Chapter 23

Nana POV

Hari ini cukup melelahkan. Aku pun berpisah dengan Gen di persimpangan. Aku melihat Gen bukan menuju ke rumahnya. Aku tak peduli juga sih.

Nana hari ini senang dapat bermain-main dengan salah satu murid kelas 2G. Soalnya aku bosan sih, untungnya Gen mau ikut bergabung.

Sesekali aku melirik ke belakang. Aku merasa ada yang mengikuti diriku sejak tadi berpisah dengan Gen. Aku pura-pura tak menyadari dan waspada.

"Nananana...," gumamku bersenandung.

Semakin melangkah, kewaspadaan diriku semakin meningkat. Entah kenapa memacu adrenalin.

"Lihat saja, nanti aku akan membuat dirinya menderita," ucapku pelan.

Aku mengambil benda kesayangan yang ku sembunyikan di dalam baju. Masih menempel sedikit noda merah di sana.

Aku mengambil jalan ke kanan, bukan ke rute rumahku. Aku mencoba untuk mengelabuinya, lalu menyergap dengan cepat.

Suara langkah kaki di belakangku semakin terdengar. Aku semakin mengenggam gunting milikku.

Syatt!!!

"Kena kau!" seruku.

Akulah yang mulai menyerang. Sepertinya seranganku mengenai pipinya.

"Boleh juga kau!" ucapnya. Dia mengoles darah yang keluar dari pipi, lalu menjilatnya.

Aku sedikit terkejut. Ternyata orang yang mengikuti sejak tadi salah satu teman sekelasku.

"Pasti kau terkejutnya," ujarnya menyeringai.

"Erza! Sang psikopat menggunakan darah korban untuk menjadi cat di lukisan mu," sahutku.

Aku sudah tahu semua sisi psikopat dari murid kelas 2F. Tak ada murid yang normal jika sudah di balik layar.

"Haha... Kau tahu saja," balas Erza.

Aku menatap tajam Erza. Aku tak boleh lengah sedikitpun.

"Tenang kawan. Aku hanya ingin meminta sedikit darah darimu untuk lukisan terbaruku," ucap Erza santai.

Aku meludah ke arahnya. Aku tak ingin menjadi salah satu koleksi darinya.

"Kau gadis kecil yang nakal ya,"

Erza mulai berlari kencang ke arahku. Ia mengenggam sebuah pisau dapur. Ada noda kering di pisau tersebut.

Aku pun menghindarinya dengan mudah. Aku menyerang lengan Erza. Ia merintih kesakitan.

Erza masih bersikap tenang. Ia menatap lengan yang mulai mengeluarkan darah dengan tersenyum kecil.

"Kau berbeda dari korban-korban ku yang lain. Aku jadi semakin ingin mengambil darahmu," ucap Erza. Ia sampai menjilati bibirnya sendiri penuh nafsu.

Dasar psikopat. Ah, aku pun sama dengannya. Hahaha...

"Hmm... Boleh aku tahu siapa korban-korbanmu itu?" tanyaku sedikit tertarik.

Erza tersenyum lebar. Ia mengetuk kecil kepalanya seperti mengingat sesuatu.

"Keiko... Aku membantu saat Yurina membunuhnya. Emili... Aku membantu Hide dengan cara menabraknya dengan mobil. Ah! Penolakan cinta membuat seseorang menjadi gila," jawab Erza.

Aku terkejut. Jadi, yang telah membunuh Emili itu Hide. Tetapi kenapa ia seperti kehilangan. Tch! Dasar lelaki biadab!

"Pasti kau baru tahu ya. Si pemuda sok malu-malu itu mengajak diriku untuk membunuhnya. Aku sih mau-mau saja, asal dia memberikan diriku darah murid kelas 2G. Kalau tak salah namanya Yae," ujar Erza.

"Yae? Kau membunuh si gadis penggila kesehatan itu. Aku setuju jika dia mati. Ia hampir saja mencoba membunuhku dengan melakukan diriku sebagai kelinci percobaan itu,"

Mau tak mau aku kesal mengingat hal tersebut. Untunglah aku di tolong oleh Akemi dan ia mengajak diriku untuk bergabung dengan kelompok pembunuh miliknya.

"Mau kulanjutkan kembali?"

Ah! Aku hampir saja melupakan keberadaan Erza. Aku pun mengangukan kepala kecil.

"Yui-sensei... Sang guru muda yang sangat cantik, namun memiliki sisi gelap yang menyeramkan. Ia tak segan-segan menyiksa atau membuat murid-murid kelas 2G menjadi depresi berat hingga bunuh diri. Aku kasihan sekali dengan Hana. Dia salah satu gadis incaranku. Aku membunuh Yui dengan elegan dan menjadi kulitnya sebagai lukisan indah," ucap Erza. Ia tersenyum lebar.

Aku mengerti sedikit perasaannya. Seperti saat akan membunuh Shino, rasanya nikmat sekali.

"Sebaiknya kita lanjutkan pertarungan dan percakapan ini. Seorang tamu tak diundang mau bergabung dengan kita," ucapku. Aku merasakan seseorang tengah mengintai kami.

Erza pun juga merasakan. Kami memustukan untuk berdamai sejenak. Pemuda yang mengicar kami cukup professional dalam hal membidik.

"Andai saja kita menemukan dirinya cepat. Kita takkan harus seperti ini," gerutuku.

"Dia ahli dalam bersembunyi dan menyamar. Jadi, wajar saja apalagi dia teman sekelas kita," sahut Erza.

Nana POV End...
.
.
.
.

Yurina POV

"Lalalala... Aku ingin sekali... Membunuh... Eh!"

"Hihihi... Aku keceplosan, untung saja tidak ada orang di sekitar sini,"

Hai, Yurina kembali hadir. Aku telah berpisah dengan Erza. Katanya sih dia mau mencari mangsa baru. Semoga saja bukan Nana ataupun Akemi.

Gen dan Roman? Ah pasti mereka bisa menjaga diri mereka. Hmm... Bicara soal mereka, aku... sebenarnya menyukai salah satu dari mereka. Tapi aku tak mau memberitahukan kepada kalian. Hehe... Ini rahasia untukku saja.

"Kenapa jarak menuju apartmen begitu jauh ya?" tanyaku. Aku merasa seperti orang bodoh saja.

Huh! Ternyata aku salah ambil jalan. Ini semua gara-gara Pemuda yang selalu menghantuiku.

Saat aku berjalan, aku tak sengaja mendegar percakapan dua orang. Mereka berada di dalam gang yang cukup sempit dan gelap.

"Eh! Itukan... Hanzo dan Erina," ucapku.

Mengapa aku mengenal mereka? Hmm... Mereka itu adalah siswa kelas 2G. Kelas yang menjadi musuh bebuyutan kelas 2F.

"Apa yang sedang mereka bicarakan?" tanyaku penasaran.

Aku memilih untuk menguping. Gini-gini aku memiliki indra pendengaran yang cukup tajam.

"Hei... Apa kau sudah melihat Gen?" tanya Erina, gadis cantik berambut cokelat bergelombang.

"Belum. Aku sudah mengintai rumahnya, tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana," jawab Hanzo, pemuda berkepala plontos alias botak.

Erina dan Hanzo terus membicarakan tentang Gen. Kulihat wajah Erina sampai tersipu malu. Entah kenapa itu membuat diri ini kesal. Ingin sekali aku mencabik-cabik wajahnya seperti yang kulakukan dulu kepada Keiko.

"Hihihi... Aku bunuh saja mereka sekarang," gumamku. Aku mengeluarkan sebuah pisau dapur. Pisau itu sudah menjadi benda keramatku yang takkan terpisahkan.

Aku mengendap-endap perlahan. Aku mulai mendekati si pemuda plontos dan ku tusuk kepala botaknya itu dengan bertubi-tubi.

Jleb! Jleb!

Hanzo pastinya terkejut. Dia tak tahu bahwa Hidupnya telah berakhir secepat ini. Darah mengucur deras dari kepala, mata, telinga, hidung dan mulut.

"Hanzo!" jerit Erina ketakutan.

Tubuh Hanzo langsung terkapar di bawah. Aku menginjak-injak kepalanya sampai tak berbentuk.

Erina melihat diriku. Raut ketakutan menghiasi wajah cantiknya.

"Hihihi... Maaf, aku telah membunuh kekasihmu itu," ucapku santai. Pisau dapur masih setia berada digenggamanku.

"K-kau... Ken-kenapa membunuhnya?" tanya Erina. Ia mengambil langkah mundur.

"Hihihi... Aku tak suka saja melihat kalian membicarakan tentang orang yang kucintai," jawabku tersenyum tipis.

Erina menatap tajam. Sifat aslinya telah keluar.

"Hei jalang! Gen itu adalah milikku!" seru Erina angkuh. Ia melipatkan kedua tangan di dada besarnya seperti melon.

"Hihihi... Tak ada yang bisa menjadi milikmu. Gen itu pantasnya dengan diriku ini," balasku.

Erina langsung berlari menyergapku. Aku ikut melangkah maju. Pisau dapur ku tusukan tepat di wajah cantiknya.

"Ahhh! Wajahku! Sialan kau jalang!" bentak Erina.

"Hihihi.... Aku akan menghiasi wajah cantikmu menjadi lebih menawan dan sempurna," ucapku sadis.

Aku pun melakukan kegiatan yang biasa kulakukan saat membunuh mangsaku. Aku tak segan-segan untuk mencongkel kedua matanya sebagai oleh-oleh untuk keluargaku di Rusia.

"Selesai," ujarku. Aku langsung pergi meninggalkan kedua mayat itu.

Yurina POV End...
............

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top