ti i ti g a ga. tiga.

"Kayaknya, scene yang ini dipindah aja deh, Mar. Buat yang video khusus korban. Tapi musiknya jangan terlalu drama. Biar orang nggak nangis karena fokus sama lagunya. Pesannya jadi nggak sampe nanti."

Omar mengangguk. "Yang ini siap tayang berarti, Mbak?"

"Yap." Aku menepuk pundaknya. "Yang saya revisi soal font di video Angkasa jangan lupa benerin ya."

"Angkasa?"

"Politisi Demokrat."

"Oh okay. Makasih, Mbak Jyo."

Aku memberinya senyum, juga tak lupa mengangguk sopan pada Abi di sebelahnya. Mereka berdua adalah video editor kebanggaan kami semua. Semoga betah bekerja di sini, agar kami bisa terus memberi informasi sebagai penyeimbang media nasional.

Sampai di tim media sosial, aku duduk di salah satu kursi kosong. "Gimana kabar kalian hari ini?"

"Baik, Mbak Jyo," Astri menjawab dengan semangat. "Yunda tuh lagi patah hati. Tiwi lagi angkat telepon."

"Kenapa patah hati?"

Yang disebut namanya langsung memasang wajah melas. "Pacarku tuh cuek banget. Susah deh pokoknya. Mau sabar juga tetap aja capek. Muak. Gimana sih, Mbak, biar bisa kayak Mas Ranggi?"

Aku tertawa kecil. "Karakternya aja udah beda. Cuek belum tentu nggak sayang lho, Nda. Bahasa cinta orang kan beda-beda. Obrolin aja."

"Iya sih. Eh, Mbak, narsum yang politikus muda kemarin udah deal lho."

"Serius?"

"Iya. Dia mau dateng. Lagi nyocokin jadwal dia. Nanti dihubungi sama asistennya. Mbak Ayu kan demen banget sama dia."

Aku memutar bola mata. Kalau seksi, pasti Ayu demen. "Good job, Yunda dan Astri. Nanti tolong bilangin Tiwi naskah beritanya setor ke aku maksimal jam 3 sore. Makasih ya." Lalu, aku berdiri, kembali ke ruanganku.

Duduk di kursi, menyalakan laptop, kemudian menghubungi Mas Pajri untuk membelikan kopi. Sembari menunggu kopi datang, aku mulai me-review caption buatan anak-anak sebelum di-posting ke media sosial untuk mengiringi artikel kami di @katafakta.

Omong-omong, adakah yang sama denganku? Aku selalu merasa mendapat banyak energi saat bekerja. Mungkin karena aku sangat menyukai hal yang kulakukan ini. Karena sejak dulu, aku bercita-cita untuk memiliki media berita sendiri, sekecil apa pun.

Aku juga tidak menampik kenyataan, bahwa yang kucapai ini merupakan salah satu hadiah dari menjadi anak orangtuaku. Mereka punya hak istimewa untuk membuatku lebih mudah mewujudkan cita-cita.

Namun, bukan berarti aku tidak berjuang. Orangtua hanya membuka pintu, sisanya aku berjuang sekuat mungkin bersama Ayu. Dulu, kami berdua yang juga turun ke lapangan untuk mencari informasi, sebelum bisa memperkejakan orang lain.

Sekarang, aku bersyukur sekali, semuanya sudah stabil. Aku bisa bekerja di balik layar, sementara Ayu menjadi garda terdepan untuk tujuan personal branding. Dia bahkan yang melakukan wawancara di Channel YouTube kami dengan narasumber yang berasal dari beragam background.

Selain sahabat, Ayu adalah salah satu tiang penopang kehidupanku.

Setelah menikah, aku sering menerima beberapa komentar. Intinya mereka mempertanyakan kenapa aku perlu repot-repot bekerja saat Ranggi bisa memberiku lebih dari cukup? Atau mungkin orang-orang berpikir aku serakah dan tidak pernah mau bersyukur.

Jawabanku akan tetap sama: aku merasa lebih hidup dan berguna.

Lagipula, Ranggi tidak pernah mempermasalahkan pekerjaanku. Sedikit pun. Sekali pun. Dia bilang, dia sangat senang ketika melihat ekspresi antusiasku saat menceritakan isi naskah. Menceritakan bagaimana kisah reporter-ku dalam mewancarai narasumber.

Aku menggelengkan kepala, tersadar karena mendengar bunyi ketukan pintu. Setelah mempersilakan masuk, aku mendapati Ayu dengan senyuman lebar.

"Boleh masuk?" tanyanya.

"Boleh dong."

Dia berjalan mendekat sambil membawa beberapa lembaran kertas---yang kutebak merupakan rundown atau semacam arahan untuk rekamannya hari ini. "Mati gue, Nek," serunya lesu, duduk di kursi depanku.

"Lo kenapa?" Padahal dandan sudah sangat cantik dan maksimal. "Mules tiba-tiba?"

"Bukan. Yunda baru ngasih tau, Eldio Pratama ini ... nggak bagus buat diajak ngobrol."

"Kok bisa? Yang suka traveling itu, kan? Yang kata Yunda viral karena selain ganteng, juga berhasil nunjukin tempat-tempat nggak biasa dari Indonesia? Itu keren lho. Gue liat cuplikannya."

"Itu beda cerita," telunjuknya terangkat. "Yunda kan ratunya stalking. Sialannya, kenapa penemuan fakta itu baru sekarang di hari H gue bakalan ngobrol sama si Eldio ini."

"Fakta apa sih."

"Twitter adalah sumber penemuan rahasia, lo tahu kan. Di sana, ada tweet Eldio yang bilang, dia ... nggak suka sama orang bodoh. Nggak suka sama pertanyaan yang itu-itu aja."

Aku refleks tertawa, membuat mata Ayu melotot. "Sorry. Maksud gue, siapa sih yang suka sama orang tolol, Yu?"

"Enggak ada orang tolol, Jyo."

Aku mengendikkan bahu sambil menatapnya lelah. "Gue jadi dia, yang mungkin udah sering dapet pertanyaan serupa juga males lah. Motivasi traveling apa, El? Kendalanya apa, El? Tempat yang paling berkesan apa, El? Bayangin itu ditanyain sepuluh kali. Apa nggak muak." Aku menangkupkan tangan di atas meja, mencondongkan wajah ke depan. "Pertanyaan kita beda dari yang lain. Percaya gue, dia bakalan suka."

Wajahnya masih terlihat tak percaya. "Lo yakin?"

"Gue tanya sama lo, pernah enggak ada narsum yang nggak jawab pertanyaan dari kita? Yang ngeluh sama pertanyaan-pertanyaan kita. Reporter hasil didikan Jyo dan Ayu tuh lihat, hebat semua." Aku mebuat gestur menembak kepalaku sendiri.

Ayu tertawa.

Namun, terpaksa kami berhenti ngobrol karena pintu kembali diketuk. Dugaanku adalah Mas Pajri membawa kopi, ternyata malah Ranggi yang datang. Sebelah tangan membawa kopiku, tangan kirinya memegang setangkai bunga mawar.

Dia berjalan dengan senyuman lebar, aku berdiri untuk menyambut kopi, meletakkan di atas meja. Baru kemudian menerima mawar, mencium wanginya, juga tak lupa mencium bibir si pemberi.

"Ew!" teriak Ayu, terdengar sangat tak terima. "Beneran deh. Jomblo harus dipikirin nasibnya. Atau, kalau nggak mau nyakitin banget, gantian lah, Mas, aku yang di-kiss." Ia menunjuk pipinya.

"Mau bogem?" tawarku dengan bengis.

"Mau aku kenalin sama temenku, Yu?" Ranggi bertanya setelah berhasil berdiri di sebelahku.

"Kalau plek duplikatmu, aku mau, Mas."

"Ya nggak mungkin. Dia lebih ganteng, anggota DPRD."

Ayu memutar bola mata. "Kamu pura-pura nggak tahu, atau cuma merendah untuk meroket sih, Mas Ranggi? Kamu tau apa tidak kalau kamu amat sangat tampan? Bisa-bisanya muji cowok lain lebih tampan."

"Lho memang kamu udah lihat dia?"

"Dani kan?"

"Kok kamu tahu?"

Ayu langsung berdeham, melirikku seolah minta bantuan. Begitu pun dengan Ranggi, menatapku meminta penjelasan. Aku hanya mengangkat kedua tangan, tak berniat ikut campur. Tak mungkin aku mengatakan kalau Ayu stalking Instagram Ranggi sampai ke akar-akarnya dan berniat menguji kesetiaannya.

Orang seperti Ranggi tidak akan paham gunanya mencaritahu informasi target bahkan sebelum target itu lahir. Dan foto-foto Ranggi bersama Dani itu, aku tahu sekali, ada di paling bawah, atau di postingan orang yang ditandai ke dia.

"Dah ah. Mau siap-siap syuting. Bye." Ayu berdiri, berjalan menuju pintu. Tiba-tiba berhenti, menoleh dan memperingati kami. "Jangan mesum di kantor, okay?"

Ranggi mengangkat kedua tangan, sementara aku memutar bola mata. Karena aku sudah menduga, lelaki di sampingku ini tidak akan menuruti ancaman semacam itu. Dia akan berhenti hanya jika aku yang menolaknya. Namun, untuk apa aku menolaknya?

Jadi, ketika dia membungkuk dan menundukkan kepala, aku menyambut ciumannya. Oh ini tidak mesum, ini hanya sebuah ciuman.

"Sensasi setiap ciuman keganggu kacamata itu ... memang beda." Aku melepas kaca mata dari wajahnya, lalu kembali memberi ciuman yang layak.

Dia menarik diri, tertawa kecil, sebelum benar-benar fokus dan memberiku yang terbaik.

"Sayang," lirihnya.

"Hm?"

"Aku private Instagram." Ranggi berjalan ke kursi tempat Ayu duduk tadi. "Tadi."

"Kenapa?"

"Biar ngerasa aman."

"Berarti nggak bisa di bisnisin dong akunnya?"

"Nggak pa-pa. Nanti dikuatin aja promo di akun Still Latte. Aku nggak perlu personal branding buat orang baru. Yang sekarang udah cukup."

"Ada masalah?"

Dia diam, menatapku dalam-dalam. "Aku nggak tahu aku terlalu sensitif, aku kelihatan kasih harapan atau memang Bunga berlebihan."

Bunga? Aku mengerutkan alis, menatapnya bingung.

"Dia follow akun pribadiku. Dia kirim DM yang nggak sopan menurut standarku.  Minta nomor WhatsApp, padahal aku sendiri kasih tanggungjawab Mbak Neni dan Mas Agung buat urus kost bukan tanpa tuhuan." Ia memijat kening, terlihat sangat pusing. "Aku putusin buat archive semua tentang Still Latte, dan sisain foto kita. Jadi, yang berhubungan sama kerjaan, biarin di akunnya masing-masing. Still Latte, Pojok Buku, Ada Bunga, dan Kost Sekarang."

Aku mengangguk, masih berusaha memahami ucapannya. Maksudku, kenapa tiba-tiba? Kenapa harus ketika orangnya adalah Bunga? Dia sering bercerita, menerima pesan dari perempuan random (termasuk Ayu yang sedang uji nyali). Namun, Bunga yang berhasil membuatnya mengambil keputusan ini?

"Mas ..."

"Ya?"

"Boleh tahu Bunga kirim DM apa?"

Jakunnya bergerak, dia terlihat sedang menelan ludah. Kenapa Ranggi harus segugup ini? Dia sampai perlu mengusap hidungnya, membuang pandangan sebentar ke kanan, sebelum kembali menatapku.

"Okay, nggak apa, kalau menurutmu itu yang terbaik. Kamu tahu, aku selalu per---"

"Payudara."

Aku terdiam.

"Sorry," katanya.

"Kenapa kamu yang bilang sorry?"

"Karena aku sempet lihat."

Aku mengembungkan pipi, merasa geli dengan ucapannya. Bisa-bisanya dia menarikku dari posisi terkejut bahkan mau menuju ke marah atas tindakan Bunga, menjadi merasa ingin tertawa. "Mas, kan kita mah pernah nonton bokep bareng."

Mukanya seketika memerah, "Itu beda."

"Oh okay." Aku berdiri, berjalan mendekat untuk memeluknya dari samping dengan posisi berjongkok. "Aku turut sedih atas tindakan Bunga yang sama sekali nggak sopan. Itu bisa disebut pelecehan nggak sih, Mas?"

Dia tidak menjawab, malah mencium keningku. "Kenapa aku jadi langganan buat dikirimi foto nggak bener ya?" Maksudnya? "Kamu inget enggak aku pernah dikirimi sama cowok foto penisnya?" Ekspresinya berubah ngeri. "Sekarang Bunga."

"Kita minta Bunga pindah aja yuk?"

"Nggak pa-pa?"

Oh Ranggi ....

"Ya nggak pa-pa." Aku mengelus pipinya lembut. "Nanti aku yang ngomong sama Bunga. Dia selama ini cuma fokus ke kamu kan? Belum kenalan sama aku kayaknya."

Tawa kecilnya keluar, aku senang melihatnya.

Bunga ...

Seharusnya kamu tahu, ada batasan-batasan yang memang tak terlihat kasat mata di dalam kehidupan. Salah satunya ... antara mengagumi sesuatu dengan memaksa untuk memilikinya.

Kamu sudah melanggar batasan itu.

Aku mungkin terlihat baik. Terlalu positif thinking untuk hal-hal yang hanya bersifat asumsi. Termasuk pandangan dari Mbak Neni. Namun, bukan berarti aku akan diam saat melihat orang lain dengan terang-terangan mengganggu kehidupanku.

Dan, Ranggi Prabangkara adalah bagian dari kehidupanku.













---
kalian notis sesuatu yang beda enggak? biasanya, tokoh cowokku mangggil 'sayang' kalau momen tertentu. sementara Ranggi akan manggil nama kalau momen .... 🌚

kenapa kaliaaan ngiranyaaa ranggi berengsek sihhhhhh, apa itu berengsek hah.

tapi menurut kalian 3 part ini gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top