BAB 6
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
"Entahlah, aku merasa begitu berat untuk memulai semua kebaikan ini. Aku merasa tak mampu dan ingin memilih untuk menghindar saja. Namun, mana mungkin aku menyerah, sedangkan aku sudah diberi kesempatan untuk menjadi lebih baik?"
~Aini Shafiyyah
***
"Future Frame kalau diartikan itu bingkai masa depan. Kafe ini punya nama yang bagus. Pasti ada makna yang bagus juga di dalamnya. Betapa masa depan itu rahasia, tidak ada yang mengetahui selain Allah. Dalam sebuah pertemuan, mustahil jika tidak ada perpisahan," ucap Alif tiba-tiba terhenti.
Awalnya Aini bingung, tapi beberapa detik kemudian dia mulai paham ke mana arah bicara Alif.
"Maksud Bang Alif, apa?" Tanya Aini, menuntut penjelasan dari Alif.
"Saya mau pergi."
Mata Aini tertuju pada Alif. "Pergi ke mana, Bang?"
"Ke luar negeri. Saya mau pindah ke sana mulai bulan depan, mencari pengalaman baru, dan mungkin tidak akan kembali lagi ke sini."
Aini menatap Alif tidak percaya. "Lha, terus, kuliah Abang gimana di sini?"
"Ya, diputuskan."
"Banyak yang belum kamu ketahui tentang saya. Ayah saya bekerja di perusahaan konstruksi, Arab Saudi. Di sana, beliau tinggal bersama paman saya. Saya dan Ibu saya berniat pindah dan tinggal di sana bulan depan."
Aini terdiam. Pantas saja Alif mengajaknya untuk quality time, ternyata memang Alif hendak pergi meninggalkannya.
"Oh, ya udah," ucap Aini, seolah menyiratkan kekecewaan.
"Tidak apa-apa, kan?" Tanya Alif, memastikan.
Aini menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak apa-apa, kok, Bang. Makasih banyak ya, buat semuanya."
Pertemuan yang begitu singkat bagi Aini. Kini, ketika ia mulai merasa nyaman, semuanya harus diakhiri. Pun dengan Alif, dia merasakan hal yang sama.
"Terima kasih juga. Saya senang bisa kenal sama kamu, Aini."
Ada ujaran kekecewaan di dalam hati Aini. Katanya, Alif jahat. Selama ini, Alif sudah menjadi tempat paling nyaman bagi Aini untuk berkeluh kesah. Seringkali pula Alif memberi nasehat dan solusi yang membangun bagi Aini.
"Kenapa harus menciptakan quality time ini, Bang?"
"Saya tidak mau menjadikan perpisahan sebagai hal yang menyedihkan. Setelah ini kamu akan tinggal di lingkungan yang baik, kamu harus fokus di sana, sedangkan saya mempersiapkan semuanya untuk perpindahan ke luar negri. Bahagialah dengan quality time ini, Aini, jangan bersedih."
Kata-kata seperti itu justru membuat Aini sedih. Setelah ini, mungkin tidak akan ada lagi yang mengerti perasaannya jika ia mendapatkan permasalahan di kampus.
"Bagaimana bisa aku bahagia dengan sebuah perpisahan, Bang? Kenapa perpisahannya harus seindah ini? Aku ngerasa, kita sudah sedekat ini dan aku nyaman. Bagaimana bisa aku lupa?" Tanya Aini dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
"Sebab saya tidak akan pernah melupakan kebersamaan ini. Dan saya tidak ingin kamu lupa pada saya."
Mendengar itu Aini tertegun, air mata itu akhirnya mengalir juga di pipinya.
"Mau tidak mau, aku harus lupa, Bang. Abang nggak mungkin kembali lagi ke sini, kan?"
"Selama satu bulan yang tersisa ini, kita masih bisa ketemu, kok, Aini."
Angin berhembus kencang saat itu. Mereka mengakhiri quality time dengan suasana yang begitu sedih. Tidak ada sepatah katapun yang terucap dari keduanya ketika perjalanan pulang. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Alif merasa bersalah. Kalaupun bisa, ia sudah pasti memilih tetap di sana dan tidak pergi ke Saudi. Namun, keputusannya sudah bulat untuk pindah.
Aini, adalah nama yang tidak akan pernah ia lupakan sampai kapanpun.
***
Pagi-pagi sekali, Manaf sudah terlihat sibuk di kantor Yayasan Al-Hafidz. Matanya sedari tadi begitu fokus menatap layar laptop yang ada di hadapannya. Seharusnya, dari kemarin malam dia menyelesaikan itu, tapi karena tak kuasa menahan kantuk, akhirnya tugas itu tidak terselesaikan.
Tak lama setelah itu, seorang gadis berpakaian serba hitam dan tertutup masuk ke dalam kantor yayasan. Dirinya tidak tahu bahwa di dalam sana ada Manaf. Gadis itu menghampiri loker yang berada di samping ruangan Manaf.
Fokus Manaf tiba-tiba terusik. Dia menoleh ke arah gadis bercadar itu. Dua sudut bibirnya tertarik, dia tersenyum tipis.
"Ada yang bisa saya bantu, Ustadzah?" Tanya Manaf saat melihat gadis itu kebingungan mencari sesuatu.
Gadis yang mengira di dalam kantor tidak ada siapapun itu terperanjat kaget. Astaghfirullahal'adziim, batinnya sambil mengusap dada.
"Ustadzah Khadijah, ya?" Tanya Manaf, untuk memastikan bahwa gadis yang dipanggilnya itu adalah Khadijah.
Gadis itu tak merespon sedikitpun pertanyaan dari Manaf, dia tetap fokus untuk mencari sesuatu yang menjadi alasannya datang ke kantor yayasan.
"Apa yang sedang kamu cari?" Tanya Manaf.
Gadis yang dipanggil Khadijah itu terdiam sejenak sambil memejamkan matanya. Dia tidak terbiasa berinteraksi dengan laki-laki.
"Format penilaian tahsin Al-Quran," jawab Khadijah dengan suara yang begitu pelan.
Manaf malah terkekeh, kemudian berkata, "Oh, kalau itu tidak ada di dalam loker manapun."
Khadijah terdiam.
"Ada di lobi. Lebih tepatnya ada di atas meja," ucap Manaf.
"Baik, terima kasih. Jazakallahu khairan."
Khadijah segera mengambil format itu dan kemudian pergi.
Di sisi lain, Manaf hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu.
"Kalau belum siap, berpuasalah, Manaf." Seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunan Manaf. Ternyata itu adalah Ustadz Bilal yang sedari tadi memperhatikan Manaf.
Manaf tersenyum kikuk. "E-eh, Ustadz Bilal."
Arkan segera memfokuskan dirinya kembali pada layar laptop.
"Hari ini, akan ada orang baru yang bergabung di Al-Hafidz. In Syaa Allah, dia akan membantu di sini dan fokusnya lebih ke pendidikan anak-anak di panti asuhan," ucap Ustadz Bilal, mengalihkan pembicaraan.
"Alhamdulillah kalau begitu, Ustadz."
"Saya minta tolong kamu arahkan dia. Di sini, yang paham dan kenal panti asuhan Al-Hafidz hanya kamu. Jadi, mohon diarahkan segala sesuatunya."
"Baik, In Syaa Allah, Ustadz."
Yayasan Al-Hafidz memang kekurangan SDM, khususnya di bagian panti. Ustadz dan ustadzah yang ada rata-rata sudah padat ditugaskan di pesantren dan di RTQ (Rumah Tahfidz Quran). Maka dari itu, Manaf adalah satu-satunya pengajar yang terpaksa dimintai keikhlasannya untuk membagi waktu mengajarnya di pesantren sambil mengurus panti.
Bagi orang yang menyukai anak-anak seperti Manaf, itu bukanlah masalah. Terlebih, anak-anak yang diamanahi kepadanya adalah anak-anak yatim piatu yang ditinggal oleh orang tuanya. Dengan senang hati, selama ini Manaf harus bekerja lebih banyak daripada pengajar-pengajar yang lainnya.
Tak lama setelah itu, datanglah sebuah mobil sedan berwarna hitam parkir di depan kantor yayasan. Hal tersebut membuat Ustadz Bilal dan Manaf penasaran. Mereka berdua menghampiri mobil itu.
Seorang gadis dengan gaya berpakaian khas itu sangat dikenali oleh Manaf. Ia menautkan kedua dahinya. Dalam hatinya berpikir, bahwa seseorang yang dimaksud Ustadz Bilal untuk mengajar anak-anak panti itu adalah Aini. Ya, gadis itu adalah Aini. Aini ternyata tidak datang sendiri, tetapi bersama kedua orang tuanya yang menyempatkan waktu dari luar kota untuk mengantar Aini.
"Assalamu'alaikum, Ustadz." Yang mengucapkan salam ini adalah Ibunya Aini.
Mereka bertiga menghampiri Ustadz Bilal yang saat itu tengah berdiri di depan pintu kantor yayasan. Ia tersenyum ramah, menyambut kedatangan Aini dan keluarganya.
"Wa'alaikumussalam warrahmatullahi wabarakaatuh. Mari masuk, Pak, Bu, Aini," ucap Ustadz Bilal, mempersilakan.
Mereka semua masuk dan duduk di lobi, kemudian memperbincangkan beberapa hal.
Manaf yang saat itu duduk di samping Ustadz Bilal sesekali melirik ke arah Aini yang terlihat sangat serius. Setelah ini, mungkin Ustadz Bilal akan menyuruhnya untuk membantu Aini memperbaiki penampilannya.
"Nanti, Ustadz Manaf ini yang akan mengarahkan kamu segala sesuatunya, ya," ucap Ustadz Bilal sambil menunjuk ke arah Manaf.
Mata Aini membulat sempurna. Sebenarnya, dia tidak suka dengan keberadaan Manaf. Entahlah, dia merasa tidak nyaman saja. Terlebih, sebelumnya memang mereka pernah bertemu.
Manaf mengangguk dan tersenyum ramah ke arah ayah dan ibunya Aini.
"Semoga dimudahkan semuanya, ya. Mohon maaf sebelumnya, Ustadz. Kami ini bukan berasal dari keluarga yang paham tentang agama. Aini juga cerita, dia sempat terkejut ditempatkan di sini," ucap Rara, Ibunya Aini.
"Saya izin berbicara ya, Ustadz, Pak, Bu," ucap Manaf meminta izin terlebih dulu kepada semua, khususnya kepada Ustadz Bilal. "Di sini adalah lingkungan yang baik. Anak Ummi akan dikelilingi oleh kegiatan dan banyak hal baik di sini. Tidak peduli bagaimanapun latar belakang keluarganya. Selain mengajar, Aini ini pasti akan mendapatkan banyak ilmu dan pelajaran di sini, In Syaa Allah," lanjut Arkan.
Aini menunduk.
Mah, Pah, aku mau ikut pulang ke rumah aja. Aku mau liburaan, batin Aini. Ingin sekali dirinya menangis, tidak ingin ditinggal kedua orang tua, dan ingin merasakan liburan semester seperti teman-temannya yang lain.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#06/04-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top