Terlambat - 4
Pujaan hati di depan mata. Namun ia tak sendiri. Haruskah aku diam saja?
____________
Ada yang merekah dalam dada Nia. Begitu berdesakan, hingga tak sanggup menahannya. Senyum Nia mengembang di sepanjang jalan menuju rumah. Tak ia hiraukan tepukan Alif di sekujur tubuhnya. Alif sendiri khawatir melihat keadaan saudaranya yang mendadak kerasukan jin lawak. Dari teras menuju dapur, pandangan Alif tak lepas dari bibir Nia.
Aneh.
Alif bertanya apa, jawabnya apa. Alif menepuk, mencubit, menggigit bahkan menempeli upil ke pipi Nia pun, tak digubris gadis itu. Dengan tergesa, Alif sadar akan sesuatu. Ia keluarkan ponsel pintar dari dalam saku celana yang ia pakai. Membuka layar dengan cepat. Mengetuk aplikasi Al-Qur'an, kemudian ia membacakan keras-keras seperti seorang ustad acara ruqyah pagi. Berharap, jin lawak yang menempeli Nia segera pergi.
Nia masuk ke kamar. Namun, Alif tak berhenti membaca ayat suci. Dirasa Nia tenang, terbukti tidak ada suara gedebum atau gedubrak yang mungkin terjadi, Alif berhenti.
"Semoga jin itu tidak mengajak salto Umbel. Aku khawatir kalau tahu tek dalam perutnya akan berceceran di lantai," lirih Alif penuh harap.
****
Damar meneguk minuman dingin yang disodorkan Ima padanya. Cuaca sedang teriknya. Kerjaan juga tak seramai biasanya. Mungkin karena hari sabtu. Beberapa sekolah memberlakukan pulang lebih awal di hari seperti ini. Namun, tetap saja kerjaan banyak. Karena, ada pesanan foto copy satu buku utuh sebanyak lima puluh eksemplar. Satu eksemplar terdiri dari dua ratus halaman.
"Udah hubungin Alif, Mas?" tanya Ima. Damar menggeleng. "Belum. Semalem dia bilang mau ke Nganjuk sama adiknya. Besok saja aku hubungi."
Ima mengangguk. "Buruan, Mas. Nanti keburu dibeli sama yang lain. Barangnya masih bagus tuh. Sayang kalau jatuh ke tangan orang lain. Kita juga butuh," peringat Ima. Ia memang sudah datang ke kantor milik Alif untuk melihat-lihat komputer. Alif bilang, komputer itu milik sekolahan tempat ia mengajar. Karena sekolah hendak mengganti dengan layar datar, komputer yang lama dijual.
"Mas, sepuluh lembar." Suara seorang perempuan berambut panjang menghentikan obrolan Damar dan Ima. Tiga karyawan lain kebetulan sedang sibuk mengerjakan pesanan buku. Jadilah Damar yang berdiri melayani. Dilihatnya Ima sedang menikmati cilok, sambil menata sampul di atas buku yang sudah selesai digandakan. Tak tega menyuruh kekasihnya.
"Sepuluh ya, Mbak. Silakan duduk dulu." Damar berjalan mendekat pada mesin yang sedang berjalan. Menyela sebentar pekerjaan karyawannya, ia mulai menekan tombol angka sesuai jumlah yang diperlukan.
Ada sepasang mata yang mengawasi Damar selama ia menunggu lembar demi lembar kertas keluar dari mesin. Tatapan yang sedikit aneh dan mengganggu sekali, untuk Damar. Gadis itu, malah mengangguk dengan senyum di bibirnya saat Damar menatap balik menyapa tatapan matanya. Daripada ia dianggap tidak sopan, lebih baik dibalas sebagai bentuk keramahan pada pengunjung.
"Dua ribu, Mbak." Nia mengeluarkan uang dua ribu dari saku celananya.
"Mas Damar?"
Damar mengerutkan kening. Ia bingung dengan nada suara dari gadis di hadapannya. Seperti bertanya pada seseorang yang lama tidak berjumpa, untuk memastikan keadaan dengan keraguan.
"Iya. Ada yang bisa saya bantu lagi, Mbak?" tanya Damar ramah. Ia tidak mau dianggap baper dengan tatapan gadis di hadapannya yang malah berkaca-kaca. Damar meraba wajahnya. Apakah di sana ada sinetron tentang istri yang dianiaya atau anak yang dibuang orangtuanya? Sampai-sampai pengunjungnya menangis haru.
"Mas Damar, apa kabar? Lama nggak ketemu." Kerutan pada kening Damar semakin dalam.
Apa kabar?
Memangnya ia habis hilang setahun jadi TKI? Bukannya dari dulu ia tinggal di wilayah ini? Dari Sekolah Dasar, SMP, SMA, bahkan sampai kuliah dan bekerja saat ini, lingkungannya hanya berputar di kecamatan ini.
"Ehm ... maaf, Mbak. Kita dulu satu sekolah, ya? Saya agak lupa soalnya." Damar menafsirkan jika perempuan di hadapannya ini adalah teman sekolah yang ia lupakan. Tapi, melihat dari wajahnya, gadis di depannya ini lebih muda darinya. Apa adik kelasnya? Atau kenalan saat di jalan? Entah juga. Damar bingung memikirkannya.
"Wa, temenku yang baru nikah kemarin tu, mau rekomendasiin salon buat nikah kita nanti. Boleh, kan?" Damar mengangguk. Menoleh pada Ima. Melupakan sejenak pikirannya tentang gadis aneh. "Boleh. Nanti aku anter kalau perlu.
Begitu Damar menoleh lagi, gadis yang membuat Damar bingung, sudah menghilang. Bahkan meninggalkan lembaran kertas yang terbungkus plastik putih di meja. Mengendikkan bahu, Damar kembali menyusul Ima. Membantu karyawan lain membereskan pesanan. Besok libur, diusahakan pekerjaan sudah tuntas hari ini. Karena buku-buku tersebut akan diambil hari senin.
****
Mau rekomendasiin salon buat nikah kita nanti.
Salon.
Nikah kita.
Nikah.
Kita.
Bukan dengan ... dirinya?
Langkah kaki Nia melaju kencang. Sesekali ia menabrak beberapa orang yang berpapasan dengannya. Tak peduli umpatan yang ia terima. Nia sungguh tak peduli. Telinganya menulikan pendengaran akan semua itu. Yang tersisa hanya denging kata-kata yang menikam hingga ulu hatinya. Kenyataan yang belum ia pastikan, namun sudah menimbulkan reaksi akan rasa pedih tak terkira.
Mas Damar akan menikah?
Dengan perempuan itu?
Perempuan yang samar-samar ia lihat tadi.
Lalu, bagaimana dengan janji sepuluh tahun lalu padanya?
Sepuluh tahun Nia menunggu. Dengan harapan yang tertumpuk semakin lama hingga menggunung. Harapan besar suatu saat akan terwujud.
"Nia!"
Tubuh Nia terjatuh. Bukan karena ia pingsan. Karena Alif menarik tangan Nia dari belakang. Menyadarkan gadis itu akan bahayanya berlari di pinggir jalan. Berkali Alif berteriak saat mengendarai motor. Merasa tak digubris, ia turin dan berlari mengejar Nia. Menarik kasar hingga tubuh saudara sepupunya itu lunglai di tepi jalan.
Nia terisak dalam tundukan kepalanya. Alif yang bingung akan apa yang terjadi, seketika memeluk tubuh Nia dan menggandenganya ke tempat duduk semen di dekat sana.
"Kenapa, Mbel?"
Dalam lirih Nia menjawab, "Hatiku patah, Bo. Patah! Bahkan hanya dengan mendengarnya sekilas."
_________
Damar, atau Alif?
Mana yang kalian pilih?
Jangan lupa dibeli bukunya. Hehehe. Ready Januari 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top