li i li ma a ma. lima

"Open BO?"

Aku mengangguk. "Masuk ke prostitusi online bukan ya. Tapi biasanya nggak nampakin muka pas di online. Tapi nggak tahu sih, aku kurang paham."

Ranggi memijat kening, mengembuskan napas kasar. Dia terlihat sangat lelah dengan permasalahan anak-anak kost yang mulai ada saja ceritanya. Katanya, di kost satunya yang di lingkungan kampus, masalah yang timbul kebanyakan tentang dapur umur yang kotor. Salah satu penghuni yang berisik, dan problem sederhana lainnya.

Namun, di kost yang khusus 'dewasa' ini, tingkat masalahnya pun mengerikan. Sesuai dengan bayaran, mungkin? Itu kenapa, Mbak Neni dan Mas Agung ditempatkan di sana, bukan yang di dekat kampus.

Tetap saja, kadang kewalahan.

Dulu, malah pernah sesama anak kost ternyata rebutan satu lelaki. Yang satu pacar resmi, satunya selingkuhan. Sengaja pindah, karena sudah tahu selingkuhannya tinggal di sana dan demi melaksanakan aksi balas dendam.

Pokoknya, geleng-geleng kepala sama masalah kehidupan manusia di zaman sekarang.

Melihat Ranggi yang seolah masih belum lega, aku mendekatkan tubuh, memeluknya dari samping dengan erat. Menciumi pundaknya, pipi, lalu menatapnya. "Masih kepikiran Bunga?"

Ia menoleh. "Iya."

"Besok dia langsung pindah kok. Aku mau kasih kerjaan, dia nggak mau."

Bibirnya memberiku senyum. "Manusia baik kayak kamu, kadang memang nggak bisa semua orang terima. Nggak pa-pa."

Aku tertawa kecil. "Kok baiknya kamu bisa diterima semua orang? Sampe banyak yang salah paham dikira naksir mereka?"

Ia menggaruk telinganya yang memerah. Pasti sedang malu. Momen begini adalah salah satu yang kusuka. Lelaki dewasa ini sering sekali salah tingkah dan malu-malu ketika dipuji, diberi candaan, dan lain-lain.

Sampai kadang aku bertanya-tanya, benarkah usianya sudah 34 tahun? Benarkah perbedaan usia kami 7 tahun? Atau sebenarnya, aku lah yang lebih dulu lahir?

Oh tidak, dia tetap lebih dewasa dalam beberapa hal. Yang paling menonjol adalah soal memberiku kasih sayang.

"Mas."

"Hm?"

"Besok kalau ibu tanya 'kok belum hamil, Jyo?', aku harus jawab apa?"

"Belum jadi, gitu."

Aku tertawa geli. "Kalau ditanya lagi 'masa lama?' gitu gimana?"

Ia menyerongkan tubuh, menatapku sepenuhnya. "Nanti biar aku yang jelasin ke ibu. Nggak semua hal bisa dikendaliin. Kita bisa proses bikinnya, tapi nentuin bakal jadi atau enggaknya gimana caranya memang?" Senyumnya muncul lagi. "Lagian, nggak dikasih anak juga bukan berarti rumah tangga kita nggak bahagia."

"Pinter banget," pujiku sambil mengedipkan sebelah mata. Membuatnya tertawa kecil. "Aku mau mandi dulu deh. Pusing." Setelah berdiri dan berjalan ke kamar mandi, aku harus berhenti melangkah sebelum mencapai pintu. Menoleh ke arahnya yang memanggilku. "Kenapa?"

"Aku mau denger siaran ulang dong, obrolanmu sama Bunga. Boleh?"

"Enggak boleh."

"Kenapa?"

"Buat apa?"

Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Nggak pernah ya, di kepalamu itu nggak ada pertanyaan kritis?" Ranggi kembali melanjutkan. "Mau denger dialog kerennya kamu waktu ngomong sama dia."

"21+. Nanti kamu terkontaminasi."

"Terkontaminasi soal apa? Ikutan open BO?"

"Mungkin?" tantangku.

Ia mengerutkan alis, melepas kacamata dan memberiku tatapan seolah 'tarik kembali kata-katamu, Sayang'. "Orang sayang sama kamu kok, ngapain ikutan open BO."

"Jenuh sama aku misal?"

"Apa aku keliatan jenuh sama kamu?"

Aku mengendikkan bahu. "Manusia cenderung berbakat soal akting. Macem-macem kondisinya."

"Kalau gitu, kamu juga pernah jenuh sama aku?"

Oh, aku suka sekali pembahasan yang melebar ke mana-mana ini. Biasanya, akan menemukan satu teori baru untuk hubungan kami. Tak jarang, terlalu terbawa suasana, aku jadi debat pendapat, dan Ranggi akan menyudahi.

"Pernah dong. Jenuh itu manusiawi. Aku sering bilang kan? Dan kamu nawarin solusi supaya suasananya balik normal."

Dia mengangguk. "Sana mandi."

Selesai mandi, berpakaian santai, aku duduk di depan meja rias, siap memakai urutan skin care. Ini wajib hukumnya, supaya tetap percaya diri. Pujian orang lain, itu bonus, pujian dari diri sendiri saat berkaca, itu luar biasa.

Sementara Ranggi sedang membaca buku di atas ranjang. Khusyuk sekali.

Sekarang, aku sudah menyusulnya, bersandar di kepala ranjang, di balik selimut bersama Ranggi. Ia menggeser tubuhnya mendekat, meletakkan kepalanya di pundakku. Tubuhnya sedikit merosot, kedua tangan memegang buku. Meski usianya lebih tua, kalau malam hari, seringnya dia yang butuh disayang lebih.

Well, kadang pagi dan siang juga.

Ranggi yang sensitif perasaannya. Ranggi yang romantis karakternya. Ranggi yang manis tingkah lakunya.

"Tadi aku abis block orang di Instagram," katanya, membuka obrolan.

"Kenapa?"

"Dia muji kamu terus," jawabnya pelan, sambil tetap membaca buku.

Aku tertawa. "Bukannya kamu suka? Artinya aku hebat dan kamu bangga bisa jadi suami aku?"

"Tapi yang ini aku cemburu." Kepalanya menoleh, menatapku memelas. "Dia terus-terusan komentar di setiap postingan yang ada kamunya. Aku buka profilnya, ternyata kamu follow dia."

"Oya?"

"Freddy."

"Oh astaga. Itu temen kampus. Bukan temen banget sih, pernah satu matkul dulu." Aku membuka kacamatanya, mencium hidungnya gemas. "Nggak perlu cemburu, nggak pernah kontekan juga sama dia."

"Aku remove beberapa orang yang follow aku di Instagram. Nggak pa-pa, kan?"

"Tentu nggak pa-pa. Lakuin hal yang bikin kamu nyaman." Aku mengelus rambutnya. "Buku apa itu, Mas?"

"Terbitan baru. Kata Seira, ini salah satu yang paling banyak dibeli sama pengunjung Still Latte, selain bunga mawar." Dia tertawa kecil. "Makanya aku bawa pulang satu, ternyata Seira bener, memang bagus."

Anyway, Seira adalah salah satu karyawannya di Still Latte.

"Bukunya tentang apa?"

"Puisi tapi semacam diary. Bingung deskripsiinya gimana. Intinya, ini ungkapan penuh dari lelaki yang udah jatuh cinta sedalam-dalamnya sama satu perempuan."

"Wow."

"Salut banget sama yang nulis, aku nggak bisa bikin kata-kata. Padahal keren kayaknya bikin satu 'Dear, Jyo'."

Aku tergelak. "Nggak perlu lewat buku, aku udah bisa ngerasain semuanya. Kamu udah nunjukin nggak cuma lewat kata, tapi tindakan nyata kok."

Ia kembali menatapku. "Kamu cukup puas sama itu?"

"Apa?"

"Kata-kata sama tindakanku?"

Aku mengangguk yakin. "Lebih dari puas."

Senyumnya lebar. "Thank you for being my wife."

Aku mengecup bibirnya singkat.





***



"Cheers!"

Aku dan Ayu tertawa seiring dengan bunyi dentingan gelas kami yang beradu. Isinya soda, makanannya pun delivery dari resto. Ini semua ide Ayu, untuk merayakan kesuksesannya dalam video 'ngobrol' dengan Eldio.

Mungkin dia sungguh kepikiran karena temuan Yunda soal isi tweet lelaki itu. Karena biasanya, Ayu tak pernah merasa was-was dalam berbicara dengan orang lain. Apalagi, dia merasa bekalnya sudah mencukupi. Jadi, jarang sekali ada 'party' ala-ala untuk mensyukuri suksesnya obrolan.

Eldio berbeda.

"Matanya itu, Yo, kayak ngomong 'lo punya pertanyaan apa?' gitu. Gilaaaa." Dia bercerita masih sangat antusias. Karena memang dia sibuk, jadi meski kami partner di katafakta, bukan berarti kami bisa ngobrol bebas semaunya.

"Tajem-tajem menantang gitu tah, Yu?"

"Bener." Telunjuknya mengacung satu. Lalu, dia kembali mengunyah camilan---eh, maksudnya Ayu mungkin dessert.  "Kata Yunda kan dia nolak tuh waktu mau dikasih list pertanyaan buat gambaran. Katanya dia lebih suka baru denger pertanyaan itu. Emang ngerendahin banget cowok satu ini. Yaudah, gas aja, pas di tengah obrolan, setiap gue lontarin pertanyaan, gue tahu dia kaget, tapi kontrol dirinya keren."

"Lo juga keren karena bisa bawa suasana."

"Thank you. Berkat isi otak lo juga. Dan lo tau, kelar rekaman, dia bilang 'great job, Ayu! Pertanyaanmu di luar dugaanku semua'. Gzzzzz, pengen banget nampol. Gue bilang dong, 'itu isi otak Daiva Jyotika. My best partner ever. Pertanyaan-pertanyaan tadi adalah gambaran kualitas kinerja kami, Mas'. Dia ketawa. Kampret."

"Jadiiiii, apakah ada kemungkinan Ayu dan Eldio saling suka?"

Ekspresinya langsung mengatakan segalanya. Dia menolak, aku paham. "He's not my type."

"Kenapa?"

"Lo tahu, badboy udah nggak menarik lagi." Bibirnya mencebik, terlihat sangat menjiwai ketika ngomongin sesuatu yang tak dia suka, atau sebaliknya. "Terlalu mainstrem suka sama cowok badboy."

Aku tertawa geli.

"Yang katanya paling tahu cara berpakaian alias trendy. Yang katanya paling tahu cara nge-treat cewek karena jam terbang. Bangga, Bang, jam terbangnya jadiin cewek sebagai tempat survey?"

Ya Tuhan, Ayu ....

Dia memang paling bisa membuat perutku keram karena terus tertawa.

"Udah saatnya kita meromantisasi cowok baik-baik. Cowok baik yang tahu cara berpakaian dan bikin dirinya terlihat berkharisma. Cowok baik yang tahu rumus komunikasi dua arah, supaya bisa nge-treat orang lain dengan baik. Sisanya, kita sebagai cewek yang kooperatif lah. Biar cowok baik nggak keabisan topik waktu mau ajak ngobrol. Dikata badboy doang apa yang paling jago."

"Setuju." Aku memberinya dua ibu jari. "Kira-kira ada enggak orang kayak gitu?"

Matanya langsung melotot. "Jyo demi apa lo lupa sama manusia bernama Ranggi Prabangkara?"

Oh crap.

Aku menepuk jidat.

Bagaimana mungkin aku melupakan suamiku sendiri? Bagaimana mungkin aku kecolongan tentang memahami siapa yang sejak tadi dijadikan bayangan obrolan ini.

Suamiku sendiri.

Kemudian aku tertawa sambil menggelengkan kepala. My bad.

"Liat cara berpakaian Ranggi? Super cool!" serunya yakin. Aku mengangguk setuju. "Liat cara dia ngejalanin hal yang dia suka, entah hobi atau kerjaan? Super passionate! Liat cara dia treat cewek? Terutama elo? Super gentle! Dan yang paling penting, dia bisa bikin cewek keras yang bisa ngelakuin apa pun sendiri mau sama dia. Itu karena lo kooperatif. Nggak buta."

Aku memberi gesture menembak kepalaku sendiri.

Dia terbahak, lalu seolah menambahkan tembakak peluru ke arah dadaku.

"One thing that you should know." Aku menginterupsi tawanya. "Yang kayak Ranggi, sometimes memang boring."

"What?!"

Aku mengangkat tangan, meminta waktu untuk memberi penjelasan. "Itu normal, okay?" Melihat dahinya berkerut, seolah menunjukkan ketidakpuasan, aku menambahkan. "Manusia, punya kecenderungan buat tertarik sama apa yang nggak dia punya dan nggak biasa dia temui. Garis bold-nya berhenti di sana."

Kali ini ekspresinya sudah tenang, aku mengartikannya dia sudah siap menerima cerita panjangku.

"Baju, mobil, rumah, apa aja deh, punya orang terlihat lebih menarik. Kayaknya bagusan punya dia deh. Faktanya, pas kita punya, belum tentu cocok."

"Itu gue setuju," katanya.

Aku tertawa kecil. "Soal hubungan pun sama. Gue cerita sebagai perempuan yang kata lo dapet lakik baik dengan nilai A+++." Sebelum kembali melanjutkan, aku menyempatkan diri membahasahi tenggorokan dengan minuman manis. "Ranggi nyaris nggak pernah marah sama apa pun yang gue lakuin. Waktu Nyokapnya nginep di rumah nih. Kan Ibunya ngabarin sehari atau dua hari sebelumnya gitu, gue bilang ke Ranggi gue bakalan masakin ibunya. Jadi, pas ibunya sampe, yaudah tinggal makan."

Ayu meringis. "Gue mencium masalah."

Aku tergelak, lalu menggeleng. "Waktu itu, pas banget gue ketemuan sama temen organisasi dulu kan. Gue bilang sama Ranggi pulang jam sekian pokoknya, udah gue kira-kira deh biar bisa masak dan lain-lain. Ternyata, saking asyiknya, gue sampe lupa pulang. Handphone mati. Lo tahu apa yang dia lakuin?"

Ayu hanya diam, menatapku ngeri.

"Dia beli makanan dari kenalannya. Yang dia klaim sebagai masakan gue sebelum gue pergi karena sesuatu yang urgent." Melihat matanya membulat, aku mengangguk. "Kenapa bukan Ranggi yang masak? Dia nggak jago, karena ibunya tipe yang ... di dapur urusan istri, cuci nyapu ya istri. Gue juga nggak ngerti kenapa Ranggi bisa tumbuh dengan pola pikir beda. Walaupun soal di dapur masih ngeraba-raba, tapi dia mau."

"Dia sama sekali nggak jengkel?"

"Enggak. Malah pas gue sampe rumah, gue liat dia di garasi, mau masuk mobil. Katanya mau nyusul ke kantor, takut gue kenapa-napa. Karena dia udah tanya sama temen-temen. Dia bilang ke ibunya, gue minta jemput, padahal gue main."

"Gila."

"Memang. Itu kenapa gue bilang, kadang gue butuh dimarahi kalau gue salah. Jangan semuanya dimaklumi."

Ayu membasahi bibirnya. "Kenapa jadi serba salah gini ya, Yo? Dapet yang dominan plus posesif juga repot. Dapet yang nurut dan terlalu baik gini juga aneh. Ya nggak sih?"

"Banget." Aku tertawa. "Kadang gue mikir, ini orang terbuat dari apa? Kenapa nggak mau marah? Kenapa semua tindakan gue itu bisa dia toleransi?"

"Karena cinta?"

Aku memutar bola mata. "Gue cinta sama dia, tapi kenapa gue nggak bisa kayak gitu?"

"Oiya. Karena dia lebih cinta?"

Aku tidak membantah, karena bagaimana caranta tahu cinta mana yang lebih berat? Tidak ada timbangan untuk cinta. "Gue pernah uji dia nih, dia bilang kan pas masih di kerjaan kalau lagi pusing tuh sama masalah distribusi buku buat di Still Latte. Pas dia pulang, gue lagi duduk di ruang tamu, ngecek kerjaan. Dia naro tas laptop, duduk sebelah gue kan. Setelah peluk dan lain-lain, gue minta bikinin teh anget. Dia berdiri, Ayu, tanpa komplain."

"Shit!"

"Ekspektasi gue, at least, dia bilang dia capek. Mbak Fai kan lo tahu cuma dateng pagi-sore, jadi keperluan setelah itu, kami urus sendiri. Gue pengen dia nolak, tapi dia lakuin." Aku memijat kening. "Kadang gue kalau baca cerita istri di sosmed yang suaminya berubah cuek setelah nikah, suka bayangin, gimana rasanya minta sesuatu dan nggak dikabulin sama suami?"

Kali ini, Ayu benar-benar terbahak, kemudian langsung berubah serius. Dia seolah mewakilkan kalau aku sudah gila.

"Gue bilang belum siap punya anak karena katafakta masih jaya-jayanya, dia setuju. Gue bilang nggak mau tinggal di deket lingkungan keluarga, dia setuju. Gue nggak masak, dia delivery. Gue nggak bikinin dia kopi, dia bikin sendiri."

"He's too good to be true."

"Memang." Aku kadang tidak percaya yang kunikahi itu manusia biasa. "Gue cerita begini, bukan berarti gue nggak cinta suami gue. Demi Tuhan, I love him so much. Gue cuma mau bilang ke elo, badboy atau goodboy yang lo maksud, at the end, lo tetep akan nemu sisi 'kok gini ya?'." Aku memberi tanda kutip. "Jadi, don't expect too much."

"Gue makin nge-fans sama lo," katanya, membungkukkan sedikit badan.

"Ngawur!"

Obrolan kami terpaksa harus terhenti karena handphone-ku berdering.

Mbak Neni.

Aku meminta izin Ayu untuk mengangkat telepon. "Halo, Mbak."

"Mbak Jyo di mana?" Suaranya terdengar panik. "Bisa ke sini nggak?"

"Kenapa?"

"Desti yang anak baru itu, lagi ada masalah, Mbak."

Refleks aku memijat kening. Jangan lagi. Ya Tuhan, urusan Bunga baru saja rampung. Kenapa anak-anak kost Ranggi tak pernah memberi jeda? "Mas Ranggi ke mana?"

"Justru itu. Bapak udah di sini."

"Maksudnya gimana?"

"Bapak kena tonjok---"

"Hah?!" Aku mengangkat tangan setelah Ayu bertanya 'ada apa'. "Mbak Neni bilang yang jelas dong. Jangan bikin panik. Pelan-pelan."

"Tadi kan ada tamu. Cowok. Saya tanya cari siapa, katanya cari Desti. Saya chat Mbak Desti, tapi kata Mbak Desti bilang aja dia nggak ada di kost." Crap. Masalah datang tanpa memberiku waktu bernapas. "Abis itu eyel-eyelan minta saling bilangin. Sampe akhirnya Mbak Desti keluar dan mereka ribut besar. Si cowok maki-maki dan narik tangan, Mbak Desti minta tolong Mas Agung. Malah berantem dan akhirnya saya telepon Bapak. Pas Bapak dateng, bukannya tenang, si cowok malah ngira Bapak selingkuhannya Desti dan marah lagi. Sekarang mereka udah duduk semua setelah saya ancam mau telepon polisi."

Aku menarik napas dalam-dalam.

Tenang, Jyo. Kendalikan dirimu. Fungsikan otak dengan baik. Masalah akan tetap datang silih berganti, tetapi pasti bisa dilewati.

"Okay, Mbak Neni. Makasih infonya ya. Saya otw ke sana. Tolong bilangin ke Mas Ranggi, jangan ambil keputusan apa pun dulu. Tunggu saya."

"Siap, Mbak."

"Kenapa, Nek?" Ayu langsung mencercaku. "Muka lo kek ngenes banget."

"Ranggi ditonjok orang."

"Kok bisa?!"

"Drama anak kost. Gue balik duluan ya. Lo ati-ati pulangnya."

Aku harus segera sampai di sana. Aku ingin melihat siapa sosok lelaki yang berhasil mengaktifkan tombol 'marah'ku. Apa dia kira aku tak bisa sembarang marah dengan orang asing? Dengan Bunga mungkin aku bisa tetap lembut, tetapi karena yang ini berani pula main fisik ke suamiku, maka aku akan benar-benar marah.

Membayangkan ekspresi kesakitan Ranggi benar-benar menambah tingkat amarahku.








---

kebanyakan ketemu cowok berengsek, dikasih baik pada seujon ya🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top