Chapter 15

Flashback on...

Senin, 04 Mei 2020

Setelah menikmati hari libur, para siswa-siswi SMA Subarashii mulai mempadati sekolah. Ada yang Berangkat menggunakan sepeda, motor, diantar oleh mobil, naik bus, kereta bahkan berjalan kaki.

Sorak sorai suara bising memenuhi gerbang sekolah hingga kelas yang mereka tempati. Salah satunya kelas 2F.

Di sana terlihat masih ada bangku yang kosong. Mungkin sang pemilik bangku masih dalam perjalanan ataupun sarapan di kantin.

"Hai, minna," sapa Roman sang Ketua kelas 2F. Ia memancarkan aura kepemimpinan.

Ia baru saja datang bersama dengan pemuda tak berambut alias botak, yaitu Hoshi. Hoshi tersenyum lebar di bawah lampu yang kedap-kedip.

"Hai bro. Kepalamu seperti lampu disko saja," ledek pemuda yang sedang berjualan kacang.

"Sialan kau!" sahut Hoshi kesal. Ia menjitak kepala Shuu cukup keras. Namun, keduanya malah tertawa bersama.

"Kalian berdua memang aneh," ucap gadis bertubuh tinggi. Ia mengenakan kacamata, menambah kesan sosok macam Onee-sama. Ia tengah asyik membaca buku yang entah apa judulnya.

"Sera-chan, setiap hari kau membaca Buku terus. Apa tidak bosan?" tanya gadis polos bertubuh kecil. Ia memandang Sera penasaran.

"Tidak, Nana-chan. Aku tidak bosan, malah aku sudah membaca buku sehari 10 judul yang berbeda," jawab Sera bangga.

"Wahh... Hebat sekali!" balas Nana dengan mata berbinar-binar seperti di dalam anime.

Suasana di belakang kelas terbilang cukup ramai. Terlihat sepasang muda mudi berbincang-bincang.

"Erza! Apa kau memelihara ular di Indonesia?" tanya gadis cantik berambut pirang. Ia merupakan keturunan langsung dari negara Rusia.

"Benar sekali! Lalu apa Yurina memelihara seekor gorila di Rusia?" jawab dan bertanya balik pemuda berkulit cokelat. Ia merupakan siswa dari negara Indonesia.

"Maunya sih begitu, tetapi aku di larang oleh orang tuaku. Katanya itu sangatlah berbahaya," jawab Yurina kurang semangat.

Erza merasa simpati. Ia mengelus pelan rambut piring Yurina. Yurina yang diperlakukan manis seperti itu, kedua pipinya bersemu merah.

"Ciee... Pipinya merah tuh," ucap gadis berkacamata. Ia tersenyum jail.

"Kau jangan menganggu mereka, Shino," ujar gadis berambut hitam panjang. Ia terkenal dengan sosok gadis pintar, cantik dan ramah. Ia selalu memakai syal merah di leher.

"Hehehe... Itu sangat menyenangkan loh, Akemi," balas Shino. Ia merangkul 'mesra' tubuh Akemi.

"Dasar," sahut Akemi cuek.

Di luar kelas...

Sepasang kekasih tengah berdiri di depan kelas 2F. Keduanya begitu tenang dalam pembicaraan yang cukup serius.

"Apa kau tak bisa melihatku bertanding nanti, sayang?" tanya pemuda berambut cokelat. Ia memandang wajah sang kekasih penuh harap.

"Maafkan aku Gen. Aku tak bisa!" jawab gadis berambut merah muda kesal.

"Tapi kan... ini pertandingan penting untuk-," ucap Gen terpotong.

"Aku bilang tak bisa ya tak bisa!" kata Yuka memotong ucapan Gen. Ia pun pergi meninggalkan Gen tanpa berpamitan ataupun melihatnya.

"Kau berubah," ucap Gen lirih. Ia segera memasuki kelas. Saat ia akan duduk, ia melihat seorang pemuda berambut putih tajam.

"Ada apa, Gen?" tanya pemuda itu agak heran.

"Kau selalu saja merebut apapun dariku, Lev!" seru Gen emosi.

Lev menatap Gen datar. "Ya... Ya... Ya... Terserah kau sajalah!" balas Lev acuh. Ia kembali fokus dengan buku pelajaran. Gen mengepalkan tangannya erat. Ia pun duduk di kursinya.
.
.
.
.

Pelajaran pertama sedang berlangsung, hingga suara bel berbunyi keras. Menandakan jam istirahat tiba. Semua murid menghela napas lega.

"Baik, pelajaran akan kita lanjutkan besok. Selamat istirahat," ucap Jui-sensei. Ia merupakan wali kelas 2F, sekaligus guru pelajaran matematika dan fisika. Ia berlalu meninggalkan kelas.

"Huh! Selesai juga!" keluh gadis berambut kepang dua. Ia menidurkan kepala di atas meja. Seharian kemarin ia baru menyelesaikan sebuah iklan produk dan ftv.

"Keiko, apa kau mau ke kantin?" tanya pemuda berwajah seram.

"Tidak Rock. Aku nitip saja roti isi cokelat dua dan jus alpukat," jawab Keiko lemas.

"Oke! Aku akan kembali secepat mungkin!" balas Rock semangat.

Ia menghampiri sahabat yang sedang berjalan berdua di depannya. "Hei Kensel, Giana!" sapanya.

Gadis berambut merah menolehkan kepala. Saat ia melihat siapa, ia tersenyum malu.

"Hai, Rock," sapa Giana lembut. Ia sampai membenarkan kacamatanya.

"Oh, Rock. Ada apa?" tanya Kensel sang sahabat baiknya.

Rock melirik ke arah tangan Giana walau hanya sekilas. Di sana terdapat perban putih melilit pergelangan tangan Giana.

"Ada apa dengan tanganmu?" tanya Rock penasaran.

"E-eh, tidak apa-apa kok," jawab Giana gugup. Ada raut gelisah di wajahnya.

Kensel mendengus kecil. Ia terlihat takut menyukai keakbaran kedua orang di depannya.

"Maaf Rock. Aku ada urusan dengan Giana, sampai jumpa," ujar Kensel. Ia menarik tangan Giana yang di perban kasar. Giana sampai meringis kesakitan.

"A-ah iya," jawab Rock canggung.
.
.
.
.

Kensel dan Giana sudah berada di atap sekolah. Suasana di sana terlihat sunyi dan tegang.

"Ahh... Senang sekali rasanya berbicara dengan pria lain," ucap Kensel datar.

Giana menunduk ke bawah. Ia tak berani menatap wajah sang kekasih.

"Hei! Kalau aku sedang bicara tatap mataku!" geram Kensel.

Plank!!

Suara tamparan keras menggema. Giana memegang pipinya yang memerah. Airmata yang ia tahan daritadi sudah tak bisa lagi.

"Hiks..."

Hanya terdengar suara isakan dari Giana. Ia masih tak berani menatap wajah Kensel.

Kensel sendiri semakin geram. Wajahnya sudah memerah sempurna. Seakan gunung berapi akan meletus hebat.

Plakk!!

"Kau hanya bisa nangis! Kau pikir aku akan peduli dengan airmata palsumu itu!" bentak Kensel. Ia baru saja menampar kembali wajah sang kekasih.

"Ma-maafkan a-aku," ucap Giana terisak.

Ia sudah tak kuat menahan rasa sakit di tubuh serta hatinya. Ia tak ingin dirinya tersiksa olehnya pemuda di depannya.

"Cih!"

Kensel membuang ludah tepat di wajah Giana. "Aku itu sangat menyanyangimu. Aku tak ingin kau terluka oleh lelaki lain,"

"Lalu ini balasan yang kau berikan padaku! Hah!" Kensel memegang kedua bahu Giana erat. Giana menahan rasa sakit yang amat terasa.

"He-hentikan... ku-kumohon...," ucap Giana.

Kensel menghela napas kasar. Ia melepas pegangan di pundak Giana.

"Aku takkan begini, bila kau tak menurut padaku. Aku melihatmu kemarin, kau berjalan dengan Hide tanpa memberitahuku," kata Kensel muak. Perasaan emosi dan marah sudah menguasai dirinya. Sampai ia memandang kekasihnya gelap mata.

"A-aku... in-ingin... pu-putus," ucap Giana. Akhirnya ia berani mengungkapkan perasaannya selama ini. Kepada orang yang ia cintai sejak dulu, namun ternyata... dia berbeda.

"Apa?! Kau minta putus kepadaku!" geram Kensel.

Ia mendorong tubuh Giana sampai terjatuh ke bawah. Giana merasakan sakit yang luar biasa. Luka yang kemarin pun belum sembuh.

Bugh!

Kensel tak segan-segan menendang kaki Giana. Ia tak peduli dengan wajah ketakutan, kesakitan ataupun kesedihan pada Giana. Ia memuaskan diri dengan melukai Giana.

"Aku takkan membiarkan hidupmu tenang, sayang. Aku tak menerima penolakan atau kata putus lagi darimu. Kau hanya cinta kepadaku dan tetap kembali padaku seorang," kata Kensel.

Kensel memegang wajah Giana kasar. Seringai lebar keluar dari sudut bibirnya. Ia pun pergi meninggalkan Giana begitu saja.

"Hiks... Aku sudah tak kuat lagi," ucap Giana lirih.

"Lullin... Nana... Aku butuh kalian,"

"Lebih baik... Aku mati saja," pinta Giana. Ia sudah tak sanggup menahan rasa sakit dan beban di tubuhnya terus menerus. Rasa sakit hati begitu besar telah ia rasakan.

Tanpa sepengetahuan Giana. Sepasang mata telah mengawasi sejak tadi, tanpa menolong Giana sedikitpun.

"Aku akan mengabulkan permintaannya," ucap sosok misterius  menyeringai lebar.

Flashback off...
.....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top