17c
"Jangan Bang, jangan diberikan, kasihkan ke Emak saja," bisik istriku.
"Biarlah, Neng, yang penting nanti Bapak mau menerima pernikahan kita, dan sudi menganggap abang sebagai menantunya," ucapku pelan.
"Mana uangnya, jangan-jangan kamu cuma nipu lagi, padahal tidak punya uang," sindirnya tajam. Ustaz Arief dan Kang Darman terdengar beristighfar mendengar ucapan Bapak.
"Baik Pak, sebentar, akan saya ambilkan," jawabku, lalu mengambil tas kecil yang sengaja tadi kusimpan di ruang imam salat. Mengambil uang di dalamnya yang memang sudah kusiapkan buat bawaan Eneng, lalu menyerahkannya pada Bapak mertuaku, dan dengan cepat dia langsung merampasnya.
"Dasar perempuan bodoh kau Risma, mau saja dihargai murah," gerutunya, lalu langsung pergi keluar musholla dengan membawa uang 15 juta yang tadi kuberikan, dan Amran kembali mengikuti di belakangnya. Dan mertuaku Masih terus menggerutu.
Kang Darman lantas mendekatiku, berbicara pelan kepadaku.
"Riswan, aku titip adikku Risma. Jaga dan sayangi dia dengan sepenuh hatimu, tunaikan tanggung jawabmu sebagaimana tadi dikatakan penghulu sebelum prosesi Ijab Qobul. Pernikahan itu suci, Wan, ibadah terpanjang, maka jalani dengan kesabaran dan keikhlasan," pesan Kang Darman, yang menurut cerita Eneng, pernah ikut mondok pesantren di Sukabumi.
"Iya, Kang, Insya Allah, Riswan akan selalu ingat pesan Akang," jawabku. Kang Darman lalu memelukku, dibisikkan pelan di telingaku.
"Jika kamu menyakiti hati, apalagi tubuhnya, akan kucari keberadaanmu di manapun kamu berada. Adikku sudah berani menentang Bapak karenamu. Cintai dia dengan sepenuh hati dan jiwamu."
Aku mengangguk, sembari menatap dalam Kakak tertua dari istriku ini. Sebuah janji di hati yang tidak terucap di bibir. Jika aku akan menjaga hati dan perasaannya.
"Titip anak emak ya, Wan. Emak percaya, Riswan bisa menjadi suami yang baik untuk Risma," ucap beliau pelan.
Kang Darman lalu ijin pamit untuk kembali ke Jakarta, begitupun Emak, hendak kembali pulang ke rumah. Sedangkan aku dan Eneng mampir terlebih dahulu ke rumah Ustaz Arief, untuk menerima beberapa ucapan selamat dari para tetangga sekitaran kobong.
Selepas Salat Juhur di musholla kobong, aku dan Eneng mulai kembali ke rumah kami. Rumah kecil nan sederhana yang kubeli dengan Ustaz Arief. Berlantaikan semen hitam, separuh tembok dan bilik bambu.
Berdiri terdiam saling menggenggam menatap rumah kecil itu bersamaan. Hembus angin khas pegunungan yang sejuk membelai kulit dengan manja, terasa kelembutan mengusap lembut seluruh kulit wajah.
"Maafkan akang ya, Neng, hanya mampu menyediakan rumah kecil ini untuk tempat tinggal kita, tidak seperti rumah Bapak," ucapku pelan, tatapanku masih ke arah rumah.
"Rumah yang abang siapkan itu cukup jika untuk tidur dan beristirahat, Bang. Rumah yang sebenarnya itu ada di hati kita. Semewah apa pun rumah kita, jika hati kita selalu risau dan gundah, apalagi jika jauh dari Allah, rumah sebesar apa pun bisa seperti penjara." Menoleh kearahku, lalu bersandar di bahu, tubuhnya memeluk satu tanganku.
"Bagaimana, Neng, duit abang sudah habis semua," keluhku, ingin menguji istriku dengan kesusahan. Eneng menatapku lembut, senyumnya mengembang.
"Jangan khianati cinta eneng, Bang. Itu saja yang eneng minta," ucapnya.
'Suatu saat, rumah gubuk ini hanya tinggal kenangan, Neng' janjiku dalam hati.
Sembari saling menggenggam, kami pun mulai memasuki rumah kecil nan sederhana milik kami berdua.
"Rumah akan terasa luas dan nyaman, Bang, jika hati kita lapang dalam menerima ketentuan Tuhan," bisik istriku lagi, sembari tersenyum, manis sekali.
÷÷÷
Kembali Ke Masa Kini
"Bos ... Bos, bangun, Bos, kita sudah sampai di dalam jalan kompleks tempat bos tinggal."
Panggilan sopir yang mengantarku sedikit membuatku tergagap, saat mobil yang mengantarku dari pabrik, yang semua sudah disiapkan Julius sudah sampai di tempat tinggalku yang dulu.
"Rumah yang itu, ya," ucapku, sembari menunjuk ke salah satu rumah yang sudah terlihat dari dalam mobil.
"Subhanallah, megah banget, Bos, di tempat saya ini bisa buat satu RT," pujinya. Mobil mulai memasuki gerbang besar halaman depan rumah.
"Masuk saja, bilang dengan penjaga. mister R, sudah kembali pulang."
***
Novel ini sudah tersedia sampai tamat di Karya Karsa. Cari akun Gleoriud dan klik ceritanya.
Link
https://karyakarsa.com/Gleoriud/ternyata-kaya-tujuh-turunan-k
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top