Bab 9
TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (9)
Selamat membaca! Komenin sama lopein jan lupa, ya! 😁😁😁
Lalu dia menyuap dengan cepat mengingat harus segera menggantikan Bu Ayu menjaga Aira. Bagaimanapun semua makanan itu terasa istimewa, terlebih perhatian dari seorang pria rupawan meski dalam segala keterbatasan. Namun, bukankah yang sempurna hanya milik Allah? Sukma tidak muluk-muluk mengharapkan Imam sesempurna Nabi Muhammad SAW, karena dirinya sendiri pun sadar jika masih sangat jauh dari sosok Sayyidah Khadijah yang mulia.
Usai makan, Sukma menggantikan Bu Ayu. Dia gantian menjaga Aira. Sedangkan Raga duduk terpisah dan tampak sibuk dengan gadgetnya. Sesekali tampak lelaki itu melakukan panggilan.
Pak Bagas dan Pak Agus masih berada di meja makan menemani Bu Ayu menyantap hidangannya. Meskipun di rumah Abah sudah makan, rupanya perjalanan satu jam lebih membuat perut mereka siap kembali untuk diisi. Lagi pula mereka hanya makan sedikit saja untuk menghormati tuan rumah saja.
Usai makan, perjalanan berlanjut. Aira kembali tidak mau lepas dengan Sukma. Selama di saung lesehan tadi, Sukma membacakan cerita anak yang lucu sehingga Aira tertawa-tawa senang. Karena hal itu juga, akhirnya dia tidak mau lepas lagi. Kembali nyaman duduk dalam pelukan Sukma.
“Pak Agus, kita ke tempat fitting pakaian pengantin dulu!” perintah Pak Bagas.
Mobil melaju lambat karena jalanan padat. Sukma menatap rapatnya kendaraan yang biasanya hanya dilihat dari layar kaca.
Selama tinggal di rumah Abah, dia memang tidak pernah ke mana-mana. Paling jauh ke pasar. Jika Sisil jalan dengan teman kuliahnya di kota ke mall, maka Sukma lebih banyak menghabiskan waktunya di toko sembako membantu Bi Esih dan Mang Usman.
Di tempat fitting pakaian pengantin, Bu Ayu sangat bersemangat menunjukkan desain model gaun pengantin yang dipilihnya pada Sukma. Dia menatap calon menantunya itu.
“Sukma, Mama pilihkan yang model berhijab seperti ini kamu gak apa ‘kan? Raga gak mau semua orang bisa menikmati aurat calon istrinya,” ucap Bu Ayu tampak ragu.
Sukma terdiam. Dia merasa malu karena sampai hari ini rencana berhijab baru sekadar niat.
“Iya, Ma … aku juga sebetulnya ingin berhijab, tetapi belum yakin bisa istiqomah,” ucap Sukma sambil menunduk.
“Gak apa, pelan-pelan saja. Namun jika sudah menikah kamu harus taat pada suamimu. Kamu mau ‘kan nanti belajar menutup aurat dengan benar?” bisik Bu Ayu lembut.
Keduanya duduk terpisah dengan yang lain. Pak Bagas dan Pak Agus kebagian mengasuh Aira di luar sana. Sedang beli ice cream katanya. Sementara itu, Raga tengah mencoba jas pengantin di dalam.
“Iya, Ma … Sukma insyaallah mau belajar,” lirih Sukma. Hatinya kembali menghangat mendapatkan perhatian itu. Rasanya ingin memeluk Bu Ayu jika tak malu. Sudah lama hatinya kosong, merindukan sosok Ibu yang penuh kasih yang tak lagi didapatkan.
“Menutup aurat itu bukan hanya untuk para ustadzah … akan tetapi Allah menyampaikan pada semua muslimah yang beriman. Memang keluarga Mama juga bukan orang yang agamis, akan tetapi untuk hal-hal yang wajib sebisa mungkin kami terapkan. Sukma gak keberatan ‘kan?” tanya Bu Ayu lagi lembut. Sukma mengangguk. Hatinya benar-benar dipenuhi rasa syukur dan hari.
“Iya, Ma …,” lirih Sukma.
Gaun pengantin yang dicobanya ada beberapa, semuanya lengkap dengan kerudung. Karena resepsi nanti akan diadakan seharian jadi akan ada beberapa kali sesi ganti pakaian. Setelah menemukan gaun yang pas, mereka menuju mall sebagai tujuan terakhir.
Aira melompat-lompat senang ketika melihat sederet permainan anak. Akan tetapi waktu sudah menjelang sore dan masih ada urusan yang harus dikejar. Kali ini mereka ke tempat perhiasan. Sukma melangkah ragu ketika melihat cincin mewah berjejer pada etalase.
Netranya mengerjap sambil memperhatikan deretan perhiasan yang berkilauan itu. Bahkan kakinya mendadak lemas membayangkan seberapa banyak uang yang harus dikeluarkan. Cincin itu pasti mahal. Seperti yang dilihatnya dalam pertunangan para artis ketika sesekali sempat menonton televisi.
“Pilih yang kamu suka,” titah Raga yang berada di sampingnya.
Sukma menggeleng pelan. Dia terlalu bingung. Jangankan membeli perhiasan seperti itu. Perhiasan emas biasa pun dia hanya punya anting emas seberat satu gram saja satu pasang. Hanya itu, tak ada lagi. Anting yang dibelinya dari hasil tabungan sisa uang jajan waktu sekolah.
Raga menunjuk salah satu pasangan cincin yang tampak anggun dengan hiasan berlian kecil-kecil. Penjaga toko itu mengambilkannya dan menyodorkan pada Raga. Lalu Raga menunjuk salah satunya lagi, ukurannya sedikit berbeda dan motifnya pun beda. Pegawai itu mengambilkan dengan segera.
“Silakan, Pak!” ujarnya sopan.
“Kamu suka yang mana di antara dua ini?” Raga menyodorkan pada Sukma. Ibu Ayu yang memang ikut ke sana, menepuk bahu Sukma yang masih mematung.
“Pilih saja, gak usah mikirn apa-apa. Kamu akan jadi bagian dari keluarga kami. Jangan sungkan,” ucap Bu Ayu.
“Yang ini mungkin, Ma ….” Akhirnya Sukma menunjuk satu set yang Raga tunjuk pertama. Ibu Ayu tersenyum lalu mengambil cincin itu dan memakaikan pada jemari Sukma.
“Yah, gak muat! Gini kalau gak sempat pesan dulu. Cobain yang ini, ya!” ujar Bu Ayu sambil mengambil satu set yang lainnya. Sukma mengangguk saja.
“Ahlamdulilah, Pas ….” Netra Bu Ayu berbinar ketika cincin itu terlihat manis pada jemari Sukma.
“Kamu cobain, Ga!” Bu Ayu mengulurkan cincin itu pada Raga. Namun lelaki itu menggeleng.
“Gak usah, Ma … lelaki kan tidak memakai perhiasan! Nanti juga kusimpan,” ujar Raga.
“Ya kan nanti bisa dibuka, gak lucu kalau pas acara terus cincin kamu gak muat!” Bu Ayu mendelik pada putranya. Raga tersenyum, tipis sekali. Lalu mengambil cincin itu dan memasang pada jemarinya. Ternyata pas juga ukurannya.
“Alhamdulilah! Udah bungkus yang ini, Ga! Mama tinggal dulu, ya Sukma! Nanti cari Mama di counter pakaian Muslimah! Papa sama Pak Agus sudah di sana soalnya,” ujar Bu Ayu sambil menepuk bahu Raga.
“Iya, Ma!” Sukma mengangguk.
“Berapa, Mbak?” Raga menanyakan harga sepasang cincin itu.
“Harganya lima puluh juta, Pak.”
“Ok, bungkus yang ini!”
Netra Sukma membelalak. Apakah tidak salah dengar jika cincin itu seharga lima puluh juta? Setahu dia kalau Ambu atau Sisil beli perhiasan, paling habis lima juta juga sudah dapat yang besar. Ini cincin ukurannya minimalis tetapi harganya bagi Sukma sangat fantastis.
“Kalung sama gelang untuk seserahan nanti, Mama sudah beli. Ini untuk cincin saja karena takut gak pas kalau gak dicoba,” ucap Raga. Dia tak tahu kalau calon istrinya masih menganga.
Sukma mengangguk sambil dalam hatinya beristighfar. Dirinya semakin merasa kecil. Sebetulnya seperti apa sosok keluarga calon suaminya ini? Selama ini Abah tidak pernah bercerita tentang kehidupan Pak Bagas. Hanya bilang mereka wirausaha dan berteman sejak muda.
Setelah itu, Sukma diajak membeli berbagai Pernik perempuan oleh Bu Ayu. Beberapa set pakaian muslimah, pakaian tidur, pakaian santai. Lalu pergi ke toko sepatu dan sandal. Bu Ayu dengan bersemangat membelikan semua kebutuhan Sukma. Bahkan para kaum Bapak sudah menyerah dan menunggu di mobil pada akhirnya.
Usai maghrib, mobil yang mereka tumpangi keluar dari mall. Membeli makanan cepat saji dan makan di food court di area mall lebih memangkas waktu. Kali ini mobil langsung menuju Kembali ke kediaman Sukma. Tadinya Pak Bagas hendak mengajak Sukma ke rumah, tetapi Bu Ayu tidak setuju takutnya nanti jadi fitnah katanya.
Mobil yang ditumpangi tiba di kediaman Sukma menjelang isya. Hanya Bu Ayu yang mengantar ke dalam dan membawakan sekian banyak paper bag dengan barang-barang ternama.
“Assalamu’alaikum!” Sukma mengucap salam sambil mendorong pintu rumah.
“Wa’alaikumsalam!” jawab serempak yang ada di ruang tengah. Ada Ambu, Abah dan Sisil yang sedang menonton televisi.
“Alhamdulilah sudah pulang.” Abah menatap lega begitupun Ambu.
“Iya, maaf agak lama pinjam Sukmanya.” Bu Ayu menggangguk pada calon besannya. Lalu menyerahkan semua barang belanjaan milik Sukma.
“Saya langsung pulang ya, Mbak Amijah, Mas Yusman! Soalnya Aira sudah ngantuk banget!” ucap Bu Ayu seraya undur diri.
Abah dan Ambu mengangguk. Sementara itu, netra Sisil menatap sinis pada semua paper bag yang kini Sukma tenteng dan bawa masuk ke dalam kamarnya.
“Bu, aku mau ke Sukma dulu!” ujar Sisil sambil membuntuti Sukma ke kamarnya. Wajahnya tampak ketus dan tidak bersahabat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top