BAB 5
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
"Pengorbanan terkadang terasa begitu menyakitkan. Merelakan rindu tak terobati, demi sebuah perjuangan yang belum usai. Merasa menjadi manusia paling menderita, padahal bahagia bisa diciptakan. "
"Masih punya rasa percaya diri ya, kamu datang ke sini dalam keadaan ingkar terhadap janji pertemuan yang sudah saya tetapkan," ucap seseorang yang sangat tidak ingin Aini temui hari ini, besok, dan selamanya.
Aini mencoba untuk mengatur nafasnya yang tidak beraturan. Di dalam hatinya sudah panas dan penuh oleh amarah.
Aini berbalik dan berniat untuk pergi meninggalkan ruangan Pak Faisal. Yang ia tangkap, Pak Faisal sudah tidak menerima lagi kedatangannya.
"Siapa yang menyuruh kamu pergi?" Nada suara Faisal terdengar tinggi. "Berbalik lagi, dan duduk di depan saya!" lanjutnya.
Aini membalikkan badannya kembali sambil mendelikkan matanya malas. Dengan sangat terpaksa, dia menghampiri kursi yang tersedia dan duduk di sana.
"Kenapa kamu memiliki pikiran bahwa saya adalah orang yang paling menyebalkan di dunia ini?" Tanya Faisal pada Aini. "Karena itu adalah ulah kamu sendiri, Aini. Sikapmu, perilakumu, dan pikiranmu tentang saya selalu negatif. Cobalah, memandang dari sisi yang positif. Seorang mahasiswa sudah tidak layak lagi mengeluh dengan banyaknya tugas dan perintah dari dosen. Pikirannya sudah lebih kritis, lebih dewasa. Di otaknya sudah bukan lagi tentang mengeluh, tapi tentang bagaimana caranya bisa menyelesaikan itu semua!"
Aini hanya terdiam sambil menunduk. Ia merutuki dirinya sendiri. Biar bagaimanapun, apa yang dikatakan Faisal itu benar.
"Silakan kamu tinggal dan bergabung di Yayasan Al-Hafidz, selama liburan semester ini."
Aini membulatkan matanya sempurna dan lantas menatap tajam Faisal. Baru saja semalaman penuh ia merapikan kamar kos, sebab rencananya hari ini juga dia akan pulang. Faisal seolah tengah menghancurkan impian besarnya untuk pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarga.
"Full, liburan semester?"
Faisal mengangguk. "Ya, betul. Lakukan observasi dan mengabdilah di sana. Selama liburan semester ini. Manfaatkan waktu tersebut. Nanti akan saya sidang, setelahnya," ucapnya.
Aini tidak terima dengan itu.
"Bapak ini, apa-apaan, sih? Saya punya kesalahan apa pada Bapak? Sampai Bapak membedakan saya dari teman-teman yang lainnya. Saya mohon, Pak. Saya mau pulang ke rumah, saya juga mau liburan. Saya tidak mau menyiksa keluarga saya dengan kerinduan!"
Faisal terkekeh. "Jelas kamu punya kesalahan pada saya. Kamu tidak ingin kan, di semester yang akan datang bertemu lagi dengan saya?"
Aini menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Makannya kerjakan tugas dari saya ini."
"Kok, begitu, Pak?" Aini masih tidak terima dan menuntut penjelasan sejelas mungkin.
"Kamu kira, setelah UAS selesai, semuanya sudah selesai? Untuk teman-teman kamu yang bersungguh-sungguh, tentu sudah selesai. Tapi untuk kamu, masih belum selesai. Lihatlah total nilai kamu di mata kuliah saya. Untuk meluluskanmu saja saya tidak mau, karena kamu tidak pantas lulus di mata kuliah saya!"
Aini tertegun. Kini, ia paham mengapa Faisal menugaskannya. Dia sadar, selama satu semester bersama Faisal, dia tidak pernah serius. Bahkan sering beralasan tidak masuk, karena tidak mau bertemu dengan Faisal.
"Kamu mau kan, melihat orang-orang sukses itu terbentuk dari pendidikan yang kamu berikan?"
Aini mengangguk pelan.
"Kamu akan disiapkan tempat tinggal di sana. Tinggal persiapkan dirimu dan rencanamu untuk di sana. Jangan menjadi guru yang gagal. Namun, berusahalah untuk memaksimalkan apa yang kamu miliki, apa yang kamu mampu, dan apa yang kamu bisa. Kamu adalah pendidik bagi anak-anak yang akan tumbuh menjadi penerus bangsa. Saya percaya sama kamu, dan saya yakin kamu mampu!"
Aini masih terdiam. Mendengar perkataan Faisal yang kali ini lebih inspiratif, membuat Aini merasa lebih nyaman. Tidak seperti biasanya. Aini lebih suka Faisal yang seperti ini, yang mendukungnya, bukan yang so-so'an seperti biasanya.
"Baik, Pak."
"Saya itu sebenarnya baik. Saya sedang berusaha untuk memperbaiki nilai kamu yang ancur di mata kuliah saya. Saya paham, mungkin kamu tidak pandai dalam menghafal secara teori. Dan mungkin kamu cepat bosan, bahkan tidak suka dengan materi. Tapi yang saya lihat, kamu punya skill dalam mengajar dan menjadi seorang pendidik. Do your best!"
Apa yang Faisal katakan benar.
"Terima kasih banyak, Pak, atas arahannya."
"Kamu pasti datang ke sini bersama Alif, ya?" Tanya Faisal.
Aini mengangguk pelan. "Iya, Pak."
"Sebentar lagi LDR-an, dong?"
Aini mengernyitkan dahinya bingung. "Maksudnya, bagaimana, Pak?"
"Segera siap-siap. Besok kamu harus sudah ada di sana!"
Sudah dibuat penasaran, tapi akhirnya tidak diberi penjelasan. Sungguh, itu adalah hutang yang harus Faisal bayar. Namun, daripada menuntut penjelasan dari Faisal, lebih baik ia bertanya langsung pada Alif.
***
Aini menghampiri Alif dengan raut wajah yang begitu lesu. Melihat itu, tentu saja membuat Alif khawatir.
"Kenapa?" Tanya Alif.
Aini mengerucutkan bibirnya. "Bang Alif mau ke mana?"
Alif mengernyitkan dahinya bingung. "Lho, emangnya saya mau ke mana?"
"Bang Alif mau pergi jauh, ya?" Tanya Aini sambil menunjuk ke arah Alif.
Alif hanya tersenyum tipis dan terdiam. Tak sedikitpun berniat untuk menjawab pertanyaan Aini.
"Oh iya, gimana tadi? Ada lagi, kah, yang Pak Faisal tugaskan ke kamu?" Tanya Alif, mengalihkan topic pembicaraan.
"Aku disuruh tinggal di komplek Al-Hafidz. Di sana, aku ditugasin buat observasi dan mengabdi. Bayangkan, Bang, selama liburan semester penuh aku harus ngabdi di sana. Tadinya kan, aku mau pulang ke rumah hari ini. Pak Faisal nggak ngerti banget sih, keadaan aku," keluh Aini.
"Kita Quality Time, yuk! Sebelum kamu pindah dan ngabdi di sana," ajak Alif.
Mata Aini berbinar. "Ayoo! Mau ke mana kita?"
"Tempatnya rahasia. Ayo, naik!"
Alif benar-benar membuat Aini penasaran. Tanpa berpikir panjang, Aini naik ke motor dan kemudian menikmati perjalanan bersama Alif menuju tempat yang tidak ia ketahui.
Di kota yang menurut Aini masih asing itu, tidak banyak tempat yang pernah dikunjunginya. Sampai saat ini, hanya perjalanan menuju kampus saja yang benar-benar dirinya hafal.
Kali ini dia menemukan perjalanan yang baru. Setelah beberapa belas menit melewati jalanan kota yang ramai oleh kendaraan, kini mereka memasuki jalanan dengan suasana yang alami dan asri. Di sana, Aini merasa mampu untuk menghirup udara yang segar.
Di sebelah kanan, pepohonan menjulang tinggi. Sedangkan di sebelah kirinya, pesawahan terhampar begitu luasnya. Masyarakat sekitar beraktivitas dan bercengkrama satu sama lain, meski hanya saling bertukar senyum. Sungguh, pemandangan dan suasana yang indah.
Tak lama setelah itu, motor yang dikendarai oleh Alif berhenti di depan sebuah kafe yang didesign sederhana tapi menarik. Di atas pintu kafé tersebut tertulis, "Future Frame Café & Park". Sebuah nama yang benar-benar membuat Aini kagum.
Mereka berdua memasuki kafé tersebut. Di luar dugaan, Aini kira itu indoor, ternyata outdoor. Bukan sebuah ruangan tertutup yang mereka masuki, tapi ruangan terbuka yang dikonsep sebagai tempat ngopi dan makan. Di setiap penjuru ada hiasan dari tanaman dan bunga, membuat nyaman setiap pengunjung yang datang.
Alif mengajak Aini untuk duduk di bangku ujung kafe. Di sana, mereka akan disajikan pemandangan, yaitu pegunungan dan langit yang indah.
"Keren banget tempatnya, Bang!"
Aini masih terkagum-kagum dengan tempat yang dikunjunginya hari ini.
Sebenarnya, ada hal yang akan Alif sampaikan kepada Aini. Hal penting, yang mungkin saja akan membuat Aini kecewa, dan mungkin saja sedih. Entahlah.
Mereka memesan makanan dan minuman untuk mengisi perut mereka yang sebelumnya kosong. Dengan lahap, Aini menghabiskan makanan yang dipesannya sambil menikmati hembusan angin yang lembut.
"Makasih banyak ya, Bang!"
Alif tersentyum tipis sambil menatap Aini sekilas. Wajah Alif yang mudah ditebak menyiratkan kesedihan.
"Bang Alif kenapa?"
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#05/04-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top