BAB 7
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
Kita tidak mungkin menghindar dari apa yang sudah seharusnya dihadapi. Kalaupun harus bertemu dengan sebuah kegagalan, setidaknya itu menjadi pembelajaran dan bahan evaluasi yang sangat berharga. Barangkali kita membutuhkan pengalaman pahit untuk membuat pengalaman selanjutnya yang lebih baik.
***
Seorang gadis bercadar mengantar Aini ke sebuah rumah sederhana berwarna putih. Aini tak berani untuk memulai pembicaraan dengan gadis itu. Gadis itu terlihat sangat serius dan fokus.
"Silakan masuk, Ukh. Untuk saat ini, mungkin Ukhti tinggal sendiri dulu. Barangkali nanti ada pengajar baru, ia bisa tinggal bersama Ukhti di rumah ini," ucap gadis bercadar itu sambil mengangguk. "Oh iya, nama saya Khadijah. Kalau Ukhti namanya siapa?"
Aini tersenyum kepada Khadijah. "Oh, iya. Terima kasih banyak ya, sebelumnya. Nama saya Aini, Ustadzah."
Khadijah menggelengkan kepalanya. "Tidak, Ukh. Panggil saya Khadijah saja, ya."
"Lho, kenapa?"
"Tidak apa-apa. Kita seumuran, kok."
Aini mengangguk sambil tersenyum. Malu sekali dirinya yang masih berpenampilan seperti itu dipanggil 'Ukhti'.
Tak lama setelah itu, Khadijah izin pamit untuk melanjutkan mengajar di pesantren. Kini, tinggal Aini seorang. Ia mulai memasuki rumah yang disediakan untuknya. Sedih sekali, dia harus tinggal sendiri di rumah yang tidak terlalu kecil ini
Baru saja satu langkah Aini memasuki rumah itu, tiba-tiba ponselnya bergetar, tanda bahwa ada panggilan masuk. Aini melihat sekilas ke arah ponselnya. Nomor tidak dikenal. Awalnya ia ragu dan berniat untuk mengabaikan, tapi akhirnya Aini mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum," ucap seseorang di sebrang sana.
"Ini dengan siapa, ya?" Tanya Aini.
"Menjawab salam itu wajib. Boleh dijawab dulu, salamnya?"
Aini mengernyitkan dahinya, kemudian menjawab, "Wa'alaikumussalam."
"Maa Syaa Allah. Anda saya tunggu di Panti Asuhan Al-Hafidz, sekarang juga, ya!"
Aini membulatkan matanya sempurna. Baru saja dia masuk ke dalam rumah, sudah disuruh untuk pergi lagi. Kini Aini sadar, bahwa yang menghubunginya itu adalah Manaf.
"Sekarang?" Tanya Aini dengan nada yang cukup tinggi.
"Iya, segera ya. Saya tunggu sekarang juga! Assalamu'alaikum."
Setelah itu, panggilan tiba-tiba terputus.
Aini menyimpan koper dan barang-barang bawaan yang lainnya ke dalam sebuah kamar yang tersedia. Kemudian setelah itu Aini pergi lagi.
***
Manaf menunggu Aini di depan panti asuhan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Sudah hampir lima belas menit ia menunggu. Sudah beberapa kali juga ia melihat jam tangannya. Padahal, jarak dari rumah yang disediakan untuk Aini menuju tidak terlalu jauh dan paling hanya membutuhkan waktu lima menit saja, paling lama.
Di sisi lain, Aini justru lupa arah menuju panti. Komplek perumahan di sana membuat Aini bingung. Alhasil, Aini malah berputar-putar, mengelilingi komplek. Berjalan dari satu rumah, hingga kembali lagi di rumah yang sama. Aini ingin menyerah. Dia merasa kelimpungan untuk mencari panti asuhan yang sebenarnya masih berada di komplek itu. Ia menyesal, tidak menghafal jalannya.
Aini tetap melanjutkan perjalanannya. Namun, kini ia sudah hampir sampai di gerbang masuk perumahan. Ia menghentikan langkahnya. Tidak, dia bukan ingin pergi dari yayasan Al-Hafidz. Namun, lebih tepatnya ia tersesat, hingga sampailah di depan gerbang masuk lingkungan Al-Hafidz.
Tiba-tiba seseorang menubruk Aini dari belakang, sampai ia terjatuh ke atas tanah yang diaspal. Aini meringis kesakitan. Seorang anak lelaki yang menubruknya tidak membantu. Anak itu malah tetap berlari menuju ke luar gerbang komplek perumahan.
"Ish, itu anak-anak nggak bertanggung jawab banget. Aduh, mana sakit banget," gerutu Aini.
Aini mengangkat kedua telapak tangan, dan dilihatnya cairan berwarna merah keluar dari kulit kedua telapak tangannya, sebab mengenai batu-batu kecil. Aini meringis kesakitan. Belum lagi kedua lututnya yang sama sakitnya, membuat ia berjalan dengan pincang.
Aini memutar balikkan arah. Dia berniat untuk kembali ke rumahnya, dan segera mengabari Manaf bahwa dia baru saja terjatuh dan berdarah.
Langkahnya yang lambat, menakdirkan Aini bertemu dengan Manaf di perjalanan menuju rumahnya.
"Anda dari mana saja? Saya sudah menunggu lama di depan panti sana!" ucap Manaf dengan nada kekecewaan.
"Mohon maaf, saya tidak tahu arah ke panti. Akhirnya, saya kesasar sampai sini. Mohon maaf juga, tadi ada yang menubruk saya dari belakang, sampai saya terjatuh di sana," ucap Aini sambil menunjuk ke arah tempat dirinya terjatuh.
"Innalillahi. Tapi anda tidak kenapa-napa?"
Aini mendelikkan matanya. "Ya jelas, saya kenapa-napa. Dua telapak tangan saya berdarah, dan mungkin kedua lutut saya juga sama, terluka."
"Ya sudah, kita bareng ke panti, ya. Di sana anda bersihkan lukanya dan obati," ucap Manaf yang lantas berjalan dan memberi Aini kode untuk mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di Panti Asuhan Al-Hafidz, Aini disambut khawatir oleh beberapa anak perempuan. Anak-anak itu mengajak Aini masuk, juga membantunya membersihkan dan mengobati luka Aini.
"Ustadz Manaf, Kak Hasan tidak ada di mana-mana," ucap seorang gadis kecil bernama Hasna.
Aini masih ingat gadis kecil itu. Ya, anak itu yang meminta izin untuk memeluknya di pertemuan kemarin.
Manaf membulatkan matanya, dia terkejut hebat.
"Yang betul, Hasna? Sudah dicari ke seluruh tempat di panti, belum?" Tanya Manaf dengan nada suara yang terdengar panik.
"Sudah, tapi tidak ada, Ustadz," jawab Hasna sambil menunduk, penuh kekecewaan.
"Oh, iya. Kami juga sudah berpencar mencari di komplek ini, tapi katanya tidak ada, Ustadz." Kali ini yang memberikan info adalah gadis yang usianya sedikit lebih tua daripada Hasna.
"Yaassalaam. Ke mana lagi ya, Hasan ini." Manaf menghembuskan nafasnya kasar.
Mendengar pembicaraan mereka, membuat Aini teringat pada anak lelaki yang menubruknya tadi.
"Hasan itu yang bertubuh ramping dengan rambut ikal, bukan?" Tanya Aini.
Manaf menoleh ke arah Aini. "Ya, betul. Anda melihatnya?"
Aini mengangguk pelan. "Dia yang tadi menubruk saya. Dia terlihat buru-buru dan berlari dengan cepat, menuju keluar komplek."
Arkan semakin terkejut. "Astaghfirullahal'adziim, Hasan. Saya harus segera mencari dia."
"Mencari ke mana?" Tanya Aini.
"Ke manapun," jawab Manaf dengan raut wajah yang terlihat gelisah.
Hasna yang saat itu tengah duduk di samping Aini justru malah menangis saat mengetahui Hasan, kakaknya, melarikan diri dari panti.
"Hasna kenapa menangis?" Aini beralih menatap Hasna yang menangis di samping kirinya. Ia memeluk Hasna.
"Hasna gak mau tinggal di panti sendirian. Hasna mau sama Kak Hasan," ucap Hasna sambil menangis sesenggukan.
Air mata Hasna tak berhenti mengalir di kedua pipinya. Wajah mungilnya memerah.
"Saya titip anak-anak panti pada anda. Ummi Hawa kebetulan sedang pergi bersama Ustadz Bilal. Saya harus segera pergi mencari Hasan!" ucap Manaf yang lantas bangkit dari duduknya.
"Sekarang?" Tanya Aini, meyakinkan Manaf.
Manaf mengembuskan nafasnya. "Mereka semua yang ada di sini adalah anak-anak saya. Saya bertanggungjawab atas mereka. Termasuk Hasan, meskipun dia baru berada di panti ini. Saya tidak akan pernah memaafkan diri saya sendiri jika Hasan tidak ketemu!"
Manaf kemudian segera memakai jaket yang berada di atas kursi dan mengambil kunci motor di dalam sebuah laci. "Doakan Ustadz ya, anak-anak. Semoga Hasan bisa segera ketemu," ucap Manaf pada anak-anak yang berada di ruang tamu panti asuhan.
"Oh, iya. Jangan lupa masak untuk makan siang anak-anak panti, ya. Saya berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Begitulah pesan Manaf kepada Aini sebelum pergi untuk mencari Hasan.
Saat anak-anak yang lain menjawab salam dari Manaf, Aini justru malah terdiam. Bagaimana bisa Manaf mengamanahkannya untuk menyiapkan makan siang anak-anak?
Jika hanya menitipkan, itu bukan masalah bagi Aini. Tapi berbeda ceritanya jika berhubungan dengan dapur. Ya, Aini tidak bisa memasak.
Aini menggelengkan kepalanya sambil menutup mata. Dia jadi teringat kejadian beberapa minggu lalu di rumah temannya. Hampir saja dapur di rumah temannya hangus terbakar disebabkan oleh dirinya. Bagaimana jika hal tersebut terjadi lagi? Di panti asuhan?
Aini ingin menangis dan melarikan diri saat itu juga.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#08/04-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top