Bab 13

Selamat malam Minggu, jangan lupa kerasukan :D

***

'Jagalah musuhmu agar selalu tetap berada dalam jangkauan'. Ya, itulah yang Revan lakukan sekarang. Ia melakukan hal yang mungkin menurut orang licik dan terkesan gila. Namun, ini ia lakukan demi melindungi WE dan aktornya. Revan berhasil membawa Clara masuk ke dalam perangkapnya dan bisa dipastikan wanita itu tidak akan berani macam-macam lagi.

Sebenarnya hal ini tidak akan terjadi jika saja Clara mau bersepakat dengannya. Namun, karena wanita itu sulit diatur, Revan tidak memiliki pilihan selain mencari cara agar bisa mengendalikan wanita itu. Ia yakin, Clara menyesal setengah mati sudah berurusan dengannya.

Sambil duduk di sofa bersama secangkir kopi yang tersisa setengah, Revan menatap Clara yang masih memejamkan matanya. Ya, Clara masih tertidur menyamping ke arah matahari terbit. Sepertinya sebentar lagi wanita itu akan bangun, pikir Revan.

Benar saja, matahari pagi menerobos masuk pada dinding kaca yang tirainya sudah dibuka. Sinarnya menerpa tepat di wajah Clara yang masih memejamkan mata. Perlahan tapi pasti, hal itu membuat Clara mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia yang semula tertidur nyenyak, kini pelan-pelan membuka matanya.

Hal yang pertama Clara lihat adalah dinding kaca, detik berikutnya ia menyadari begitu asingnya tempat ini. Clara otomatis langsung terperanjat. Ia semakin terkejut saat mengetahui tubuh telanjangnya tertutup selimut.

Wait ... telanjang?!

Clara tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya. Bahkan, bersama Benny pun tidak pernah. Akhirnya ia mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya terjadi tadi malam.

Sampai pada akhirnya, suara berat yang terdengar membuat Clara refleks duduk. Tidak lupa menjaga agar selimut tetap menutupi tubuhnya.

"Sudah bangun rupanya."

Mata Clara spontan membelalak saat melihat Revan sedang duduk di sofa yang ada di kamar itu. Segala ingatan tentang kemarin pun datang bertubi-tubi hingga ia yakin alasan bisa berada di kamar ini adalah ... karena minuman sialan itu. Clara seratus persen yakin kalau Revan sudah mencampurkan sesuatu pada minumannya. Benar-benar pria licik!

"Aku pikir, dengan kamu menjadikanku asisten itu udah cukup gila ... ternyata kamu melakukan hal yang lebih gila. Dasar berengsek!" marah Clara. Ia memperhatikan seluruh pakaian miliknya yang berserakan di lantai dengan perasaan sedih campur emosi. "Ini pemerkosaan!"

Dengan santainya, Revan yang hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggangnya dan bertelanjang dada, berjalan mendekati Clara. Sialnya pria itu terlihat sangat seksi dan ... hot.

Jujur, Clara sedikit gugup. Apalagi saat Revan kini sudah ikut duduk di kasur, sengaja mengambil posisi agar berhadapan dengannya.

"Mana bisa dikatakan pemerkosaan? Kamu bahkan sangat menikmatinya, Clara."

"Apa? Itu konyol."

"Mau bukti? Aku bahkan sengaja mengabadikannya dalam bentuk foto dan video."

"Kamu sungguh bajingan licik! Kamu melakukan ini hanya karena pria seperti Ben?"

"Bukankah aku sudah bilang kalau Ben itu aset berhargaku. Dan ingat ... aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan. Jika kamu menyebarkan foto perselingkuhan Ben, maka aku tidak akan tinggal diam karena sekarang aku punya kartu yang sama berbahayanya denganmu. Seharusnya kita impas, bukan?"

Clara terkekeh, berusaha tidak terintimidasi. "Kalau begitu ... haruskah aku berkata menyesal karena nggak menyebarkannya sejak awal?"

"Whatever."

"Kamu kira aku bodoh?! Jika itu foto dan video kita berdua ... lalu tersebar, bukankah nama baikmu juga tercoreng?"

Revan tertawa ringan. "Tercoreng? Aku hanya mengirimkannya pada keluargamu, Clara. Terutama Mamamu. Jangan heran kalau aku tahu banyak tentangmu. Jangankan alamat orangtuamu, nomor teleponnya saja aku tahu. Haruskah aku kirim videonya via Whatsapp sekarang?"

Air muka Clara mulai berubah. Ia tidak menyangka akan berurusan dengan bajingan gila seperti Revan.

"Untuk apa aku menyebarkannya pada media kalau mengirimkannya pada Tante Ita saja sudah cukup. Ah, benar namanya Tante Ita, kan?"

Tangan kiri Clara memang digunakan untuk memegangi selimut agar menutupi tubuhnya. Namun, tangan kanannya tanpa ragu ia gunakan untuk menampar dengan sangat keras wajah tampan Revan. Tidak, tamparan saja sebenarnya tidak cukup. Haruskah Clara membunuh pria itu sekarang juga?

Revan sempat meringis sejenak, kemudian tertawa puas sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Clara. "Rupanya kamu wanita yang cukup berani. Beruntungnya aku menjadi pria pertama yang bercin—"

Belum sempat Revan melanjutkan ucapannya, Clara sudah siap menampar pria itu untuk kedua kalinya. Hanya saja, kali ini tangan Revan dengan cepat menahannya.

"Dasar pria bodoh!" umpat Clara lagi. "Baik, kamu melakukan ini hanya untuk melindungi tambang emasmu?! Tanpa kamu sadari ... kamu melindungi mereka untuk selingkuh di belakangmu."

"Ya, tujuanku memang untuk melindungi Ben dan selingkuhannya. Bukankah aku sangat baik?"

"Apa kamu pernah bertanya ... siapa wanita yang menjadi selingkuhan Ben?"

Revan terdiam, lalu menggeleng pelan dan balik bertanya, "Apa itu penting?"

"Bodoh!" kata Clara lagi. "Ben selingkuh dengan pacarmu, dan kamu mati-matian melindungi mereka. Ah, mereka pasti tertawa puas di belakangmu dan menganggap kamu sangatlah bodoh."

Revan menegang. Ia berharap salah dengar. Lagi pula, menurutnya Clara tidak tahu-menahu tentang siapa pacarnya. Kenapa lancang sekali berbicara begitu?

Melihat Revan malah melamun, Clara pun bangun. Dengan tubuh yang masih dililit selimut, ia memunguti pakaian-pakaiannya yang berserakan di lantai.

Revan lalu berjalan cepat menghampiri Clara. "Kamu pasti mengada-ngada, kan? Mana mungkin kamu tahu siapa pacarku."

Clara yang sudah memegang lengkap seluruh pakaiannya, kini kembali menghadap Revan. "Ariana Fransisca, bukan?"

Wajah Revan semakin menegang. "Kamu bohong!"

Clara terpaksa mundur karena Revan semakin maju mendekatinya. Ia bisa melihat dengan jelas kalau Revan tengah berusaha menyangkal apa yang baru saja didengarnya.

Tanpa diduga, Revan terus maju sehingga Clara mempercepat gerakan mundurnya. Hanya saja, langkahnya terpaksa berhenti saat kakinya bersentuhan dengan ranjang. Ya, Clara begitu gugup dengan tatapan Revan sehingga tidak menyadari langkah mundurnya tertuju ke arah kasur. Spontan Clara terduduk, masih memegangi selimut dan pakaian yang tadi diambilnya pun sudah kembali jatuh ke lantai.

Revan sedikit menunduk dan mendekatkan wajahnya pada wajah Clara. Kini wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Revan lalu berkata dengan setengah berbisik, "Tarik kata-katamu. Bilang sekarang kalau yang barusan kamu omongin itu bohong."

"A-aku ... nggak bohong," tegas Clara seraya berusaha sedikit menghindar. Ia bahkan bisa mendengar embusan napas pria di hadapannya.

"Aku mau bukti." Ekspresi Revan masih menunjukkan penyangkalan semua ini. Ia tidak mau percaya begitu saja sebelum melihat buktinya. "Please ... kasih lihat ke aku sekarang juga."

"Pertama, kamu mundur dulu," pinta Clara sambil mendorong dada telanjang Revan.

Revan pun akhirnya bangun dari menunduknya. Ia kini berdiri.

"Kedua, aku mau pakai baju dulu. Kamu juga seharusnya pakai baju," sambung Clara.

"Jangan mengulur waktu. Aku mau lihat sekarang juga," balas Revan, tatapannya sudah tidak terbaca lagi. "Sekarang!" tegasnya dengan suara yang mulai meninggi.

"Oke, tapi mana ponselku?"

Revan lalu menoleh ke arah sofa, di mana hand bag Clara berada. Tidak butuh waktu lama, ia mengambilnya dan menyerahkan tas itu pada Clara.

Clara yakin Revan tidak mengotak-atik ponselnya. Ya, jika pria itu berhasil membuka ponselnya, pasti sudah menemukan foto dan video sialan itu dan tahu kebenarannya tentang siapa wanita yang menjadi selingkuhan Benny. Jujur saja, semenjak foto dan video itu diambil seminggu lalu, ia sama sekali belum melihatnya lagi. Clara sangat jijik sehingga tidak berminat melihatnya.

Tangan Clara sedikit gemetar, apalagi saat melihat tatapan Revan seakan hendak mengamuk. Namun, wanita itu berusaha terlihat baik-baik saja.

Sambil membuka kunci pengaman ponselnya, Clara berkata, "Jangan berpikir buat menghapusnya, ya. Lagian aku punya back-up datanya."

"Mana?!" Revan lalu mengambil paksa ponsel di tangan Clara.

Detik berikutnya, tubuh Revan menegang saat melihat foto wanita yang dicintainya tanpa busana dan berada di bawah Benny. Hatinya semakin sakit saat menggeser dan ada videonya. Tidak kuasa lagi menahannya, ia lalu menekan home. Revan tidak ingin melihatnya lagi.

Pria itu terduduk di kasur dengan perasaan campur aduk antara terkejut, marah, kecewa dan tidak menyangka. Kenapa ia tidak mengetahui hal ini? Bisa-bisanya Ariana dan Benny ... ya Tuhan, Revan bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Tatapannya kosong.

"Videonya juga ada. Kalau kamu berani lihat." Clara kemudian mengambil alih ponselnya. "Setelah melihat fotonya langsung ... apa kamu masih bisa bilang kalau mereka hanya menjalani gairah sesaat?"

Revan tidak menjawab.

"Setelah tahu rasanya berada di posisi aku ... kamu nggak bisa bilang begitu lagi, kan?" lanjutnya.

"Diam," ucap Revan dingin.

"Kenapa? Mau bilang ini editan? Masih nggak percaya juga?"

Alih-alih menjawab, Revan malah berdiri dan pergi meninggalkan Clara. Ia bahkan membanting pintu kamar dengan sangat keras.

Melihat itu, Clara hanya bisa mengumpat dalam hati. Ia pun langsung bergegas memunguti pakaiannya. Setelah memastikan pintu kamar itu terkunci, Clara segera memakai kembali pakaiannya.

Sekarang, Clara tidak tahu berada di mana. Namun, ia harus memikirkan bagaimana caranya meninggalkan tempat ini. Secepatnya.

BERSAMBUNG....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top