Chapter 33
LEV POV
Aku telah sampai di sekolah SMA Subarashii yang terlihat sangat megah dan besar. Aku sudah tak sabar untuk membuat kelompok 'itu' bertekuk lutut di hadapanku. Apalagi kalau Akemi akan ku buat ia tergila-gila padaku.
"Kakak, aku ingin buang air kecil dulu," ucap Leona.
Kulihat kedua kaki bergerak tak nyaman. Apakah dia menahan selama perjalanan kemari? Kalau iya, aku sangat kecewa dengan diriku. Aku telah mengambaikan Adik manis kesayanganku.
"Oke. Ayo kita ke toilet lantai 2 saja," jawabku.
Leona tersenyum lebar. Ia langsung menarik tanganku menuju ke lantai 2. Mengapa aku memilih lantai 2? Karena aku merasakan ada sesuatu yang bisa kumanfaatkan di sana.
Sampailah kami di anak tangga terakhir lantai 2. Leona berlari kencang menuju ke arah toilet. Ia sampai terpeleset dan terjatuh akibat terlalu antusias melepaskan hasrat terpendam.
Menunggu sesuatu yang menyebalkan bagiku. "Leona lama sekali sih," gerutuku.
Biasanya ia sangat cepat dalam membuang hasratnya itu. Tidak perlu mencuci tangan atau berhubungan dengan segala macam kebersihan. Itulah salah satu sifat buruk Leona, Adik Loli kesayanganku.
Masuk ke dalam atau tidaknya. Aku anti dengan namanya mengintip. Bisa-bisa kepopuleranku menghilang dari SMA Subarashii ini, sangat bahaya sekali.
Srekk!!
Pintu toilet wanita bergeser. Aku terdiam. Bukan Leona yang keluar melainkan gadis lain... dan dia adalah Yurina, si gadis asal Rusia yang nyasar ke Jepang. Aku memasang kuda-kuda. Jarak di antara kami tidak terlalu jauh.
"Oh, rupanya kau sudah datang," ucap Yurina.
Aku tak menjawab. Rasa khawatir semakin menjadi-jadi di hati. Apakah Leona di bunuh olehnya?
"Tenang saja, aku tidak membunuh adik kesayanganmu itu, hanya saja...,"
Bugh!!
Aku melakukan serangan pertama kali. Namun, seranganku berupa tendangan tak mengenai target, malah mengenai pintu toilet.
Sial! Yurina berhasil menghindar. Aku langsung melihat ke dalam toilet. Kulihat Leona terduduk lemas di pojokan. Ada beberapa luka sayatan di kedua tangan dan wajah.
"Leona!"
Aku berlari kencang ke arah Leona berada. Aku mengecek denyut nadi melalui pergelangan tangan. Nafasnya masih terdengar walau lemah. Sepertinya Leona kekurangan banyak darah.
"Kau!!"
Aku marah. Benar-benar marah. Aku takkan mengampumi Yurina, jika Leona sampai mati. Kutaruh sarung gitar di lantai, aku membuka resleting perlahan.
Sebuah katana berwarna merah gelap terpancar jelas. Aku langsung mengambilnya dan membuat sarung gitar tersebut.
"Wah sebuah katana yang cantik," Puji Yurina. Iris mata hijaunya berbinar-binar.
Slash!!
Aku mulai menyerang Yurina. Kutebas langsung ke arah wajahnya. Sial! Lagi-lagi seranganku gagal. Kali ini hanya mengenai rambutnya saja. Helaian rambut pirang berterbangan.
"Hihihihi... Lebih baik kau urus nasip adiknua itu, sebelum ia mati secara perlahan,"
"Urusaii!!!" seruku.
Aku kembali menyerang. Kali ini aku menganyunkan katana secara horizontal. Yurina mundur perlahan, namun aku takkan membiarkan itu terjadi. Aku menendang salah satu kakinya. Ia mulai terlihat tak seimbang.
Slashh!!
Sayatan berukuran cukup besar terpampang dari bahu kanan sama dada. Kulihat darah merah mulai keluar membasahi pakaian ala bangsawan yang digunakan Yurina saat ini.
"Awwhh!! Sakit sekali!" ringis Yurina menahan perih.
Airmata mulai bercucuran membasahi kedua pipi Yurina. Ia menatap tajam sosok diriku di depannya.
"Ini belum seberapa," ucapku.
Kali ini aku menganyunkan katana dengan kecepatan 2 kali lipat dari sebelumnya. Bagi orang biasa mereka hanya melihat bayangan sekilas dari katana ini.
Yurina nampak panik. Ketenangan di awalnya menghilang. Di tambah luka sayatan yang sangat lebar.
"Hihihihi...,"
Kulihat ia bangkit berdiri. Ia langsung menerjang diriku dengan membabi buta. Ia ayunkan pisau daging miliknya.
Namun, serangan dari sayatan kilat katanaku sudah di mulai. Sayatan pertama berhasil dihindarnya. Aku sedikit kagum dengan kemampuan Yurina yang sudah di sumbang kematian.
Slash!!!
Pisau daging Yurina terpental mengenai jendela lorong lantai 2. Jendela itu pun pecah. Suara pecahan jendela cukup kencang.
"Sial! Aku tidak boleh ketahuan dengan anggota lain kelompok 'itu'!" batinku.
Aku harus menyelesaikan pertarungan ini secepat mungkin, lalu membawa tubuh Leona kembali rumah sakit terdekat. Aku takkan membiarkan Leona mati.
"Selamat tinggal Yurina!" seruku.
Aku akan memberikan hadiah terakhir untuk Yurina. "Terimalah serangan banyangan kematianmu!"
Yurina tak bisa berkutik. Senjata satu-satunya sudah tak ada dalam gengaman. Luka di bahu sampai dada bagian kanan masih sangat sakit.
"Tidak! Aku masih ingin hidup bahagia bersama Gen! Aku masih belum membunuh Nana!" seru Yurina. Airmata semakin membanjiri wajahnya yang bercampur dengan keringat.
Aku menganyunkan katana sekuat tenaga. Bayangan diriku dan katana menjadi satu tak terlihat.
Slash!!
Slash!!
Slash!!
Satu tebasan memotong tangan kiri Yurina. Tebasan kedua memotong kaki kanan Yurina. Dan tebasan katana terakhir memisahkan kepala dari tubuhnya.
"Ahhh!!!"
Suara jeritan kesakitan dan keputusasaan menjadi satu padu. Kepala Yurina terpental mengenai kakiku. Bisa kulihat kedua mata Yurina yang melotot lebar.
"Dasar gadis yang penuh dengan percintaan dan dosa," cibirku.
Aku menendang kepala Yurina bagaikan bola sepak. Aku mendengar suara hentakan kaki berjumlah banyak mendekati area toilet wanita.
Aku langsung masuk ke dalam toilet. Membawa tubuh Leona yang semakin lemas. Kulitnya putih terlihat tambah pucat.
"Leona, bertahanlah," ucapku lirih.
Aku pun membawa tubuh Yurina dalam gendongan ala bridal style. Darah bekas Yurina dan Leona tercampur di bajuku. Aku tak peduli. Keselamatan Leona adalah prioritas nomor satu dalam hidupku.
"Yurina!"
"Oh tidak!"
"Pelaku pasti dia!"
"Hhmm... selamat tinggal,"
LEV POV END...
.
.
.
.
NANA POV
Darah ada di mana-mana. Ini adalah aroma yang sangat kusukai. Seperti aroma bunga mawar merah.
Aku akan sedikit bercerita tentang masa laluku. Di mana aku tak ingin mempercayai siapapun, termasuk orang tuaku sendiri.
Aku setiap hari hanya mengurung di kamar. Kesunyian menjadi temanku sehari-hari.
Bisa di bilang bahkan aku tak mempunyai teman. Hanya buku, televisi, dan gunting kecil sebagai temanku.
Kenapa harus gunting?
Hmm... Aku sangat suka merajut. Sudah banyak hasil rajutanku yang berhasil ku buat. Aku mengenakan itu untuk diri sendiri saja.
Gunting, jarum serta benang menjadi alat dan bahan merajut. Pernah suatu hari, saat aku tengah merajuk. Kaca jendela kamarku berbunyi. Kulihat di luar jendela ada seekor burung gereja mengetuk-ketuk kaca.
Aku dengan malas dan tak memiliki energi lebih berjalan ke arah jendela. Ku bukan perlahan jendela kamar. Burung gereja itu terbang masuk ke dalam.
"Ada apa kau kemari?" tanyaku.
Burung gereja itu hanya berkicau. Karena pusing mendengar kicauan terus-menerus, aku mengambil gunting kecil. Langsung saja kumpul gunting parah burung itu.
Cipratan darah mengenai bibirku. Aku menjilatinya dan terasa aroma darah yang nikmat. Aku pun mengunting kedua sayap, kedua kaki dan badan menjadi beberapa bagian.
"Ini seru sekali!" riangku.
Burung gereja itu telah mati di tanyanku sendiri. Dan aku pun melakukan itu setiap harinya. Kesibukanku Selain merajuk baju di dalam kamar.
.
.
.
.
Kembali ke waktu sekarang...
Aku baru saja melihat bagaimana Gen dan Akemi menyiksa seorang Hashimoto. Keduanya sangat menikmati setiap momen tersebut. Ada hasrat ingin bergabung, namun aku urungkan.
"Permainan baru saja di mulai,"
Itulah kata sambutan dari sang Ketua Akemi. Aku harus siap menghadapi maut yang bisa datang kapan saja dan di manapun berada.
"Aku pamit ke toilet dulu," ucap Yurina. Kulihat dia sedang menahan sesuatu. Wajahnya pucat hampir selaras dengan warna kulitnya.
Aku juga sempat melihat, Yurina menatap tajam diriku. Aku sih hanya menganggap itu angin lewat saja.
Si gadis pirang yang merasa dirinya paling cantik akhirnya menghilang dari pandangan kami. Saat ku menolehkan kepala, aku terkejut. Roman memeluk Akemi dari belakang.
"Wah... Pemandangan yang indah," gumamku.
Aku juga ingin diperlakukan seperti itu. Tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang mengelus lembut rambutku dan saat kulihat dia adalah Gen.
"Aku sudah membalaskan dendam untukmu," ucap Gen lembut. Ia menatap diriku intens, setelah itu di tariklah tubuh kecilku ini ke dalam pelukan hangat.
"E-ehh,"
"Biarkan sebentar saja," bisik Gen.
Aku hanya diam. Ku mencoba membalas pelukannya, sungguh nyaman dan hangat.
Pragg!!!
Tiba-tiba kami mendegar suara pecahan jendela dari arah toilet. Kami saling bertatapan dan bertanya kepada Ketua.
"Bagaimana?" tanya Roman.
"Bukanhkah Yurina sedang di toilet," sahut Gen. Ada raut khawatir di wajahnya.
"Iya... Aku takut terjadi apa-apa dengan Yurina," ucapku berbohong. Aku pun sebenarnya tak peduli jika dia harus mati sekarang.
"Pasti Yurina sedang bertarung dengan pemuda 'narsis' itu," ujar Akemi.
"Mari kita ke sana!" perintahnya.
Kami pun menyetujui. Segeralah kami menuju ke arah toilet. Aku berada paling belakang.
"Semoga saja dia sudah mati," gumamku menyeringai kecil.
NANA POV END...
.
.
.
.
...........
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top