapak lihat saya," pinta Tya.
Mendengar kata-kata itu Yuga segera dengan refleks menatap ke arah Tya. "Kenapa?"
"Apa menurut Bapak saya ini menarik?"
"Enggak," jawab Yuga sambil menggelengkan kepalanya.
"Jadi apa bapak pikir orang nggak menarik seperti saya bisa mendapatkan ciuman pertama?" tanya Tya.
Yuga anggukan kepala, lalu menjawab pertanyaan gadis itu. "Tadi saya cium kamu."
Gadis bertubuh gemuk itu benar-benar kesal ia lalu sedikit berteriak sambil memukul-mukul dada Yuga. "Bukan yang seperti itu yang saya mau!"
Yuga menahan kedua tangan Tya, selalu menghempaskan dengan sedikit keras agar menjauh dari tubuhnya. "Jadi kamu bayangin kayak apa? Ciuman manis dari laki-laki yang kamu sayang dan kamu cintai? Pikiran kamu tuh terlalu kekanak-kanakan."
"Mau bapak apa sih?"
"Nikah sama saya, Saya capek setiap hari ditanya ibu sama nenek saya tentang kamu. Saya males juga PDKT, makanya saya ngomong ini langsung ke kamu. Nggak usah menolak, daripada kamu sendirian Sampai tua nanti. Penawaran ini nggak datang dua kali." Yuga seharusnya meminta tolong dengan baik kepada Tya. Hanya saja kata-kata yang terlontar dari bibirnya selalu saja seperti itu, menunjukkan sisi angkuh yang ia miliki.
"Pak, pernikahan itu bukan hal yang bisa dipermainkan. Dan saya nggak mau mempermainkan hal sakral seperti itu. Lebih baik Bapak cari perempuan lain. Yang bisa Bapak bayar." Tya tak ingin melakukan itu karena ia tahu kalau pernikahan adalah sebuah hal yang sakral. Maka Gadis itu tak mau bermain-main.
Tentara di sisi lain sang atasan tentu saja menimbang apa yang dikatakan oleh Tya. Karena tak mungkin baginya mencari gadis lain, Yuga sudah bertindak terlalu jauh. Ia bahkan sudah mencium bibir bawahannya itu di depan karyawannya. Ia sudah rela menanggalkan harga dirinya hanya untuk mencari kenyamanan bekerja agar tak terus didesak oleh sang ibu dan juga nenek.
"Pikirkan lagi, karena kita sudah melangkah terlalu jauh."
"Kita?" Tya bertanya heran seolah dirinya ikut andil dalam peran yang dimainkan oleh Yuga.
"Iya, saya dan kamu. Kita sudah ciuman tadi."
Tya hanya terdiam kini tak bisa berkata-kata lagi.
Yuga benar-benar keras kepala. Sejak tadi dirinya sudah menolak namun sama sekali tak dihiraukan. Sepertinya setiap penolakan akan terus terbantahkan oleh pria itu. Tya memilih diam. Sepertinya itu adalah cara terbaik yang bisa ia lakukan saat ini.
Kemudian pembicaraan itu Yuga mengantarkan Tya ke rumah. Di depan pagar sudah ada Bumi yang menunggu sang adik. Yuga berniat ke luar untuk mengantarkan gadis itu.
"Terimakasih, tapi lebih baik Bapak nggak usah anterin saya."
"Kenapa?"
"Nanti yang ada Bapak ngomong macam-macam sama kakak saya." Tya katakan lagi ketakutan yang ia pikirkan jika atasannya itu mengantarkannya keluar.
Ya, sebenarnya memang itu yang ada dalam pikiran Yuga saat ini. Ingin terlihat dekat agar kemudian mendapatkan restu dari Bumi. Berharap dengan cara seperti itu akan membuatnya semakin mudah untuk membujuk Bumi dan siapa tau Tya luluh.
Tya dengan segera berjalan ke luar mobil. Yuga juga lalu dengan segera juga berjalan ke luar mobil. Keduanya kemudian mendekat kepada Bumi yang kini menatap dengan penasaran. Karena ini adalah pertama kalinya Tya pulang bersama laki-laki selain Vhi.
"Ini kakaknya Vhi?" tanya Bumi.
Yuga menganggukan kepalanya kemudian mengulurkan tangan. "Iya saya Yuga."
Bumi menyambut tangan Yuga. "Bumi. Terima kasih karena udah mau nganterin adik saya pulang."
"Sebagai pacar yang baik memang harus kayak gitu," ucap Yuga yang tentu saja membuat Tya melotot menatap ke arahnya. "Ya kan sayang?"
"Pak?!" kesal Tya.
"Mas Bumi, adiknya emang emosian ya?" Yuga bertanya.
Bumi tak menjawab masih menatap ke arah adiknya dengan penasaran. Di dalam pikirannya jadi bertanya-tanya Apakah benar adiknya itu berpacaran dengan Yuga?
Bumi lalu melirik pada Yuga. "Iya emang agak emosian. Tapi emang benar kalian jadian?"
"Enggak!"
"Iya!"
Dua jawaban diterima oleh Bumi dan kini membuat pria itu jadi bingung sendiri. Bagaimana bisa sepasang kekasih menjawab pertanyaan yang berbeda mengenai hubungan mereka?
"Jadi sebenarnya kalian pacaran atau enggak?" Bumi bertanya lagi.
"Pacaran tapi dia—"
Ucapan Yuga terhenti saat Tya menginjak kaki Yuga dengan sekuat tenaga kemduian pria itu memekik kesakitan. Sambil sedikit melompat merasakan kakinya yang baru saja diinjak sekuat tenaga oleh gadis dengan berat badan lebih dari 80 kilogram itu.
"Tya?!" Bumi kesal karena sang adik yang melakukan kekerasan.
"Nggak ada apa-apa sama dia Mas," kesal Tya lalu menarik tangan Bumi untuk masuk ke dalam rumah. Namun sang kakak tetap berdiri pada tempatnya karena ia masih penasaran dengan hubungan keduanya.
"Enggak apa-apa Mas, biasa bentuk kasih sayang. Soalnya kemarin dia minta supaya hubungan kita dirahasiakan dulu."
"Argh!" Tya berteriak frustrasi. Lalu memilih masuk ke dalam rumah tanpa persetujuan Bumi.
Yuga menatap Tya, lalu menatap Bumi. "Permisi Mas saya harus pulang."
"I-iya," sahut Bumi canggung. Merasa iba juga karena Yuga terlihat kesakitan sekali. "Kakinya?"
"Enggak apa-apa. Permisi." Yuga lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobil.
Setelah mobil itu melaju, ia seger membuka sepatunya menatap kakinya yang merah akibat injakan Tya tadi.
"Sial!" makinya kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top