1 - Apakah Itu Nyata?
Perlahan mata itu terbuka, menatap langit-langit ruangan yang sepucat wajahnya.
"Zahara, kamu baik-baik saja?" Suara seorang perempuan yang sempat berkenalan dengan Zahara di hari pertama masuk kerja.
Zahara menoleh ke posisi perempuan yang duduk di sampingnya.
"Ini di mana?" Ingatan Zahara tertuju pada peristiwa saat di gedung tempatnya bekerja. Terasa menusuk dan berdesing seiringan dengan bayang-bayang jatuhnya seorang wanita. Darah yang merembes dari kepalanya. Tatapan misterius satu sosok berpenampilan perlente.
Zahara berdesah sambil memegangi satu sisi kepalanya.
"Kamu tidak apa-apa?" Teman yang baru dikenal Zahara itu bertanya khawatir. "Kamu sedang berada di kontrakanku. Pak Fermana yang menelepon dan memintaku membawamu kemari karena kami tidak ada yang mengetahui tempat tinggalmu di mana."
"Pak Fermana?" Zahara bingung. Nama itu memang baru kali ini didengarnya.
"Iya, dia manajer kita, kamu belum kenal?" Dayana, nama gadis yang usianya tidak jauh berbeda dengan Zahara.
Zahara melamun, lalu menggeleng. "Belum. Aku 'kan baru satu hari bekerja."
Dayana mengangguk, "Benar. Oh, iya, kamu belum makan, bukan?"
"Apa ada orang meninggal saat kamu membawaku kemari?" Bukannya menjawab, Zahara malah menanyakan hal yang membuat Dayana mengerutkan kening tak mengerti.
"Kamu pasti kedatangan mimpi buruk saat tak sadarkan diri tadi." Dayana makin tak mengerti.
Zahara memeriksa arloji. "Tidak mungkin aku pingsan selama itu."
"Sebenarnya kamu sempat bangun dan mengigau di mobil saat dibawa kemari. Mungkin kamu kelelahan, jadi tidur lama."
Zahara setuju. Dia memang sempat sadar, tetapi badannya masih lemas dan pikirannya tak terkendali. Hingga akhirnya menemukan diri dengan kesadaran penuh di ranjang asing ini.
"Makan dulu, yuk." Dayana meninggalkan Zahara untuk menyiapkan makanan.
Zahara, gadis yang tidak banyak menghabiskan waktu untuk berbicara. Saat ini pikirannya masih sibuk pada peristiwa mencekam di tempat kerjanya.
"Ayo, makan." Dayana membujuk Zahara yang masih melamun menatap sepiring nasi dan lauk rendang.
"Benar tak ada peristiwa apa pun di tempat kerja tadi?" Zahara masih penasaran.
Dayana tersenyum tenang, masih menganggap Zahara berhalusinasi. "Tidak ada apa-apa. Makanlah dulu, agar staminamu kembali."
Zahara perlahan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Pikirannya masih tak nyaman. Dia akan mencari cara untuk tahu kebenaran yang terlihat di matanya. Walaupun jika nanti yang dia temukan hanyalah bayangan buruknya sendiri.
"Ini sudah malam, sebaiknya kamu menginap saja. Aku juga tinggal sendirian, kok. Atau kamu ingin mengabari keluargamu?"
Zahara setuju, saat dia mengecek penunjuk waktu, memang sudah hampir larut malam. Dia bahkan ketinggalan magrib karena teronggok di pembaringan.
"Aku numpang di sini malam ini."
Dayana mengangguk. Pikirannya menebak bahwa Zahara sama sepertinya saat ini, merantau jauh dari keluarga.
"Semoga nyaman."
"Terima kasih." Zahara bersyukur menemukan orang sebaik Dayana. Mereka baru kenal, tapi Dayana sudah menunjukkan kebaikan hatinya tanpa ragu.
▪️▪️▪️
Hari kedua masuk kerja. Zahara masih terganggu oleh bayangan peristiwa kemarin. Zahara dan Dayana sudah sampai di tempat kerja. Saat memasuki gedung, mereka melewati ruangan lobi, Zahara terdiam dan tubuhnya kaku. Tatapannya lurus ke arah sofa dan meja kaca yang masih terlihat utuh.
"Bagaimana bisa?" Zahara terheran.
"Ada apa?" Dayana mengikuti arah tatapan Zahara. Bergidik sesaat karena berprasangka bahwa teman kerja barunya itu melihat makhluk astral.
Zahara menggeleng. "Yana, duluanlah ke ruangan kerja. Aku ada urusan sedikit."
Dayana mengerutkan kening. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tapi urung. Akhirnya hanya bisa berkata, "Baiklah."
Selepas Dayana hilang di balik ruangan, Zahara berjalan mendekat ke arah meja kaca yang kemarin jelas-jelas hancur tertimpa jasad wanita.
Tubuh Zahara kembali bergetar. Kejadian yang entah halusinasi atau nyata itu terputar terus dalam kepalanya. Kedua matanya teliti menyapu sudut-sudut TKP. Di bawah salah satu sudut kaki sofa, Zahara menemukan sesuatu. Napasnya tercekat dan asumsi tentang kejadian kemarin itu adalah nyata menguat.
Zahara menguatkan diri untuk mendekat dan memastikan. Dia menekuk lutut dan berjongkok sambil mengamati satu pecahan kaca yang menjadi bukti. Tangannya terulur. Tepat saat jemarinya nyaris menyentuh pecahan kaca yang sangat kecil itu, ada tangan lain yang menghentikannya.
Zahara terkesiap dan menoleh spontan. Tatapannya bertemu dengan tatapan laki-laki yang memiliki roman sama seperti sosok di lantai atas kemarin. Zahara nyaris berteriak. Namun, satu tangannya menutup mulutnya sendiri. Sekuat yang dia bisa, Zahara tidak ingin membuat keributan atas sesuatu yang belum pasti.
"Apa yang kau lakukan?" Suara berat dan penuh penekanan itu seperti mengintimidasi Zahara. Tangannya masih memegang tangan Zahara yang gagal menyentuh barang bukti.
Zahara tidak menemukan wajah panik. Justru wajah yang tenang dan kalem itu berhasil membuang prasangka baru.
"Maaf." Hanya itu yang bisa Zahara katakan. Dia juga menarik tangannya.
"Bekerjalah sesuai pekerjaanmu. Petugas kebersihan ada sendiri." Pria itu tampak seperti sedang memberi tahu, bukan melarang.
"Anda siapa?" Zahara penasaran.
"Fermana." Pria yang terlihat rapi dengan kemeja mulus itu berdiri.
Zahara tersadar sedang berhadapan dengan siapa. Wajahnya menunduk merasa bersalah.
"Pergilah ke ruang kerjamu." Masih dengan suara stabil, pria itu memberikan perintah.
"Baik, Pak." Zahara mengangguk. Dalam hatinya ingin sekali mencecar laki-laki yang sekarang dia curigai. Akan tetapi, Zahara masih normal untuk tidak mencari gara-gara. Bukannya mendapat jawaban, bisa-bisa dia dituduh sebagai orang tak waras.
Setelah pria itu pergi, Zahara melirik pecahan kaca yang tadi hampir dia dapatkan. "Apa maksudnya?"
Zahara meninggalkan tempat dan menuju ke ruang kerjanya di mana Dayana sudah duduk manis dan mengoperasikan komputer.
Zahara duduk di tempat kerjanya. Pikirannya sangat buntu.
"Apakah memang harusnya aku dipenjara saja? Sepertinya aku sudah gila." Zahara berbicara pada diri sendiri.
Sebelumnya, dia bekerja sebagai bendahara di sebuah yayasan pendidikan. Dia dipaksa untuk mengundurkan diri karena kekacauan yang terjadi. Lebih parahnya, dia dituduh memanipulasi laporan SPJ dan mengambil uang yang bukan haknya.
Mata Zahara terasa memanas. Dia berusaha untuk tidak menangis saat mengingat betapa kejamnya orang-orang yang telah dia bantu sepenuh hati malah menjadikannya tersangka. Masih syukur dia tidak dikriminalisasi. Belakangan memang dia tahu ada dugaan penyelewengan dana oleh salah satu kepala sekolah di bawah yayasan pendidikan tersebut. Namun, seluruh kecurigaannya justru menjadi serangan balik untuk dirinya sendiri. Kekuasaan memang menakutkan.
Zahara berharap, di tempat kerjanya yang baru ini, serangan-serangan semisal itu tidak terulang. Sayangnya, harapannya sedikit pupus saat menyadari bahwa kini dirinya berada di bawah pengawasan pria bernama Fermana. Pria sama yang dia lihat berada di TKP pembunuhan. Halusinasi atau kejadian nyata, Zahara bertekad untuk membuktikan. Entah bagaimana caranya.
▪️▪️▪️
See you in the next chapter👋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top