sa a sa tu u tu. satu.
"Gue DM laki lo tahu."
"Ngapaiiiin?"
"Penasaran aja. Hahahaha. Dia bucin tuh beneran apa cuma memang di depan lo doang."
"Iseng banget sih, edaaan! Terus apa yang lo dapet?"
"I'm married." Ia mengedikkan bahu. "Katanya. Setelah gue DM berhari-hari tuh, muak kali dia makanya di-read dan dibales. Dah. Titik. Singkat, padat, jelas ya rabb."
"Serius?" Aku masih berusaha antusias.
"Yang bikin gue merasa kalian memang ditakdirkan buat bersama adalah ..." Masih sempat-sempatnya ia memutar bola mata, juga dengan ekspresi yang seolah malas mengatakannya. "Well, gue males muji kalian, jijik, but I have to. Dia nggak nambahin kata 'sorry' di kalimatnya. How come, Yo?!"
Aku menutup mulut, harus tetap tenang.
"Biasanya nih ya. Momen begini, mereka akan bilang ... mi-ni-mal, 'sorry, I'm taken' atau 'ada hati yang harus gue jaga, maaf'. Padahaaaaal, ngapain lo minta maaf, Cuy? Ya kan?" Ia menyeruput minuman. Haus banget sepertinya. "Lo udah nikah, itu keinginan lo sendiri, nggak ngelanggar apa pun. Semoga ya. Terus ada orang nih, makhluk iseng entah dari mana, godain lo. Yang harusnya minta maaf mah si orang ini dong. Nggak peduli niat dia cuma main-main atau sungguhan."
"Jadi apakah seorang Ayu minta maaf?"
"I DID!"
"Good girl."
Dia memberiku tinjuan udara. "Kurang ajar. Udah lah. Ranggi Prabangkara memang cuma buat Daiva Jyotika. Tamat. Titik."
"Titik dulu, baru tamat."
"Iyeee."
"Fyi, Mas Ranggi kasih tahu gue ada yang DM dia."
"What?!"
Aku tersenyum geli. "Sayang, menurutmu kenapa orang masih berani DM ke orang lain padahal di bio, feed dan profil nunjukin kita udah nikah?"
Ayu terbahak sambil menepuk jidatnya. "Mati gue! Mati! Lo ngapain nggak bilang ke gue, hah?"
"Lah gue enggak tahu itu elo."
"Oiya. Kan second account." Matanya mengedip sebelah. "Enggak lagi-lagi gue test dia. Nggak mempan."
"Kalau ternyata kemarin dia ngeladenin, lo gimana?"
"Lapor ke elo lah! Terus gue samperin dia, gue hajar sampe tamat. Gue kan kalau lagi baik jiwanya Nagita Slavina, kalau lagi marah, jangan harap lo menang ngelawan Nikita Mirzani."
"I see. Sangat Ayu sekali." Cengirannya membuatku tertawa. "Enggak sekalian lo DM ke IG-nya Still Latte?"
"Dibales admin yang ada. Eh tapi serius, dia selalu laporan kalau dapet DM di Instagram?"
"Sejauh ini sih iya. Tapi gue nggak tahu ya dia pilih mana yang mau dia ceritain, atau semua dia ceritain. Kami nggak pernah cek IG masing-masing. Nggak ada gunanya juga nggak sih selain nambah bikin overthinking?"
"Setuju. Terus netizen be like: halah, itu karena masih baru. Coba nanti kalau udah lama. Bilang aja rumah tangga lo nggak harmonis, nggak usah jadiin rumah tangga orang sebagai pelampiasan."
"Ayu!"
Kami sama-sama tertawa.
"Tapi ya, Yo, gue harus jujur, semakin ke sini, gue makin nge-fans sama laki lo tahu nggak." Dia tergelak setelah aku memberinya pelototan tajam. "Kayak ... semua kriteria gue tuh ada di dia. Tapi, in a good way. Maksudnya, nggak ada keinginan buat rebut. Bukan yang naksir pengen nikahin. Lebih ke ... gue liat dia tuh sama kayak elo. Paham enggak sih? Dia idaman gue, tapi dia laki lo, elo sahabat gue. Jadi dia adalah dia elo." Ayu memukul kepalanya sendiri. "Kenapa jadi belibet begini ya. Intinya, gue heran gimana bisa ada sahabat yang rebut laki sahabatnya. Karena yang gue rasain adalah ... gue nge-fans dia sama kayak gue nge-fans lo, beda genre aja kalian tuh. Sama-sama luar biasa."
"Elo emang paling bisa ya, Yu, nyusun kalimat romantis gitu. Sialnya, gue paham."
Dia mengibaskan rambut.
Perempuan ini memang unik. Mau ngetes orang, tapi kok ya suamiku. Apa yang diharapkan? Isi Instagram-nya aja kopi, kopi, kopi, buku, bunga, sepeda, motor, mobil, balik lagi ke kopi, bunga lagi. Eh lupa ... aku.
Benar kata mas Ranggi, kenapa masih sempat-sempatnya DM kalau foto profil yang digunakan saja adalah foto pernikahan.
"Si Rapis mana sih?"
Ah ya, lelaki itu kenapa lama sekali muncul. Obrolan kami sudah mulai merambah ke banyak topik. Minuman dan makanan ringan sudah beberapa dipesan. Sebentar lagi, Ayu akan ngamuk karena merasa ini memberatkan dirinya. Tentu saja alasan berat badan.
"Tuh dia!"
Aku melihat sahabat lelakiku berjalan memasuki kafe dengan setelan rapi-yang-sudah-tidak-terlalu-rapi dan terkesan sangat buru-buru.
"Abis kerja, Pak?"
"Tuhaaan!" pekiknya tertahan, lalu dengan tiba-tiba mengambil gelas minumanku, menenggaknya hingga tandas. "Thanks, Jyo."
"Abis ngapain sampe segitunya banget?"
"Yang kali ini, kayaknya bakalan panjang perjalanannya."
"Pasangan yang dramatis ya?" Ayu mencondongkan tubuh, sangat siap menerima obrolan baru. "Kata lo kasus perceraian nggak lama-lama banget."
"Tergantung case-nya, Yu. Kalau cuma gugat cerai sih bisa cepet. Tanpa embel-embel gugatan hak asuh lah, harta gono-gini lah. Belum lagi nih, yang cewek nggak kerja, tapi gugat harta, suaminya ngerasa keberatan. Sementara harta perkawinan itu kalau nggak ada perjanjian di awal, harta yang didapet selama masa pernikahan ya harus dibagi dua."
"Mampus." Aku refleks menjawab, membuat Ravish tertawa sambil memasang wajah 'I know right' andalannya.
"Terus lo pihak mana?"
"Cewek."
Aku dan Ayu tertawa serentak, sementara sahabat lelaki kami menopang kepala di meja. Sepertinya dia sangat pusing dan lelah.
"Alamat bakalan ada yang ngambek, ditinggal fokus kerja ya, Pak."
"Mana masih baru." Aku menimpali. "Pengantin baru gitu harusnya masih anget-angetnya. Bukannya ditinggal fokus sama tumpukan kertas."
"Please ... kita nikah cuma beda tujuh bulan."
"Justru itu. Gue dulu masih baru gitu, beneran gempet tau, Pis. Enggak lepas."
"Ewwwwwwh!" Ayu menutup kedua telinga. "Jangan kegoda, jangan kegoda. Dua manusia kurang ajar lagi menyebarkan virus pernikahan. Tolong, saudara Dahayu Azzahra, imannya diperkuat."
Ravish langsung tertawa. Seketika raut lelahnya berubah menjadi penuh suka cita. Aku merasa bangga, karena menjadi bagian dari teman yang berguna.
Ya, kami berguna untuk satu sama lain.
"Besok gowes yuk?" Ayu menawarkan sesuatu yang ... pasti menurutnya menyenangkan.
"No, thanks," jawabku cepat.
"Ih dia mah aneh," semburnya sambil menatap Ravish. "Heran gue. Lakinya demen banget olahraga, demen gowes, kenapa dia kayak orang nggak berguna gitu kalau weekend."
"Gue nggak harus berguna setiap saat kali." Aku memutar bola mata. "Yakali terlalu sempurna. Gue harus punya kekurangan biar keliatan manusiawi."
"Jijik banget gue dengernya. Lo mau nggak, Pis? Ajak deh si Revina. Nggak apa gue sendirian nggak bawa partner."
"Besok gue nggak bisa."
"Sabtu masih kerja?"
"Urgent."
"Banya duit dong lo. Semakin tinggi tingkat kesulitannya, semakin besar cuannya. Ya kan?"
"Tapi semakin tinggi juga kemungkinan kepala gue meledak."
Mendengar itu, aku kembali tertawa. Lalu memanggil waiter untuk memesankan mereka minum. Kasihan, sebentar lagi pasti kehausan, dan kelaparan.
Saking hafalnya menu pesanan mereka, aku tak perlu menginterupsi obrolan panjang Ayu-Ravish. Sekarang, kami hanya perlu menunggu.
"Minggu deh yuk, gowes."
"Gue gereja, Ayu. Setelah Senin-Sabtu yang gue urus cuma duniawi, nggak mungkin gue nggak tahu malu. Gue sadar diri gue berasal dari mana. Ibadah. Jangan lupa."
Aku bertepuk tangan heboh. "Temen gue nih baru. Cobaan banyak ya, Pak, nanganin kasus cerai mulu, harus nguatin iman."
Dia tertawa.
Ayu menatap kami horor. "Okay," katanya menyerah. "Kalau udah bawa-bawa Tuhan, gue bisa apa? Gue gowes sendiri aja deh, sapa tahu nemu satu yang kayak Rapis."
Yang dijadikan topik memutar bola mata.
"Atau kayak mas Ranggi."
Giliranku yang memutar bola mata.
"Lagian kalian nggak seru ih. Apa nggak penat di rumah terus berdua. Sesekali perlu lah refreshing keluar."
"Kasih tahu, Yo, apa menariknya di dalam rumah berdua sama pasangan."
Belum sempat aku membuka mulut, Ayu sudah memotong lebih dulu. "Okay stop!"
***
"Mas Ranggi, hati-hati bawa mobilnya!"
Sudah tahu dong itu suara siapa? Ayu. Kami di parkiran kafe, sedang basa-basi sebentar sebelum perpisahan. Ravish jangan ditanya, dia sudah pulang duluan. Istrinya minta diantar belanja bulanan.
"Gue nggak diati-atiin."
"Kuncinya kan ada di mas Ranggi. Kalau dia nyetirnya bener, ya selamet lo berdua. Gitu aja perlu dijelasin sih, Yo."
"Baiiiik. Galak bener."
"Main ke rumah yuk, Yu?" Mas Ranggi berbicara dengan senyuman manis-sopan-santun-dan-nada-tenang.
"Kamu yakin, Mas?"
"Lho kenapa nggak yakin?"
"Ada istrimu?"
Barulah kami semua paham ke mana maksud tujuan perempuan unik satu ini. Hal itu membuat mas Ranggi tertawa sambil menggelengkan kepala. Lalu, tangannya yang sangat aktif itu tiba-tiba mengelus punggungku.
Aku tidak tahu, dia sadar atau tidak setiap kali melakukan tindakan itu.
"Yaudah gue balik ya. Bye!" Ayu melambaikan tangan. Baru satu langkah, kepalanya menoleh lagi. "Mas Ranggi!" Dia memberi tanda love lewat jari sambil mengedipkan mata, lengkap dengan cengiran lebar. "Inget ya, I'm your big fans. Kalau ada apa-apa, chat aku ya."
"Bosen hidup ya?"
Dia terbahak, lalu memberiku ciuman jauh. Sementara mas Ranggi hanya tertawa pelan sambil menganggukkan kepala.
Karena sifat Ayu ini, dulu aku sering sekali mendapatkan nasehat bahwa sebaiknya aku meninggalkan Ayu. Karena kegenitannya pada mas Ranggi membuat Ayu terlihat tidak menghargaiku di mata orang-orang.
Hal ini pernah aku bahas bersama mas Ranggi, karena aku penasaran dengan pendapatnya. Dia bilang, dia tidak merasakan ada perasaan suka dari Ayu seperti aku menyukai mas Ranggi. Menurutnya, sikap friendly sekaligus flirting Ayu itu bukan karena menginginkan mas Ranggi.
Malah, mas Ranggi pernah beranggapan bahwa Ayu sempat menyukai Ravish.
"Mas, kamu beneran nggak akan mau ganti lagu di dalem mobil ini?"
Dia menoleh, tersenyum lebar, kemudian menggeleng. "Lagu ini ngungkapin isi hati. Kenapa kamu mau diganti?"
"Oh God! Sejak kita balikan, aku udah dicekokin lagu ini. Bukan soal nggak suka, tapi ini udah setiap jam."
"Kamu mau tau alasan sebenernya?"
"Buruan kasih tahu."
"Siap?"
"Apa? Nggak usah sok-sok rahasia negara deh. Buruan aku dengerin."
"Listen, ini cuma akan sekali dijelasin. Duniaku itu sempit, Sayang. Kopi, buku, sepeda, mobil, makanan, bunga, mikirin pengelolaan kost-kost-an. Itu aja. Kalaupun aku buka cabang Still Latte, hal yang diurus akan sama." Dia memberiku senyuman manis, sebelum kembali memandang lurus ke depan, dan melanjutkan kalimatnya. "Sementara duniamu itu luas. Banget. Banyak hal yang kamu urus. Perselingkuhan, life style, perceraian, pernikahan, banjir, kebakaran, transportasi, ekonomi, politik, hiburan, dan lain-lain."
Aku masih mencoba memahami arah dari percakapan ini. Menyerongkan sedikit badan, agar lebih fokus menatapnya.
"Meskipun kamu nggak into ke semuanya, tapi tetep, kamu ... okay, dan Ayu akan ngurus semuanya. Akan ngelibatin banyak orang di dalemnya. Kamu pasti ketemu sama orang-orang keren yang mungkin bikin kamu kagum, terpesona dan itu wajar. Manusiawi. Honestly, I'm jealous. Tapi .... aku nggak mau tuh over jealousy. Caranya adalah, aku kasih reminder kamu tanpa perlu maksa. Jadi, sejauh apa pun kamu melangkah di luar sana, seindah apa pun tempat yang kamu datengin, ketika aku jemput kamu, kamu masuk dalam mobil, kamu tahu, ada aku. Dan aku harap aku cukup."
Mulutku sudah terbuka, tertutup lagi. Aku mengangkat tangan di udara, menurunkannya lagi. Intinya, aku kehilangan kata-kata dan tidak habis pikir. Jadi, ini yang dia pikirkan. Selama ini, aku hanya beranggapan bahwa dia lelaki romantis dan menyukai lagu Daniel Bedingfield yang berjudul If You're Not the One.
Ternyata, alasannya lebih dalam dari itu.
Dia bilang, dia mulai menyukai lagu ini setelah aku memutuskannya dulu. Tidak sengaja menemukan, lalu merasa lirik lagunya sangat sesuai dengan apa yang dia rasa.
Bagian favoritnya adalah:
I never know what the future brings
But I know you are with me now
We'll make it through
And I hope you are the one I share my life with
"I love you." Alhasil, hanya itu yang bisa mulutku katakan. Tidak, aku harus menambahkannya. Supaya adil karena kalimat kebaikannya sudah sangat panjang. "Dan, reminder-mu berhasil. Kamu lebih dari cukup buat aku."
"Am I?"
Aku mengangguk.
"Thank you."
"Tadi jadi ketemu sama orang bunganya?"
Senyumnya seketika merekah. "Jadi. Dan aku seneng banget ketemu sama supplier yang sesuai sama mauku. Next week, aku lagi mau matengin lagi posisi buat bunga-bunganya sama anak-anaknya. Nanti, pas renov-nya rampung, biar langsung siap diisi."
"Ada lily?"
"Tentu dong!"
Aku terkekeh. "Happy?"
Ia memberiku tatapan 'ya menurut lo aja ya'.
Karena yang aku tahu, dari kecil, mama mertua sudah mengenalkan banyak sekali bunga sekaligus cerita dibaliknya. Yang paling menarik buat mas Ranggi adalah bunga lily. Dia tumbuh di tepi tebing, dihina oleh rerumputan sebelahnya. Burung-burung pun sama. Katanya, meskipun lily tumbuh, dirinya tetap lah tak dapat dinikmati banyak orang. Hebatnya, lily tetap yakin dan keinginannya hanya satu: tumbuh dan mekar.
Mas Ranggi juga mau seperti lily.
Dia ... yang dulu sempat diejek orang-orang karena ... 'cowok kok suka bunga', sekarang bisa membuat banyak orang bahagia karena kesukaannya. Terutama aku.
Ranggi Prabangkara, lelaki yang menyukai bunga, tetap bisa ereksi, menjadi imam shalat, mengangkat galon, mengganti gas (kadang-kadang), mencuci piring, memasak, makan, minum, olahraga, dan bernafas. Dia bisa melakukan yang manusia lain lakukan.
Dia juga pernah bilang ini dan akan selalu kuingat, "Aku heran sama mereka yang omongannya berubah-ubah. Katanya, lelaki suka keindahan. Bukannya bunga juga indah? Kenapa nggak boleh disukai lelaki?"
"How's your day?" tanyanya.
"Tadi, berjalan dengan baik. Walaupun sempet ada masalah. Video journalist aku yang baru, dia jatoh dari motor."
"Keadaannya sekarang?"
"Syukurnya nggak parah." Aku melihat dia mengembuskan napas lega. "Aku udah jenguk dia sama Ayu. Untungnya, Angga bisa gantiin. Soalnya ini narsumnya lumayan susah, makanya begitu dapet waktu yang pas, harus bisa dapet."
"Kamu selalu bisa ngatasin masalah. Bangga banget."
"Sama Ayu sih." Aku tertawa. Juga privilege dari orangtua. "Dia Senin ngisi materi di kampusnya dulu lho. Inget yang aku bilang?"
"Oiya. Senin besok ya?"
"Hm hm. Padahal udah beberapa kali dia ngisi materi gitu, tapi katanya ini lebih bikin gugup karena ya itu tadi, kampus sendiri. Takut salah ngomong."
"Kamu mau nonton buat semangatin?"
"Aku kan mau nemenin kamu belanja meja. Lupa ya?"
"Enggak lupa. Tapi mungkin Ayu lebih butuh kamu? Kita bisa belanjanya dimajuin besok?"
"Mau gitu aja?"
Kepalanya mengangguk.
"Okay. Besok kita perginya. Tolong bangunin aku ya, Mas. Aku lagi nggak solat."
"Siap, Nyonya." Kemudian kepalanya menoleh. "Berarti nanti malem nggak bisa dong?"
Aku memutar bola mata.
---
gaes, sumpah, 2021 ini kok rasanya udah nyesek ya padahal baru 14 hari. hati tuh nggak tenang gitu. sampe kemimpi gara-gara pesawat sriwijaya, sedih banget ya padahal nggak kenal. hari ini syekh ali jaber meninggal. ya allah, kita bantu doa yuk gaes😭❤️.
semoga kalian sehat selalu ya, aku juga lagi cari cara biar tetap sehat mental aku nih. makanya nulis cerita baru, dan aku berharap kalian nggak 'yaaaah, yang itu nggak lanjut'. sama-sama saling support. aku kasih kalian bacaan biar terhibur, kalian terserah mau gimana.
stay safe and healthy, everyone!
(fisik, emosi, mental, akhlak, rekening)z
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top