Chapter 35

"Bantai!"

"Akan aku musnahkan kalian semua!"

"Dasar sampah!"

Lev baru saja menebas seorang wanita memakai pakaian kantoran. Kepalanya terlepas dari tubuh.

"Hahaha...," tawa Lev seperti pemeran antagonis.

Beberapa polisi bersembunyi di balik mobil dan pohon. Mereka memantau gerak gerik Lev, sang pelaku pembantaian di taman kota.

"Tembak!"

Peluru-peluru timah meluncur cepat ke arah Lev. Pemuda berambut putih itu memicing. Ia memutar katana milik seperti baling-baling kipas.

Semua peluru berhasil di tangkis. Lev mulai menyerang balik. Seringai khas seorang pembunuh terukir di bibir.

"Matilah kalian!" serunya.

Slash!

Slash!

Katana Lev berhasil menebas tangan kanan seorang polisi. Ia juga menyayat perut polisi lainnya.

"Sial! Dia seperti monster saja!" seru salah satu polisi panik. Ia terus menembaki Lev sampai pelurunya tak tersisa lagi.

"Sudah selesai?" bisik Lev di belakang tubuh polisi itu.

Slash!!

Kepala polisi itu terbelah dua. Lev memandang kepala itu, lalu menginjaknya hingga remuk. Sadis. Itulah sosok Lev saat ini.

"Hmm... Masih tersisa 5 pemain ya,"

Lev berjalan menuju ke suatu tempat. Kemungkinan ia dapat bertemu dengan mereka.

Slash!

Slash!

Slash!

Dua badan terbelah dan satu kepala terlepas dari badan. Tubuh ketiga korban terjatuh di tanah.

Lev menyerang siapa saja yang menghalangi jalannya. Ia tak segan-segan membunuh anak kecil maupun kakek nenek. Ia merasa puas sendiri setelah membunuh. Rasa sakit dan sedih atas kepergian Leona masih menjanggal di hati.
.
.
.
.

Syut!!

Tiba-tiba sebuah benda tajam melesat cepat ke arahnya. Lev dapat menghindari serangan itu dengan mudah. Benda tajam yang diketahui adalah pisau kecil menancap mengenai kepala seorang kakek yang tengah keluar dari toko kue.

"Meleset rupanya," ucap Pemuda berambut cokelat. Ia muncul dari balik pohon. Pemuda itu tidak sendirian, di belakang ya ada seorang Gadis bertubuh kecil.

"Tidak apa-apa, kau sudah berusaha," sahut Gadis kecil itu. Ia memainkan sebuah gunting kecil yang bernoda merah kehitaman.

Pemuda itu mengelus lembut rambut sang Gadis. Lev melihat semua itu dengan padangan jijik. Ia menyibak katana miliknya yang terdapat noda darah.

"Lama tak berjumpa... Lev," sapa Pemuda itu alias Gen. Ia melambaikan tangan kecil.

"Terimakasih Lev karena telah membunuhnya," ucap Nana sang Gadis kecil. Ia membungkukan badan sedikit.

Lev menatap tajam kedua pasangan psiko. Tapi, ia sendiri pun juga psiko. "Aku tak perlu susah-susah mencari kalian," balas Lev.

Nana dan Gen masing-masing mengerluarkan senjata mereka. Lev juga telah siap dengan katana miliknya.

Suasana di sekitar mereka menjadi sepi. Orang-orang pergi menyelamatkan diri, polisi bersembunyi di sekitar area.

Gen menyerang terlebih dahulu. Ia melemparkan pisau-pisau miliknya ke arah Lev. Pisau-pisau itu sudah di lapisi oleh racun yang dapat melumpuhkan.

Lev menyeringai kecil. Ia berlari lurus ke depan. Ia melakukan sepuluh tebasan bertubi-tubi. Pisau-pisau milik Gen terlempar ke segala arah.

"Sekarang!" seru Gen.

Nana memanfaatkan tubuh kecilnya untuk menyerang Lev yang tengah sibuk dengan serangan pisau milik Gen. Ia berlari secepat kilat.

Gunting berukuran besar ia taruh di depan perut. Jarak antara Nana dan Lev semakin dekat.

Jleb!

Gunting Nana berhasil menusuk pinggang Lev. Lev meringis kesakitan. Ia reflek melakukan seragan balik dengan menendang kuat tubuh kecil Nana.

Bugh!!

Tubuh Nana terlempar hingga mengenai papan rambu jalan. Suara retakan tulang terdengar, sepertinya itu suara tulang punggung Nana. Gunting Nana terpental entah kemana.

"Nana!"

Gen terkejut melihat tubuh Nana terpental. Ia menatap tajam Lev.

"Hahaha... Kenapa? Kau marah ahh... padaku," Lev mengejek Gen. Ia memegang pinggang yang terluka. Darah perlahan merembas keluar membasahi pakaian.

Gen berjalan mendekati Lev. Di sela-sela jari tangan sudah terdapat pisau-pisau. Gen sudah mirip dengan seorang ahli sirkus.

Lev tak takut. Ia malah ikut berjalan mendekati Gen. Ia akan mengerahkan seluruh tenaga yang dimiliki. Penentuan telah ditentukan sekarang. Apakah Gen atau Lev yang akan bertahan?
.
.
.
.

Akemi dan Roman berjalan beriringan. Mereka tengah menuju ke lantai 3. Di mana ruang Kepala Sekolah berada.

Tak ada satupun murid yang berlalu lalang di lorong. Saat ini hari libur sekolah.

"Apa kau yakin dia ada di sini?" tanya Akemi datar.

Roman mengangukan kepala kecil. Ia telah melakukan penyelidikan dengan menggunakan alat canggih buatan Shuu. Roman sempat berkujung ke rumah Shuu untuk mengambil alat tersebut sebagai butki.

~Ruang Kepala Sekolah~

Roman dan Akemi saling bertatapan seperti memberikan suatu kode. Roman menarik pintu ruangan kepala sekolah. Akemi sendiri sudah menyiapkan dua senjata miliknya berupa pisau daging dan palu besi.

Srek!!

Kosong. Itulah keadaan di dalam ruangan. Roman melangkah masuk terlebih dahulu. Sebuah benang tipis tak sengaja di sentuh oleh sepatu Roman.

Kapak berukuran besar melayang terbang ke arah Roman. Roman langsung menunduk begitu juga Akemi. Kapak itu menembus kaca jendela.

Prang!!

"Ternyata ada jebakan di sini," ucap Roman.

Keduanya mulai berhati-hati melangkah. Akemi menelusuri setiap sisi sudut ruangan. Tak ada yang aneh maupun mencurigakan.

Saat Roman berjalan menuju ke arah meja. Ia terdiam di tempat. Kedua matanya melebar seakan ingin keluar. Akemi di belakang Roman juga bereaksi sama.

"Itukan... Kepala Jui-sensei,"

Bau busuk menyengat indra penciuman mereka. Akemi tidak terlalu ternganggu dengan bau busuk itu. Ia menatap kepala Jui yang terpajang di meja milik Kepala Sekolah.

"Sepertinya... Ia telah terbunuh hampir seminggu," ujar Akemi menganalisa.

Roman ingin menyentuh kepala Jui. Namun, Akemi menepis kasar tangan sang Kakak tiri.

"Kenapa?" tanya Roman heran.

"Jika kau menyentuh kepala ini, mungkin sebuah tombak akan menembus langsung jantungmu," jawab Akemi datar. Ia melirik ke arah dinding dekat lukisan. Di sana ada lubang yang tertutup rapi.

Roman berdecak kagum. Akemi memiliki pandangan yang tajam serta teliti. Roman berpikir untuk lebih hati-hati. Ia semakin merasa tertinggal selangkah lagi ke depan.

"Aku... Harus bisa melampauinya sebagai Kakak," gumam Roman.

Akemi dan Roman mulai melakukan penelitian. Akemi memeriksa di sebelah kanan dan Roman sebelah kiri.

Akemi tak sengaja melihat sebuah catatan buku yang terlihat kusam. Ia langsung mengambil buku itu tanpa ragu.

"Tunggu!" seru Roman tiba-tiba. Akemi melihat ekspresi wajah Roman yang berbeda, seakan tengah menyembunyikan sesuatu.

Roman mengambil buku usang itu sebelum Akemi hampir menyentuhnya. Roman membuka buku usang perlahan. Ia membaca lembar demi lembar isi di dalam buku.

"Apa yang kau temukan?" tanya Akemi menatap tajam. Aura menyeramkan perlahan keluar menyelimuti tubuhnya.

Peluh keringat muncul di wajah Roman. Ia diam tak menjawab. Bibir tertutup rapat.

"Apa?" tanya Akemi kembali. Ekpresi wajah Akemi begitu datar dan seram.

"Ti-tidak a-ada," jawab Roman gugup. Ia sampai menelan ludah paksa.

Akemi menyerang Roman menggunakan palu besi. Roman berhasil menghindar dengan cara menunduk. Ia sedikit mendorong tubuh Akemi.

Palu besi mengenai meja Kepala Sekolah hingga hancur. Salah satu tangan Roman mendekap buku usang di dada. Tangan satu lagi mengenggam tongkat besi miliknya.

"Maafkan aku Akemi," ucap Roman tersenyum kecil.
.
.
.
.
.
................

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top