Bab 8
Tangan dan kaki Revan sudah terbebas dari syal yang sempat terikat kuat. Sekarang Revan dan Clara sudah duduk berhadapan di sofa yang saling berseberangan. Ada meja bundar yang menjadi jarak antara mereka. Di meja itu terdapat dua gelas minuman yang sebelumnya disiapkan oleh Clara.
"Tentang bukti yang aku punya ... aku nggak mau kasih lihat sekarang."
Revan lalu berusaha tenang dan bertanya, "Kenapa?"
"Kamu bisa lihat sendiri nanti kalau aku udah share. Aku yakin bakal merajai pencarian utama dan dibahas semua media," jawab Clara penuh keyakinan. "Lagian nggak ada untungnya juga ngasih lihat."
Sudah Revan duga, Clara pasti tetap teguh pada pendiriannya.
"Jadi, apa maumu sekarang?" tanya Revan to the point.
"Keinginanku sederhana, aku mau karier Ben berantakan."
Revan mengernyit. "Itu menurut kamu sederhana?"
"Ya, aku cuma mau dia menyesal udah berani selingkuh. Padahal, kalau dia udah bosan atau hubungan kami nggak bisa dilanjutkan lagi ... seharusnya dia putusin aku secara baik-baik, aku nggak masalah," terang Clara seraya berusaha menahan emosi. "Kenapa harus selingkuh?! Parahnya lagi mengotori apartemen yang dibeli bersama-sama. Aku bahkan jijik kalau harus menginjakkan kaki di sana lagi. Dasar berengsek! Dia pikir aku bakalan diam aja, gitu?!" Ia sudah benar-benar emosi sehingga tidak bisa menahannya lagi.
"Clara, aku ngerti kamu marah banget. Tapi semenjak kejadian itu ... kalian belum ngobrol secara empat mata, kan?"
"Buat apa?! Enggak ada gunanya dan nggak akan mengubah apa yang udah terjadi!"
"Clara, aku yakin Ben sama selingkuhannya itu cuma menjalani gairah sesaat."
"Kamu bisa ngomong begitu karena belum pernah berada di posisi aku!" Clara jadi gemas sendiri, haruskah ia jujur kalau wanita yang menjadi selingkuhan Benny adalah Ariana?
"Oke, oke ... sekarang kamu mau apa?"
"Aku udah jawab tadi."
"Maksudnya, kapan dan apa yang akan kamu lakukan buat ngehancurin Ben?"
"Serius kamu nanya kapan? Untuk apa aku ngasih tahu kamu? Aku nggak sebodoh itu," balas Clara sinis.
"Clara please, jangan gegabah ... Ben membangun kariernya dari nol. Kamu tega mau menghancurkannya padahal kalian pacaran bertahun-tahun?"
"Kalau dia membangun kariernya dari nol, aku juga sama ... membangun perasaan ini dari nol hingga rasa cintaku pada Ben menjadi penuh sampai sekarang. Ah, maksudku sampai kemarin karena sekarang perasaan itu udah nggak utuh lagi," jelas Clara serius. "Bagi aku ... hubungan yang bertahun-tahun itu udah nggak ada artinya lagi semenjak aku tahu dia seberengsek itu. Sekarang lebih baik kamu pulang, karena aku nggak akan terbujuk sama apa pun yang kamu katakan. Aku nggak akan berubah pikiran."
Revan mengembuskan napas frustrasi. Selama beberapa saat ia terdiam dan berpikir, sampai kemudian Revan berkata, "Apa yang kamu punya? Foto, kan?"
Clara menstabilkan ekspresinya lalu tersenyum. Rupanya pria di hadapannya cepat tanggap juga.
"Pasti dugaanku benar," tambah Revan.
"Kenapa? Kamu mau mengancamku dengan UU ITE?!"
"Bu-bukan, kamu jangan salah paham. Aku nggak bermaksud begitu. Aku hanya ... ingin berdamai. Bisakah?"
Clara terkekeh, "Apa itu damai? Aku nggak kenal."
"Berapa pun yang kamu mau, aku akan berikan."
"Sombongnya," balas Clara meremehkan. "Kamu mau beli rasa kecewa aku terhadap Ben dengan uang?"
"Ya, aku tahu. Sejak awal aku tahu masalah antara kamu dan Ben nggak bisa selesai dengan uang. Tapi—"
"Terus kenapa berani nawarin uang?" potong Clara.
"Kamu nggak tahu aku sefrustrasi itu. Aku harus gimana sekarang? Bilang."
Ya, kalau boleh jujur, Revan tidak pernah seperti ini sebelumnya. Boleh dibilang, Clara adalah wanita pertama yang menolak bersepakat dengannya. Sungguh, Revan tidak tahu cara menghadapi wanita di hadapannya. Pantas saja Benny mengatakan firasatnya buruk. Sekarang Revan juga merasakan hal yang sama.
Lagi-lagi Clara terkekeh. "Saranku, kamu pulang aja dan jangan pernah datang ke sini lagi. Juga, jangan perintahkan siapa pun untuk datang ke rumah ini. Oke?"
"Sebelum pulang, bolehkah aku melihat fotonya?" Revan masih berusaha membujuk. Dalam hatinya tersimpan harapan kalau Clara bisa berubah pikiran.
Clara menggeleng. "Enggak boleh. Sekali nggak, tetap nggak!"
"Oke." Sepertinya Revan harus mencari cara lain agar Clara mau bersepakat, atau setidaknya membuat wanita di hadapannya berubah pikiran untuk tidak menyebarkan foto sialan itu. Ia harus bergerak lebih cepat sebelum Clara membuat onar dan menghancurkan segalanya.
Sial, Revan benar-benar merasa lemah dan tidak bisa berkutik di hadapan Clara. Apa-apaan ini?
"Oh ya, kamu lihat ponselku?" tanya Revan kemudian.
"Ah iya, sebentar. Semalam kamu melemparnya sembarangan." Clara berjalan ke arah bufet yang ada di ruang tamu, lalu mengambil ponsel Revan dan mengembalikannya. "Ini."
"Apa yang kamu lakuin sama ponsel ini?" Revan menekan tombol untuk mengaktifkan kembali ponselnya yang semula mati.
"Sori, aku nggak sekurang kerjaan itu ngotak-ngatik ponsel orang yang bahkan nggak aku kenal. Lagian seharusnya kamu berterima kasih karena aku nggak membuangnya." Clara memang berkata jujur. Semalam, saat Revan nyaris macam-macam padanya, pria itu menjatuhkan ponselnya ke sofa dan ponsel itu sudah dalam keadaan tidak aktif. Clara benar-benar tidak kepikiran untuk mengaktifkannya apalagi melihat isinya.
"Iya, iya ... kalau begitu thanks, ya." Setelah mengatakan itu, Revan langsung menghubungi Angga agar menjemputnya sekarang juga. Pria itu kemudian memeriksa beberapa notifikasi, dan tidak menemukan satu pesan pun dari Ariana. Ia makin yakin kalau Ariana benar-benar marah.
"Kamu nggak mungkin nunggu jemputan di dalam, kan?" Secara tidak langsung, Clara mengusir Revan.
"Ini mau keluar," jawab Revan. Sebelum itu, ia meraih gelas minuman di meja dan meminumnya hingga tandas. Sejujurnya ia masih agak pusing, ditambah Clara membuatnya makin pusing. Sungguh pagi yang sangat sial baginya.
Bersamaan dengan itu, ponsel Clara yang semula diletakkan di meja berdering. Ia langsung meraihnya. Rupanya Ita, sang Mamalah yang meneleponnya. Sebelum menjawabnya, Clara beralih menatap Revan dan berkata, "Kalau udah selesai minum, silakan tutup pintunya dari luar ya."
Clara pun langsung bergegas ke ruang makan. Menarik kursinya lalu duduk di sana dan menggeser layar ponselnya ke warna hijau.
Seperti biasa, selama beberapa saat mereka terlibat obrolan-obrolan sederhana khas orangtua dengan anak gadisnya yang berada di perantauan.
"Oh ya, Ririn menikah akhir tahun ini."
Clara terdiam. Ia tahu, di antara para sepupu tinggal ia dan Ririnlah yang belum menikah, sedangkan yang lainnya bahkan sudah memiliki momongan. Ah, firasat Clara jadi tidak enak. Pasti sebentar lagi orangtuanya akan menanyakan sesuatu yang menyebalkan.
"Kamu bisa pulang, kan?"
"Aku usahakan, Ma."
"Harus ya, apalagi kamu udah lama nggak pulang-pulang. Pasti cuti tahunan kamu masih banyak. Kamu bisa pulang agak lama, nih. Oke, Sayang?"
"Iya, Ma ... iya."
"Kalau boleh request ... Mama mau kamu bawa pacar. Ah, kalau bisa calon suami. Enggak mungkin, kan, kalau kamu masih belum move-on dari Ben?"
Ya, semua orang termasuk keluarga Clara tahunya kalau Clara dan Benny benar-benar putus tahun lalu. Hanya pihak WE-lah yang tahu kalau mereka hanya pura-pura berpisah. Sejujurnya hal itu membuat Clara merasa menjadi pacar simpanan. Clara tidak bisa mengekspresikan perasaannya di media sosial, atau seperti orang-orang lain yang bebas mem-posting kemesraannya dengan pasangan. Clara tidak bisa seperti itu.
Selama berpacaran dengan Benny, Clara bersusah payah membujuk orangtuanya agar tidak terus-terusan mendesak Benny menikahinya demi karier Benny. Namun, setelah pengumuman putusnya mereka setahun lalu, Clara malah dituding gagal move-on karena belum juga menemukan pengganti Benny. Bagaimana mau menemukan pengganti kalau mereka saja hanya pura-pura putus? Sayangnya Clara tidak bisa menceritakan itu pada mereka semua, termasuk orangtuanya.
Selama ini Clara bahkan harus berpura-pura menjadi jomlo tanpa bisa menjalin hubungan dengan siapa pun. Tak jarang keluarganya, para fans atau akun gosip mengira Clara belum move-on dari Benny. Beberapa penggemar Benny juga ada yang percaya kalau Clara dan Benny masih berpacaran. Namun, rumor itu langsung dibantah oleh WE.
Jika bukan karena cintanya, Clara tidak akan mau menjalani hubungan yang melelahkan ini. Ia sering berharap bisa berhenti menjadi seakan-akan buronan dan menjalani hubungan yang normal-normal saja bersama Benny, tapi Clara tahu kalau harapannya ini semu. Sampai kapan pun ia tidak bisa menjalani hubungan normal dengan Benny.
Ah, sial. Untuk apa Clara merenungkan masa lalu? Ia dan Benny sudah benar-benar selesai. Seratus persen selesai dan ini real, bukan fake!
"Clara? Masih dengar Mama, kan?"
"Ah iya, Ma. Aku bakal pulang, kok."
"Maksudnya sama calon suami, Sayang. Minimalnya pacar, deh."
Mungkin sudah berulang kali Ita membahas hal ini pada Clara. Namun, ini kali pertama Clara mendengarnya saat ia benar-benar berstatus jomlo.
Belum sempat Clara menjawab. Suara berat menyela, "Aku mau ke kamar mandi dulu. Di sebelah mana?"
Sontak, hal itu membuat mata Clara membelalak terkejut karena ia kira Revan sudah pulang. Kenapa pria itu masih di sini? Parahnya lagi malah berbicara saat sang mama sedang menelepon. Jangan sampai Ita salah paham.
"Clara, itu suara siapa? Kenapa ada pria sepagi ini di rumah?"
"I-itu suara tamu, Ma. Maaf."
"Loh, jadi dari tadi kita teleponan ada tamu? Kenapa nggak bilang?" tanya Ita penuh curiga. "Tapi tunggu ... kamu yakin cuma tamu biasa? Sejak kapan dia di rumah kamu. Enggak mungkin menginap, kan?" Ita terus membombardir putrinya dengan berbagai pertanyaan mencurigakan.
Sungguh, Clara merasa buntu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Dasar Revan sialan!
"Ini bahkan masih pagi banget, Clara."
"Mama jangan salah paham dulu. Temanku lagi joging dan kebetulan lewat depan rumah. Jadi mampir sebentar, deh," balas Clara. Baginya ini jawaban yang paling masuk akal. Ia tidak mungkin jujur mengatakan kalau Revan bermalam di sini, meskipun sekadar tidur di lantai dan terikat tali.
"Oh, pantesan. Kalau nggak salah dengar, tadi dia pengen ke kamar mandi, kan? Ya udah sana, nanti gampang disambung lagi. Lain kali bilang kalau lagi ada tamu."
Clara tertawa palsu. "Oke, Ma. Aku tutup ya."
Setelah sambungan terputus, Clara langsung mendongak untuk menatap Revan yang kini berdiri di hadapannya. Tatapan tajamnya seakan ingin memakan pria itu hidup-hidup.
"Aku cuma pengen numpang ke kamar mandi, nggak ada maksud apa pun," jelas Revan. "Sebentar lagi asistenku datang. Aku pasti langsung pulang, kok."
Clara sangat marah, tapi berusaha menahannya. "Paling lama sepuluh menit. Ah, ralat maksudnya lima menit. Kamu harus cepetan keluar dari sini." Clara kemudian bangun dari duduknya. "Di sana." Ia lalu menunjuk ke arah pintu kamar mandi.
Setelah itu, Clara meninggalkan ruang makan, meninggalkan Revan yang kini mulai bergegas ke kamar mandi. Sambil melangkah, Revan memikirkan sesuatu. Ide brilian yang kemungkinan besar bisa menyelesaikan skandal perselingkuhan Benny. Ya, kali ini firasat Revan sungguh baik.
Seraya menutup pintu kamar mandi, Revan tersenyum. "Aku akan membalikkan keadaan. Jadi, tunggu tanggal mainnya aja, Clara," gumamnya.
BERSAMBUNG....
Selamat malam Minggu. Ini update-nya agak panjang loh :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top