Terlambat
Cerita pendek ini dibuat dalam rangka project ke-2 TDFgeneration. Ditulis oleh penulis abal bernama Rel_Rifda.
Songfiction . Perfect . Ed Sheeran
Terlambat . Yudhistira Adiwijaya x Reader . 1423 kata . Romance
Selamat membaca ^^
I found a love for me.
Darling, just dive right in and follow my lead.
Bunyi langkah kaki menggema di lorong SMA Bakti Negeri. Suara itu berasal dari kaki seorang pemuda yang bersentuhan dengan lantai. Pemuda itu adalah Yudhistira yang berlari kencang menuju kelas XI - A.
Bagaimana bisa seorang rajin seperti Yudhistira Adiwijaya terlambat datang ke sekolah? Langka sekali.
Pikiran-pikiran semacam itu berseliweran di dalam otak Yudhistira. Ia malu. Ia malu terlambat datang ke sekolah. Hancur sudah cap anak rajin selalu datang pagi yang melekat pada dirinya.
Pandangan mata Yudhistira menangkap sosok yang tak asing. Seorang gadis. Ia sedang berjalan menuju kelas XI A dengan santai, kelewat santai malah. Mukanya tak nampak, tapi Yudhistira tidak asing dengannya. (Full Name).
Yudhistira berdecak. "Sudah tahu terlambat, masih sempat jalan santai," bisiknya menyindir.
Pemuda itu mempercepat langkahnya menuju (Name). Tanpa aba-aba, ia mencengkram tangan gadis itu, mengajaknya (baca: menyeretnya) ikut berlari.
"Oi! Jangan asal tarik-tarik dong--" ucapan penuh amarah (Name) tersendat kala menyadari pelaku penyeretan dirinya.
"... Yudhistira?" ucap gadis itu. Matanya melebar tak percaya. Mulutnya menganga. "Kamu terlambat? Waah~!"
Yudhistira mendengus. "Anda sendiri juga," sahutnya tanpa menatap sang lawan bicara.
(Name) tersenyum miring. "Kalau aku sih, sudah biasa. Kalau kamu, itu baru luar biasa. Toh aku sudah ..."
"Diamlah," kata Yudhistira gusar, melupakan sopan santun yang ada. Maklum, ia sedang dilanda stress akibat terlambat.
(Name) mengangkat bahu acuh tak acuh. Ia membiarkan tangannya ditarik oleh Yudhistira. Dengan begini, ia bisa hemat energi dan waktu.
Yudhistira, dengan (Name) yang diseretnya sampai di depan kelas dengan selamat sentosa. Nafas pemuda itu tersengal-sengal. Ia melepaskan, ralat, menghempaskan tangan (Name).
Setelah mengatur pernafasannya, Yudhistira memberanikan diri masuk ke dalam kelas. Kebetulan sekali, yang tengah mengajar saat itu adalah Pak Oryza, guru killer seantero sekolah.
"Yudhistira ...," bisik (Name) tertahan. Ia ingin menahan Yudhistira, tapi pemuda itu sudah terlanjur masuk ke dalam kelas.
"Wah, kamu datang pagi sekali, Yudhistira," sambut pria dengan nama lengkap Oryza Sativa itu sinis. Lalu dilanjutkan oleh omelan darinya.
Yudhistira hanya menunduk, tak berani melawan atau membantah. Melihat Pak Oryza pun tidak. Meski begitu, Yudhistira dapat merasakan pandangan dari teman-teman sekelasnya. Ada yang cekikikan, tajam, atau bahkan tidak peduli.
Sepuluh menit berlalu dengan penyiksaan batin Yudhistira. Intinya, tidak boleh terlambat lagi dan Yudhistira harus membersihkan toilet sepulang sekolah sebagai hukuman. Pak Oryza menutupnya dengan perintah untuk segera duduk.
'Untung saja Pak Oryza ingat waktu. Kalau tidak, bisa-bisa sampai pulang sekolah diceramahi,' ucap Yudhistira bersyukur dalam hati. Ia duduk di bangkunya yang terletak di barisan depan. 'Oh ya, (Name) bagaimana ya? Kenapa tidak segera masuk kelas?'
Tepat saat itu juga, (Name) melangkah masuk ke dalam kelas. Ia berjalan santai, senyum terpatri di wajah manisnya. Tidak ada tas ransel di punggung gadis itu. (Name) mendekati Pak Oryza, lalu menyalami tangan pria itu.
"Maaf, kelamaan ke toilet, Pak," kata (Name) enteng.
Pak Oryza menghela nafas pendek. "Ya sudah, cepat duduk."
Dalam hati, (Name) bersorak riang. Di tengah perjalanan menuju tempat duduknya yang di pojokan, pandangan mata (Name) menangkap sosok Yudhistira menatap dirinya dengan tatapan tidak suka.
Yudhistira mendengus kesal. "Ini tidak adil," gerutunya berbisik.
...
Well, I found a girl, beautiful and sweet.
Oh, I never knew you were the someone waiting for me.
Langit yang tadinya berwarna biru dihiasi kapas, kini berubah menjadi jingga keunguan. Saat itu juga, Yudhistira keluar dari toilet pria SMA Bakti Negeri. Baru saja ia menyelesaikan hukumannya: membersihkan toilet.
"Akhirnya," desah Yudhistira senang. Ia meregangkan otot-ototnya. Lalu berkacak pinggang dan menatap langit jingga. "Melelahkan juga ya."
"Yudhistira."
Spontan sang pemilik nama menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang gadis berdiri dengan kresek putih di tangannya. Gadis yang terlambat bersamanya tadi pagi. (Full Name).
Yudhistira mengernyit menyadari kehadiran gadis itu. "Kenapa Anda ada di sini? Sekarang sudah jam pulang, lho," tanyanya heran.
(Name) hanya tersenyum tipis. Lalu sebuah jawaban yang tidak pernah Yudhistira duga ia lontarkan.
"Menunggumu."
'Cause we were just kids when we fell in love.
Not knowing what it was.
I will not give you up this time.
"Oh," hanya satu suku kata itu yang sukses meluncur dari bibir Yudhistira. Nada bicaranya datar, seperti biasanya. Sama seperti raut wajahnya.
Yudhistira tidak mengerti. Kenapa pipinya memanas saat mendengar jawaban dari (Name). Ayolah, itu hanya satu kalimat yang terdiri satu satu kata. Tapi bagaimana bisa...?
Pandangan Yudhistira teralih pada kresek putih yang dibawa gadis itu. 'Kejutan apa lagi yang akan (Name) tunjukkan, hm?' batinnya.
"Ah iya, mau makan bareng, tidak? Aku bawa roti bakar coklat," ajak (Name) antusias. Ia berkata begitu seolah bisa membaca pikiran Yudhistira saja.
Yudhistira berkedip, hampir tak percaya. "Itu kan ... makanan kesukaan saya."
"Sudah kuduga. Kamu makan roti bakar setiap hari saat istirahat." (Name) manggut-manggut. Ia tersenyum bangga. Bangga atas kemampuan pengamat (baca: stalker) dirinya sendiri.
"Ayo makan bareng di halaman belakang!" Tanpa menunggu persetujuan dari lawan bicara, (Name) menggenggam tangan Yudhistira. Ia menyeret pemuda itu ke tempat tujuan. Sama seperti yang dilakukan Yudhistira tadi pagi.
...
But darling, just kiss me slow.
Your heart is all I own.
And in your eyes you're holding mine.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di halaman belakang sekolah. Di sana sepi, hanya ada bunyi jangkrik dan hembusan angin. Beberapa bunga tumbuh tidak terawat. Rumput hijau kekuningan menghampar.
(Name) berbalik, menghadap pemuda yang diseretnya. Ia menatap Yudhistira lurus-lurus. Gadis itu menghela nafas pendek, lalu berjalan mendekati Yudhistira.
"Yudhistira, aku--EH."
Sialnya, ada sebuah batu besar yang menghalangi. Sehingga (Name) tersandung-dan berakhir dengan tubuhnya menimpa pemuda di depannya.
Yudhistira tidak selemah stik tipis. Ia masih berdiri tegak, meski agak terhuyung-huyung karena (Name) tiba-tiba menimpanya.
Tapi bukan itu yang membuat 2 pasang mata itu melebar. Bukan itu juga yang membuat jantung Yudhistira berdebar tak karuan.
Bibir (Name) menyentuh pipi Yudhistira.
Buru-buru (Name) menjauhkan dirinya dari Yudhistira. Ia menelan ludah gugup. Sebisa mungkin menghindari kontak mata dengan pemuda yang pipi sucinya ternodai itu.
"Maaf! Aku tidak sengaja! Sumpah!" kata (Name) cepat-cepat. Ia gemetaran. Bagaimana tidak? (Name) baru saja mencium seorang pemuda-tanpa sengaja. Reaksi pemuda itu sudah pasti marah besar, bukan?
Raut wajah Yudhistira masih datar. Ia masih bisa menatap mata sang lawan bicara. "Aku mengerti," katanya, seolah tak terjadi apapun.
Topeng Yudhistira yang tebal sukses menutupi detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya. Meski begitu, topengnya tidak dapat menyembunyikan rona merah di pipi Yudhistira.
Baby, I'm dancing in the dark.
With you between my arms.
Barefoot on the grass.
Listening to our favourite song.
"A-ayo duduk!" ajak (Name) tiba-tiba. Gadis itu berusaha mencairkan suasana dengan mencari topik lain. Jika bahasannya tentang 'kecelakaan' itu, pasti akan canggung.
(Name) lah yang pertama duduk di atas hamparan rumput. Lalu disusul oleh Yudhistira. Pemuda itu tidak bicara sepatah kata pun.
Gadis itu membuka kreseknya, lalu mengambil satu potong roti bakar. Ia menyodorkan roti itu pada Yudhistira. "Nih."
"Terima kasih." Yudhistira menerima roti bakar itu, lalu melahapnya. "Kenapa Anda menunggu saya?" tanyanya, membuka pembicaraan.
(Name) yang baru saja akan menyiapkan roti bakarnya ke mulut, terhenti karena pertanyaan Yudhistira. "Maaf," kata gadis itu sambil menunduk.
Dahi Yudhistira mengernyit. Itu bukan jawaban dari pertanyaannya. Tapi ia tetap bungkam, menanti lanjutan kalimat dari (Name).
"Seharusnya aku memberitahumu trikku," sambung (Name) lesu, "Agar kamu tidak dihukum Pak Oryza." Setelah berkata begitu, (Name) melahap roti bakarnya.
"Trik?" tanya Yudhistira lagi. Ia berusaha memancing gadis itu untuk bicara lebih banyak.
"Ya, trik." (Name) mengangguk membenarkan. "Taruh tas di luar kelas. Lalu masuk ke dalam kelas dengan alasan ke toilet. Dengan begitu, kita tidak dianggap terlambat."
"Anda belum menjawab pertanyaan saya tadi," ucap Yudhistira tiba-tiba, "Kenapa Anda menunggu saya?"
(Name) terkekeh pelan. "Bukannya sudah jelas? Aku merasa bersalah padamu, Yudhistira."
"Anda kan jadi pulang terlambat," tambah Yudhistira. Lalu ia menyuapkan roti bakarnya.
"Memang sih," balas (Name) masih terkekeh, "Tapi aku sudah SMS orang tuaku, kok. Yudhistira, sendiri?"
"Aku juga sudah mengabari," jawab pemuda itu, "Lagipula aku naik bus kota."
"(Name)." Tanpa aba-aba, Yudhistira menggenggam tangan (Name). Mata kebiruan miliknya menatap mata gadis itu dalam-dalam. "Anda tidak perlu repot-repot sampai begini."
Lalu ia tersenyum simpul. "Tapi terima kasih."
Sontak saja pipi (Name) memanas. Rona merah menjalar di kedua belah pipi gadis itu. Ia berusaha membalas senyum Yudhistira, tapi justru menjadi senyuman aneh.
When you said you looked a mess.
I whispered underneath my breath.
But you heard it,
Darling, you look perfect tonight.
Tiba-tiba angin sore menerpa dua manusia itu. Angin itu mengacak-acak helaian rambut (Name) dengan nakal. Sementara Yudhistira hanya memejamkan mata, menikmati hembusan angin.
"Ah, rambutku jadi berantakan," keluh (Name). Ia berusaha merapikan rambutnya dengan dua tangan.
Yudhistira melepas genggaman tangannya dan (Name). Tapi tidak dengan pandangan dan senyumannya.
"Perfect."
T A M A T .
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top