du u du a a a. dua

Dulu, aku selalu percaya bahwa 'kalau sudah dapat dan dia jadi cinta, yasudah, mission accomplished' adalah prinsip bawaan semua lelaki.

Ternyata, aku hanya terlalu banyak mendengar cerita dari satu sisi.

Mungkin banyak lelaki yang menyukai tantangan. Namun, tidak semua lelaki menjadikan perempuan sebagai objek misi yang setelah mendapatkan maka berkurang rasa antuasiasnya. Ada juga yang dirinya benar-benar berharap bisa hidup bersama dengan perempuan yang diinginkan, dan setelah usahanya berhasil, maka setiap harinya, ia tak pernah berhenti bersyukur.

Dengan cara apa?

Menunjukkan semua syukur itu lewat tindakan: memberi perhatian, kasih sayang, dan cinta.

Contoh yang kusebutkan itu adalah suamiku sendiri: Ranggi Prabangkara. Dia menjadi satu-satunya lelaki yang membuatku merasa semuanya terlalu mudah. Terlalu mudah untuk menerimanya. Terlalu mudah untuk mencintainya. Terlalu mudah untuk yakin bahwa 'he's the one'.

Ya, karena dia memang penuh akan kebaikan, dan mustahil untuk tidak diterima.

Aku hanya manusia beruntung yang dipilihnya, tetapi sangat sulit untuk menunjukkan rasa beruntungku itu.

"Mas, kacamata cokelatku kemarin mana ya?"

Kepalanya yang sedang menunduk menatap layar ponsel terangkat, memberiku ekspresi pura-pura kesal. Kedua alis menyatu, mata di balik kacamata itu dibuat-buat melotot. "Di laci, Sayang. Di tempat seharusnya."

Aku nyengir, lalu berjalan menuju laci yang dia maksud. Benar saja, kaca mata yang kucari sudah rapi di sana bersama dengan aksesoris lain.

Mas Ranggi memang tidak akan membiarkan barang tergeletak bukan pada tempatnya. Bahkan hanya sekecil jepit rambut. Bukan pula akan mengomeliku, tetapi ia merapikannya sendiri dalam diam.

Kadang aku selalu bertanya-tanya, bagaimana mungkin ada manusia diciptakan sesempurna itu?

"Cantik banget," komentarnya, selalu.

"Thank you." Adalah jawabanku, selalu. Karena aku tidak tahu harus merespons seperti apa setiap pujian dan kasih sayang yang dia tunjukkan.

"Udah siap? Mau jalan sekarang?"

"Yuk."

Dia menarikku ke pelukannya, memberi kecupan singkat di samping kepala, sebelum akhirnya kami keluar kamar.

Begitulah Ranggi, rasa sayangnya bukan hanya ditunjukkan lewat kata, tetapi juga tindakan nyata.

Itu kenapa Ayu bilang, tidak ada alasan untuk aku berpendapat bahwa rumput tetangga terlihat  lebih hijau. Karena justru aku lah yang dijadikan perbandingan oleh mereka yang tak mendapatkan pasangan seperti Ranggi.





***




Bagiku, Ikea adalah salah satu tempat yang bisa membangkitkan mood.

Ada banyak sekali pemandangan isi rumah yang menyegarkan mata. Mulai isi kamar, dapur, ruang tamu, hiasan, pokoknya semuanya ada. Termasuk dua hal yang akan kami cari saat ini, yaitu meja untuk anak kost baru. Karena meja sebelumnya kotor bekas coret-coretan. Yang tinggal di sana terlalu aktif sepertinya.

Selain itu, kami juga mau membeli gorden untuk semua anak-anak kost. Mau memberi sesuatu yang baru.

Bukankah kamar kost adalah 'rumah' bagi perantau?

Jadi, kami sangat concern sekali untuk hal-hal di dalamnya. Supaya mereka nyaman, aman dan merasa tak sia-sia dengan bayaran yang dikeluarkan tiap bulan.

"Sayang."

Aku yang sedang berdiri di depan kain-kain gorden menoleh, melihatnya berjalan mendekat.

"Mbak Neni kirim list dari warna gorden yang dimau sama anak-anak. Bunga mau warna dusty pink, itu yang mana?" Dahinya berkerut, seakan sungguh meminta bantuanku. "Antara ini sama ini?"

"Ini ungu, Mas."

"Oh sorry." Dia tertawa pelan. "Berarti yang ini ya? Polosan aja lebih bagus ya kan?"

"Yap. Ada request khusus?"

"Enggak. Yang lainnya pasrah aja. Ikutin warna netral. Kita beli abu-abu, putih sama krem." Ia tertawa kecil. "Bunga ini memang kreatif banget hias-hias kamar, kata Mbak Neni."

Aku mengangguk setuju. "Kelihatan anak hits."

"Kamu ada yang mau dibeli?"

"Bed cover ya, Mas?"

"Boleh. Tuh sebelah sana."

"Mau coba warna dongker ah, Mas. Ngikutin kamu yang warna-warna gelap."

"Putih atau cokelat nggak apa kok. Atau kamu mau warna pink juga boleh. Esensinya kan buat selimutan, bukan pajangan."

Aku memutar bola mata, membuatnya tertawa.

Yakin deh, dia pasti sengaja menggodaku karena paham betul kalau aku tak pernah menganggap warna selimut hanya sebagai pajangan. Baik jenis kain dan warna sama-sama harus yang menenangkan. Harus yang sesuai kami suka. Aku lebih tepatnya. Nyaman di kulit, nyaman di mata.

Berbeda dengan Ranggi, yang penting tidur nyenyak.

"Ini aja, Mas."

"Okay. Mau beli berapa?"

"Satu aja lah."

"Eh, Sayang, kunci mobil aku kasih ke kamu?" Pertanyaan dadakan itu membuatku refleks menatapnya sinis. Ia terlihat bingung, merogoh saku kiri-kanan, kemudian tersenyum polos. "Ada di aku. Sorry."

"Cium nih."

Cengirannya semakin lebar. "Mau banget dong."

"Kesenengan. Dah ah, ayok."

"Kenapa sih nyium suami sendiri kayak yang antiiii banget." Ia buru-buru berjalan di sampingku.

"Di depan umum, Mas, demi apa."

"Lho kenapa?"

"Bodo amat."

"Gengsi adalah nama tengah Daiva Jyotika. Aku tahu."

"Siapa yang gengsi?"

"Oh enggak, aku yang gengsi."

Akhirnya tawaku pecah, lalu aku menyikut pinggangnya. Hal itu membuat Ranggi ikut tertawa, sambil membenarkan letak kacamata berbingkai hitam. Maksudku, Ranggi dan kaca mata bingkai hitam adalah paket komplit.

Selesai dengan urusan belanjaan ini, kami langsung pulang. Oh enggak ke rumah, kami mampir dulu ke alamat kost milik Ranggi. Di sana, Mbak Neni dan Mas Agung---suaminya---sudah menyambut di depan gerbang.

"Nanti tolong rakitin ya, Mas, mejanya," pinta Ranggi pada Mas Angung, yang langsung diiakan. "Mbak Neni boleh cuci dulu gordennya sebelum dipasang ke kamar anak-anak ya."

"Siap, Pak."

Ranggi menambahkan. "Yang warna pink itu, yang beda sendiri, itu punya Bunga, Mbak."

Mbak Neni mengangguk. "Siap, Pak." Setelah Ranggi berjalan ke lorong kost bersama mas Agung, Mbak Neni menoleh ke arahku. "Orangnya ada tuh di dalem. Tadi tanya Bapak jadi ke sini apa enggak."

Baru aku mau membuka mulut, yang dibicarakan menuruni tangga dari lantai 2 dengan ekspresi semringah.

"Mbak Jyo!" seru Bunga. Kemudian mengulurkan tangan. Bersalaman.

Wait ... what?! Salaman?

Aku tertawa, tetapi tetap membalas uluran tangannya.

"Mas Ranggi mana?"

"Di ruang tamu. Lagi ngerakit meja sama Mas Agung. Nggak main, Bunga?"

Dia nyengir. "Enggak. Bye, Mbak Jyo!"

Lalu secepat kilat, dia berjalan meninggalkan aku dan Mbak Neni, terlihat berjalan ke arah ruang tamu juga. Aku niatnya mau naik tangga, untuk sekadar lihat lingkungan kamar anak-anak, siapa tahu mereka butuh sesuatu yang disampaikan langsung ke aku. Oh enggak, tegur sapa aja biar tidak dikira terlalu jutek.

Namun, niat itu dihalangi oleh pergerakan Mbak Neni yang tiba-tiba mendekat ke tempatku berdiri. Benar-benar dekat, kemudian berbisik. "Saya minta maaf, tapi saya enggak suka Bunga, Mbak Jyo."

Sontak, aku terkejut dengan pengakuannya. Menarik kepala mundur, aku menatap Mbak Neni bingung. "Maksudnya nggak suka?"

"Di awal sih saya suka karena dia orangnya ramah banget. Sama anak-anak lain juga baik, nggak ada masalah." Wajahnya terlihat sangat serius. "Waktu pertama kali dia lihat Bapak ke sini, langsung bawel tanya tentang Bapak. Awalnya sih yaudah nggak apa. Cuma, saya mulai aneh pas dia minta nomor Bapak, ada kendala katanya."

Refleks aku tertawa. "Menurut Mbak Neni, Bapak menarik enggak?"

"Soal?"

"Apa pun."

Kepalanya mengangguk. "Iya. Ganteng. Baik. Ramah. Nggak banyak tingkah."

"Mungkin pandangan Bunga sama kayak gitu ke Mas Ranggi."

"Tapi kan, Mbak, tetep harus sopan. Biar gimana pun kan Mas Ranggi udah nikah. Sampe nanya-nanya Instagram lho. Saya mana tahu."

Demi menenangkan perempuan yang sudah bekerja lumayan lama dengan Ranggi ini, aku mengelus pundaknya. "Makasih ya, Mbak Neni, buat kepeduliannya. Saya hargai banget. Nanti, kalau Bunga masih ngeyel minta nomor WhatsApp atau akun media sosialnya Mas Ranggi, bilang Bunga suruh minta ke saya." Aku mengedipkan sebelah mata, membuatnya tertawa.

Aku menggelengkan kepala pelan, sembari berjalan menaiki tangga. Entah ini merupakan salah satu kekurangan memiliki pasangan yang nyaris sempurna, atau ... manusia akhir-akhir ini jadi sering khawatir. Maksudku, dunia semakin intens menunjukkan kengeriannya, membuat manusia harus terus waspada.

Aku sedang membicarakan pendapat Mbak Neni. Ya, karena dia bukan satu-satunya yang terlihat 'khawatir' akan hubunganku dengan Ranggi. Sahabatku, Ayu, selalu berpesan bahwa dunia ini sudah ngeri sejak dulu. Karena sistem masyarakat yang mendarah daging, membuat perempuan saling sikut untuk mendapatkan tujuan.

Termasuk soal lelaki.

Menurutku, Bunga hanya salah satu contoh manusia yang friendly.

Simpel.

Jadi, tdak perlu ada yang ditakutkan. Atau, kalaupun kemungkinan terburuk Bunga sungguh menyukai Ranggi dengan rasa suka ke lawan jenis, itu haknya, jaminanku ada di Ranggi. Aku percaya lelaki itu bisa menjaga komitmen kami.

















---

aku suka banget sama pembawaannya suami Mita ini gaes, namanya Barry. kayak ... manusiawi banget tapi muanissss. aku storiin ini, pada cie dong di WA, karena gatau dia siapa🧟‍♀️ jadi, bayangin ranggi berkacamata begitu ya, wajahnya terserah kalian. intinya dia gantengnya manusiawi, bukan macam baba malik atau idol kalian🙄

btw, gaes, aku lupa banget kalau anaknya papa gharda dan mama bora namanya Jyo😭🤣🔫. kebanyakan tokoh sampe lupa. yaudahla ya, anggap aja kesamaan nama hanya kebetulan semata🙃. mau ganti nama udah gabisa, udah sesuai karakter yang dibikin.

ohya, aku tuh awal tahun ini kayak bosen ngelakuin apa pun.  dari 2020 sih ya. bosen ngelakuin yang bahkan kusuka. keluar bosen, di rumah bosen, baca bosen, bahkan nulis yang biasanya nggak pernah stuck, ini aku sampe mau nangis karena susah banget. kalian ngerasa hal yang sama kah? gimana cara ngatasinnya?

jadi, bisa nulis bab ini, aku bangga banget😭. untuk mala-andra, sabar ya. karena biasanya, aku kalau lagi kacau otaknya, justru harus nulis yang 'berat' menurutku aku. sekalian pelampiasan.

stay safe and stay healthy, everyone! i love you. tetap waras ya, aku pun ngerasa kepalaku mau meledak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top