Chapter 36
Maafkan aku Akemi," ucap Roman tersenyum kecil.
.
.
.
.
.
Roman berhasil menghindari serangan palu besi milik Akemi. Pintu terbuat dari kayu jati hancur terkena hantaman palu besi.
"Hampir saja," gumam Roman.
Roman keluar ruangan dengan mengambil langkah seribu. Di dalam buku usang itu terdapat sebuah rahasia tentang murid kelas 2F. Roman yang menjabat sebagai ketua kelas bertanggung jawab untuk mengamankan benda penting itu termasuk adik tirinya sendiri yaitu Akemi.
"Kakak... Kamu mau kemana?" tanya Akemi menyeringai kecil. Ia mulai mengejar sosok Roman yang hampir menghilang ditikungan lorong lantai 3.
Seperti Tom dan Jerry, Roman dan Akemi saling mengejar satu sama lain. Roman menghindari pukulan palu besi untuk kesekian kalinya.
"Kakak... Ayo serahkan buku itu kepadaku," ucap Akemi tersenyum lebar. Sosok Akemi saat ini merupakan kepribadian lain darinya. Ibaratnya sisi gelap yang bersemayam di dalam tubuh Akemi sejak ia membunuh ayah kandungnya sendiri.
"Tidak! Sampai kau bisa membunuhku, baru kau rebut buku ini!" seru Roman membalas.
Saat ini Roman tengah menuruni anak tangga. Ia melompati dua anak tangga agar tidak terkejar oleh Akemi.
Lari Akemi terhenti. Akemi hanya diam memperhatikan sosok Roman yang menuruni anak tangga dengan cepat. Senyum lebar masih terukir jelas di bibir ranum Akemi.
Roman melirik sekilas. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri. Ia mengakui sangat takut melihat sisi gelap Akemi. Ibaratnya bagaikan Malaikat maut yang siap untuk mengambil nyawanya.
.
.
.
.
Lantai 2...
Roman terus berlari. Ia tidak mendengar langkah kaki dibelakang. Roman tetap berhati-hati dan waspada. Ia tidak tahu rencana apa yang dibuat oleh Akemi.
Tiba-tiba dari ujung lorong tepat di depan Roman. Seorang pemuda berambut hitam berantakan berdiri di sana. Pemuda itu membawa sebuah senjata berupa tombak. Tombak itu ia lemparkan kuat ke arah depan.
Kedua mata Roman melotot lebar. Pemuda di depannya adalah Shin, adik angkat Akemi. Dan saat ini nyawanya terancam dikarenakan sebuah tombak melesat cepat ke arahnya.
Tongkat bisbol milik Roman diayunkan kuat. Ia berharap semoga dapat menghentikan serangan itu, walau presentasi hanya 30%.
Waktu seakan melambat. Tombak milik Shin masih melesat lurus. Dalam hitungan detik, ujung tombak tajam itu sudah berada di depan mata Roman. Tongkat bisbol Roman mengenai sedikit tombak, namun tidak menghentikan serangan itu.
Jelb!
Tusuk!
"Urghh!"
Roman memuntahkan darah segar. Tepat di perutnya menancap sebuah tombak hingga menembus ke belakang. Buku dan tongkat bisbol terlepas dari tangan Roman.
Brugh!
Tubuh atletik Roman terjatuh di lantai masih dalam keadaan tombak tertusuk. Napas Roman sudah tak beraturan. Dalam hitungan detik nyawa Roman menghilang.
Suara langkah kaki terdengar dari dua arah. Langkah kaki itu sampai di tempat Roman berada.
"Kak Akemi, aku sudah mengerjarkan tugas yang telah kau berikan." ucap Shin senang.
Akemi tersenyum tipis. "Kau memang anak yang dapat diandalkan dan... maaf kamu sudah tidak kubutuhkan lagi."
Bugh?!
Sebuah palu besi menghantam wajah Shin sangat keras. Shin sampai terlempar kencang menabrak jendela lorong lantai 2.
Suara retakan kaca dan remukan tulang terdengar jelas. Beberapa gigi milik Shin pun terlepas bercampur dengan darah merah.
Akemi mengambil buku uang di dekat kakinya. Ia tersenyum penuh kemenangan telah mendapatkan buku tersebut.
"Terimakasih... Kak Roman. Sampai jumpa di neraka," ucap Akemi. Salah satu kaki Akemi terangkat, lalu menginjak kepala Roman cukup keras. Roman pun telah tiada di tangan adik tirinya sendiri.
Akemi melirik ke arah Shin yang sepertinya masih bernapas. Ia mendekatkan diri. Ia melakukan hal yang kepada Shin dengan menginjak kepala sang adik angkat kencang.
Dalam hitungan menit, Akemi telah menghilangkan dua nyawa sekaligus. Sisi gelap Akemi memang sangat berbahaya.
"Hmm... tersisa empat orang lagi termasuk diriku," gumam Akemi. Ia pun pergi meninggalkan kedua mayat itu. Jejak sepatu yang berlumuran darah menjadi bukti kejahatan Akemi.
.
.
.
.
Nana tak sadarkan diri. Gen sangat mengkhawartikan keadaan Nana, namun di satu sisi ia harus melawan Lev.
Lev tengah melaju cepat ke arahnya. Pedang miliknya sudah siap untuk memotong apapun.
Gen tak mau terlalu larut dalam kesedihan. Ia yakin dapat mengalahkan Lev dan menyelamatkan Nana untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.
Slash!
Gen melompat ke sebelah kanan. Ia berhasil menghindari tebasan Lev. Dengan hanya satu mata, serangan Lev tidak seakurat sebelumnya.
Syutt?!
Syutt!!
Dua buah pisau kecil melesat ke arah Lev. Lev menangkis dengan mengayunkan pedang secara horizontal. Dua bua pisau itu terjatuh di tanah.
Tiba-tiba Gen datang dengan melakukan tendangan ke arah perut. Lev yang tak siap terkena tendangan itu hingga terpental menabrak bangku taman.
Brak!!
Tak sampai disitu saja. Gen berlari kencang ke arah Lev terlempar. Ia berusaha untuk merebut pedang milik lawannya.
"Ugh!"
Lev berusaha bangkit berdiri. Tendangan keras Gen membuat asam lambungnya seakan naik hingga memuntahkannya.
"Kau!" geram Lev.
"Apa?" tanya Gen menaikan alis sebelah kiri ke atas. Ia harus merebut pedang Lev bagaimanapun caranya.
Lev mengayunkan pedang ke atas, tetapi rasa nyeri di tangan dan punggung begitu menyakitkan. Gerakan Lev pun menjadi terganggu.
Slash!
Gen menunduk. Ia mengepalkan tangan kanan erat, lalu memukul dada kiri Lev kencang.
Slashh!
Sebelum Lev terkena pukulan, ia sudah mengayunkan pedang kembali. Kali ini mengenai pundak kiri Gen.
"Argh!"
.
.
.
.
Kedua terkena serangan. Lev terjatuh dan memuntahkan darah segar. Sedangkan Gen harus merasakan sakit di pundak kiri. Cairan kental berwarna merah merembas keluar.
"Sial!" geram Gen kesakitan.
Gen tak mau menyerah begitu saja. Dirinya tinggal beberapa lagi dapat mengalahkan Lev atau membunuhnya. Ia berdiri dengan darah yang menetes terus menerus.
Gen berjalan agak pelan mendekati Lev. Ia menginjak tangan kanan Lev yang memegang pedang.
"Arghh!"
"Kau sudah tak memiliki senjata lagi," ucap Gen. Ia baru saja meraih pedang milik Lev. Kakinya beralih menginjak dada kiri Lev.
Lev menjerit kesakitan. Ia menatap tajam Gen. Ia sekarang seperti melihat malaikat maut di depan matanya.
"Ada kata terakhir? Aah... sepertinya tidak ada. Sampai jumpa, Lev." ucap Gen. Ia mengangkat pedang milik Lev ke atas, lalu menusuknya tepat di dahi Lev hingga menembus otak.
Tak sampai disitu saja, Gen mencabut pedang itu lalu menusuk mata Lev. Dicabutnya kembali pedang tersebut. Kali ini menusuk dada kiri Lev dan terakhir menyayat leher Lev hampir putus.
Genangan air berwarna merah mengelilingi tubuh Lev yang sudah tak bernyawa. Kini pemuda tampan yang diagung-agungkan oleh seluruh murid SMA Subarashii telah berakhir sampai di sini saja.
"Hahahaha... Kau pun mati di tanganku, Lev." ucap Gen tertawa kencang. Ia buang pedang milik Lev sembarangan. Sebelum meninggalkan mayat Lev di taman, ia menedang wajah Lev sebanyak 3 kali tanpa berhenti.
Gen memegangi pundak yang semakin terasa sakit. Ia berjalan menghampiri Nana yang tak sadarkan diri.
"Nana... Aku telah berhasil menghabisinya," kata Gen tersenyum tipis.
Gen memposisikan dirinya duduk di tanah. Ia mengangkat kepala Nana untuk pindahkan ke pahanya sebagai tumpuan bantal.
"Nana... Kamu pasti kuat. Aku yakin itu," ucap Gen sedih.
Gen membelai rambut hijau Nana. Ia menciumi wajah Nana dari kening, kedua pipi, hidung, dagu hingga bibir kecil miliknya. Rasa manis dan strawberry sangat terasa.
Tiba-tiba di depan Gen terlihat sepasang kaki. Gen langsung menaikan kepalanya ke atas. Ia terkejut melihat sosok wanita berdiri dengan angkuhnya. Wanita itu memegang sebuah buku usang dan palu besi.
"Sudah selesaikan drama percintaanmu itu," ujar wanita tersebut.
Gen tersenyum kecil. Ia meletakan kepala Nana kembali di tanah. Ia pun membersihkan debu yang menempel dipakaian.
"Hmmm... Tinggal satu langkah kecil lagi," balas Gen tersenyum tipis.
Ia mengeluarkan beberapa pisau kecil miliknya. Ia sedikit melakukan atraksi kecil, lalu menjantuhkan pisau-pisau kecil itu tepat di bawah.
Jleb!
Jleb!
Jleb!
Jleb!
Pisau-pisau kecil menancap di kening, tenggorokan, dada kiri dan perut. Tubuh Nana terlihat indah dengan beberapa pisau berdiri tegak di sana. Nana memuntahkan darah segar. Ia pun menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.
"Sampai jumpa... sayangku," ucap Gen menyeringai kecil.
Kini murid kelas 2F hanya tersisa dua murid saja yaitu... Akemi dan Gen. Keduanya berjalan sambil bergandengan tangan meninggalkan taman kota. Tujuan mereka terakhir kalinya adalah... Rumah pak Robert.
.
.
.
.
.
THE END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top