Chapter 34

Di toilet lantai 2...

Bercak darah di mana-mana. Bau anyir menjadi ciri khasnya. Beberapa potong bagian tubuh berserakan di lantai.

"Yurina!!"

Gen berlari kencang. Ia baru saja melihat kepala Yurina yang terpisahkan dari badan. Ia mengambil kepala Yurina di peluknya erat.

Airmata kesedihan mulai bercucuran. Kondisi Yurina benar-benar memprihatinkan. Pembunuhnya sangat kejam dan sadis.

Akemi diam. Ia tak menunjukkan ekpresi apapun. Datar.

"Sudah di mulai," ucap Roman pelan. Ia menepuk pundak Akemi.

"Iya," balas Akemi datar.

Kedua tangan yang memegang senjata ia pegang erat. Emosi yang sudah meluap di hati begitu besar.

"4 lawan 1,"

Nana hanya berdiri di belakang Gen. Tak ada rasa sedih ataupun takut. Kedua matanya memancarkan kebahagiaan yang meluap.

"Ku pikir aku tak perlu capek untuk membunuhnya. Aku sangat berterima kasih kepada yang sudah membunuh Yurina," gumam Nana. Ia memainkan gunting jahit kesayangannya.

Gen masih memeluk kepala Yurina. Ia tak peduli dengan bercak darah yang mengotori pakaiannya. Memang dari awal pakaian yang ia kenakan sudah terkena darah Hashimoto.

"Yurina...," ucapnya lirih.

Ada satu keanehan pada Gen. Ia tak mengeluarkan airmata sedikitpun, hanya sebuah senyum kecil yang terukir di bibir.

Gen menaruh pelan kepala Yurina di lantai. Ia bangkit berdiri. Ia menatap sosok Akemi intens.

"Bolehkan aku membunuh pemuda itu, Ketua?" tanya Gen.

"Iya," jawab Akemi singkat.

"Terimakasih," balas Gen.

Gen langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian. Ia berjalan menuju ke lantai dasar melalui tangga. Nana yang melihat Gen pergi, ia juga menyusul.

"Aku akan pergi dengan Gen. Permisi Ketua," pamit Nana membungkukan badan kecil.

"Iya," jawab Akemi kembali.

Kini di lantai 2 tersisa Roman dan Akemi. Keduanya saling bertatapan.

"Tidak mengapa mereka berdua pergi?" tanya Roman agak khawatir.

"Tak masalah. Aku yakin mereka dapat melukai pemuda itu, walau tak membunuhnya," jawab Akemi.

Roman diam. Ia setuju dengan jawaban Akemi. Baginya Akemi adalah segalanya untuk hidupnya.
.
.
.
.

Lev membawa Leona dalam gendongan. Ia terus berlari sekuat tenaga. Tak peduli menabrak orang-orang yang mengumpat kepadanya.

"Leona... Bertahanlah," bisik Lev.

Ia mencium bibir Leona sekilas. Kedua mata Leona terbuka kecil.

"Kak Lev," ucap Leona lirih.

"Jangan banyak bicara dulu! Tenang saja kamu akan selamat,"

Lev menahan diri untuk tidak menangis. Ia tak mau membuat Leona bertambah sedih. Ia harus kuat.

Leona tersenyum kecil. Ia menutup mata perlahan. "Terus... bertahan... Kak Lev...,"

Di tengah perjalanan Leona menghembuskan napas terakhirnya. Di dalam pelukan hangat orang terkasih.

"Leona!!!" jerit Lev.

Lev terjatuh. Ia masih mendekap tubuh kecil Leona yang tak sudah bernyawa. Airmata yang selama ini dipertahakan, akhirnya runtuh juga.

Orang-orang yang melihat keadaan Lev hanya cuek. Mereka seakan tak memiliki rasa simpati ataupun peduli.  Kepentingan mereka lebih penting daripada sekedar menolong Lev.

Lev menatapi tubuh Leona yang sudah pucat pasi. Luka-luka di wajahnya masih menyayat hati.

"Setidaknya... Aku telah membunuh orang yang membuat wajahmu seperti ini," ucap Lev tersenyum samar.

"Semoga kau tenang di sana, Leona ku tersayang,"

Lev membawa tubuh Leona ke arah taman kota. Ia menaruh tubuh kaku itu di bawah pohon.

"Aku akan membuat orang-orang itu merasakan sakit hati kami!" seru Lev tegas. Ia mengeluarkan katana miliknya. Ia menatap tajam lurus ke depan.
.
.
.
.

Gen dan Nana telah meninggalkan area sekolah. Keduanya berjalan beriringan. Namun, aura yang dikeluarkan berbeda.

Aura Gen terlihat merah padam. Aura Nana sendiri terlihat hijau tenang. Gen menaruh dendam yang sangat kuat yang membuat ia harus kehilangan orang-orang terkasih.

"Gen...," panggil Nana lembut.

Gen menolehkan kepala. "Ada apa Na?" tanyanya. Ia mengelus pelan rambut Nana.

"Kamu sedih Yurina telah di bunuh?" tanya Nana polos. Sebenarnya hanya pura-pura saja, ia tak peduli dengan kematian gadis asal Rusia tersebut.

Asalkah Yurina telah meninggalkan dunia ini, sudah membuat Nana sangat bahagia sekali. Kalau bisa ia akan membuat pesta yang meriah.

"Sedih," jawab Gen merenung.

"Namun, ia pasti sudah bahagia di alam sana. Jadi... Mungkin aku akan membuka lembaran baru dengan,"

"Dengan siapa?" tanya Nana penasaran.

Cup!

"Dengan gadis yang baru saja kucium," jawab Gen tersenyum manis.

Nana terkejut. Ia baru saja merasakan ciuman pertama. Ciuman yang di runtukan untuk pasangannya. Rona tipis merah menghiasi kedua pipi.

"Kamu jahat!" seru Nana. Ia membuang wajah ke kanan. Ia sangat malu dan senang menjadi satu.

Gen tersenyum lebar. Sepertinya perasaan miliknya telah terbalas oleh gadis kecil di depannya.

"Ayo, kita berkencan dulu!" ajak Gen. Ia menarik pelan tangan Nana. Nana mengikuti kemana Gen akan membawanya. Saat ini ia begitu bahagia.
.
.
.
.

AKEMI POV

Beberapa potong bagian tubuh berserakan di lantai. Cipratan darah menyebar ke segala arah.

"Masih kurang!" seruku.

Aku melihat seorang pemuda baru saja memarkirkan sepeda. Ia memiliki rambut berwarna hitam pekat.

Tak berselang lama, tatapanku dan pemuda itu saling bertemu. Pemuda itu langsung merubah raut wajahnya. Ia terlihat ketakutan.

"Ketemu," ucapku menyeringai lebar. Aku mengangkat palu besi ke atas.

Pemuda itu panik. Ia mencoba melarikan diri dariku. Namun, sebelum ia pergi sebuah tongkat baseball menghantam wajahnya keras.

Beberapa gigi copot dari dalam mulut. Ia juga memuntahkan darah segar.

"Sekarang Akemi!" seru Roman. Ia mengibaskan tongkat baseball untuk membuang sisa noda darah.

Tung!!

Palu besi menghantam kepala sang pemuda. Suara retakan tengkorak terdengar jelas. Pemuda itu tewas seketika.

"Syaefudin. Malang sekali nasipmu," gumam Roman.

"Belum!" seruku.

Aku menusukkan pisau daging ke dada kiri Syaefudin. Sepuluh tusukan barulah Aku berhenti. Aku menjilati darah yang menetes dari ujung pisau daging.

"Lumayan," ucapku.

Aku memukul palu besi ke arah kemaluan Syefudin. Hahaha... Aku jahat sekali. Eh! Bukan aku, tetapi sisi gelapku yang melakukan ini semua.

Slash!!

Aku menyayat perut Syaefudin. Organ -organ dalam perutnya keluar semua. Aku sudah mulai puas.

"Ayo kita pergi, Roman!" ajakku.

Roman hanya mengangukan kepala kecil. Kami berdua pergi berjalan keluar dari parkiran sepeda.

Aku harus menyelesaikan hasrat untuk membunuh. Jika tidak, sisi gelapku akan marah dan aku akan sedih jadinya.

Selama perjalanan menuju gerbang, aku melihat seorang pria berpakaian satpam. Ah! Mungkin dia satpam baru di sekolah ini.

"Selamat siang, Pak," sapaku pura-pura ramah. Aku tak ingin dia curiga.

"Siang. Kalian baru selesai belajar?" tanya satpam itu.

"Tidak kok. Kami baru saja selesai...," jawab Roman terpotong.

Roman melesat cepat. Ia mengayunkan tongkat miliknya.

Bugh!!

Hantaman keras menabrak kepala satpam. Ia yang terkejut tak mampu menghindari.

Satpam itu terjatuh. Aku mulai berjalan cepat. Aku sayat badannya membentuk huruf X besar.

"Arfhh!!"

Tubuh satpam ambruk ke bawah. Ia di kelilingi genangan darah miliknya sendiri. Maafkan kami telah membunuh anda Pak.

AKEMI POV END...
.........

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top