BAB 4

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)

Happy Reading:)

***

"Sampai bertemu lagi, Bu Ainii!!" teriak anak-anak panti mengiringi pulangnya Aini.

Aini melambaikan tangannya pada mereka.

Ummi Hawa mengucapkan terima kasih banyak sebab hari itu Aini sudah bersedia menemani anak-anak belajar.

"Pulang sama siapa, Nak?" Tanya Ummi Hawa.

"Eum, sepertinya saya dijemput temen, Mi."

"Tidak apa-apa, kah, Ummi tinggal? Ummi mau menyiapkan makan siang untuk anak-anak panti asuhan, karena kebetulan yang suka masak di panti sedang izin di pekan ini."

"Oh, iya. Gapapa, Mi. Terima kasih banyak, ya. Hari ini saya dapat banyak sekali pelajaran dari Ustadz, Ummi, dan tentunya anak-anak semua."

Aini mencium tangan Ummi Hawa.

"Ummi harap, suatu saat kamu bisa menjadi bagian dari yayasan ini. Semangat kuliahnya, Nak. Ummi pamit duluan. Wassalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakaatuh."

"Wa'alaikumussalam."

Aini tersenyum sepeninggalan Ummi Hawa. Setelah itu, Aini segera menghubungi Alif untuk menjemputnya di tempat yang sama seperti tadi mengantarnya. Sudah beberapa kali Aini menghubungi, tapi Alif tak kunjung menerima panggilannya. WhatsApp Alif tidak aktif.

"Ini ransel anda, bukan?"

Seseorang membuat Aini terperanjat kaget hingga membuatnya menoleh reflek ke arah sumber suara.

Kening Aini mengerut sambil melihat ke arah ransel yang lelaki bernama Manaf itu tunjukkan. Itu adalah tas miliknya, yang sedari tadi ia cari sampai marah-marah tidak jelas. Ditambah lagi mendapat perintah tidak berkenan di hati oleh dosennya.

"Anda mencuri?" Tanya Aini sambil mengambil alih ranselnya dari tangan Manaf.

"Kalau saya mencuri, tidak mungkin saya kembalikan tas anda ini. Kalau saya pencuri, sudah pasti di dalamnya ada yang hilang. Silakan saja periksa terlebih dahulu isinya," ucap Manaf dengan wajah dinginnya.

Aini memeriksa bagian dalam ranselnya. Tidak ada barang yang terlalu penting, tapi tetap saja isinya sangat ia butuhkan. Tidak ada yang hilang. Manaf sudah berbaik hati mengembalikan ranselnya.

"Terima kasih banyak. Mohon maaf sudah menuduh dan merepotkan anda, sebelumnya," ucap Aini sambil menunduk malu.

"Anda suka anak-anak?" Tanya Manaf, mengalihkan pembicaraan.

"Suka," jawab Aini.

"Bagus, kalau begitu."

"Bagus bagaimana, maksudnya?"

"Ya, bagus. Jiwa keibuannya sudah terlihat. Tinggal dukurangi saja kecerobohan dan sikap suka mengeluhnya."

Ibarat dibawa terbang tinggi, kemudian dijatuhkan seketika. Aini mendelikkan matanya kesal.

"Pergilah. Keberadaan anda di sini mengganggu saya," ucap Aini dengan wajah judesnya.

"Anda tengah mengusir orang yang sudah berbaik hati mengembalikan ransel anda."

Tak lama setelah itu, seseorang dengan menggunakan sepeda motor menghampiri mereka berdua. Itu adalah Alif dengan menggunakan helm berwarna hitam. Dengan sopan, Alif menjabat tangan Manaf dan disambut dengan hangat. Mereka saling membalas senyum.

"Perkenalkan, Ustadz, nama saya Alif. Saya temannya Aini."

Manaf tersenyum ramah. "Tidak perlu memanggil saya Ustadz. Panggil saya Manaf saja. Ilmu saya masih sedikit, masih sangat terbatas."

"Tidak boleh seperti itu. Saya harus banyak-banyak belajar dari kamu," ucap Alif.

Manaf dan Arif dengan mudahnya membangun komunikasi yang baik. Merasa diabaikan, Aini mengembuskan nafasnya kasar.

"Bang, pulang, yuk! Masih banyak yang harus aku selesain. Abang tahu sendiri, kan, tadi pagi aku langsung pergi. Belum sempet beres-beres," keluh Aini.

"Ayo! Saya pamit dulu, ya. Ke depannya semoga kita bisa sharing lebih banyak lagi," ucap Alif pada Manaf.

***

Saya tunggu di ruangan saya besok, pukul 6 pagi.

Baru saja Aini mendudukan tubuhnya di atas kursi, tiba-tiba dikejutkan dengan pesan itu dari dosen tersayangnya. Kakinya mulai terasa pegal sebab tadi banyak berdiri. Lebih tepatnya, karena ia jarang berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama.

Aini melempar ponselnya ke atas kasur. Emosi negatifnya mulai muncul untuk marah, mengeluh, dan menyalahkan dosen itu.

"Iih, kenapa nggak bisa banget sih ngertiin keadaan aku! Pak Faisal bisanya cuma nyuruh-nyuruh nggak jelas doang. Besok, dia mau nyuruh apa lagi? Ribet banget sih, itu dosen. Bisa-bisanya ada waktu buat ngasih aku tugas tambahan, huft."

Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas kasur. Aini segera menghampiri dan mengambil ponselnya. Melihat nomor HP yang tak tersimpan itu sudah mulai membuatnya malas dan kesal. Itu adalah nomor Pak Faisal. Aini sudah hafal setiap angka yang bersatu menjadi nomor HP Pak Faisal itu. Namun, sedikitpun dia tak memiliki niat untuk menyimpan kontaknya.

"Ada apa?" Tanya Aini dengan nada sedikit marah kepada Pak Faisal di sebrang sana.

"Saya punya firasat, bahwa kamu sedang mengeluh dengan perintah yang saya kirim melalui pesan WhatsApp."

"Saya tahu, Bapak pasti punya pengetahuan jauh lebih luas daripada saya. Tapi, jangan pernah merasa lebih tahu daripada Allah, Pak. Bapak jangan sok tahu!"

"Saya bukan sok tahu. Itu hanya perkiraan dari perasaan saya saja. Kalau anda merasa tersinggung, berarti benar adanya, bukan?"

Aini semakin kesal.

"Saya mau istirahat. Dengan penuh hormat, saya izin mematikan panggilan ini. Mohon maaf juga, sebab Bapak sudah mengganggu jam istirahat saya!"

Aini segera mengakhiri panggilan, sebelum dosen itu berbicara kembali.

"Nyesel banget, deh. Dulu pernah nggak serius belajar di mata kuliah yang diampu sama Pak Faisal. Nyesel banget dulu sering cari-cari alasan buat nggak masuk pas mata kuliah Pak Faisal. Akhirnya jadi kayak gini, kan!"

"Pak Faisal kan, ada isu diputusin sama tunangannya. Mana hari pernihakannya tinggal seminggu lagi, eh malah keburu diputusin. Nyesek, nggak, tuh?" celetuk seseorang dari arah belakang Aini sambil membawa setoples makanan ringan. Itu Ghia, teman satu perjuangannya Aini yang sangat rajin.

Aini mengernyitkan dahinya. "Lha terus, apa hubungannya?"

"Ya dengan kaya gitu, suasana kehidupannya Pak Faisal otomatis udah nggak adem ayem lagi, dong. Emosi negatif bisa aja masih memenuhi hatinya. Karena itu, mungkin dia numpahin amarahnya ke kamu, Aini."

"Wah, kalo kayak begitu, Pak Faisal berarti udah keterlaluan banget."

"Eh, tapi nggak boleh berpikiran negatif, lah, sama dosen sendiri. Pasti ada maksud dan tujuannya kok, Pak Faisal nyuruh ini itu ke kamu."

"Maksudnya apaan? Dan tujuannya buat apaan, coba? Aku disuruh ngedatengin Yayasan Al-Hafidz juga itu dosen nggak ngasih tau tujuannya buat ngapain. Gimana nggak ngeselin, coba?"

Ghia tersenyum dan kemudian mengelus pundak Aini. "Sabaar..."

Aini justru malah mendelikkan matanya sambil berjalan menghampiri lemari pakaian. Ia mengambil beberapa baju yang akan dibawanya pulang ke rumah tempat tinggalnya yang ada di luar kota. Dia berharap, setelah pertemuannya besok dengan Faisal, dia bisa pulang.

***

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alif sudah mulai terlihat di depan kosannya Aini. Setelah mengabari Aini, bahwa dirinya sudah ada di depan, ia langsung mematikan ponselnya dan beralih membuka mushaf kecil dari tas selempangnya, kemudian membacanya.

Aini mengintip Alif dari jendela, setelah itu ia segera pergi ke kamar mandi. Dia baru terbangun, sebab setelah solat shubuh tadi ia tertidur kembali.

Setelah menunggu hampir setengah jam, akhirnya Aini keluar dari kosannya dengan raut wajah panik dan terburu-buru.

"Abis ngapain aja, Aini?" Tanya Alif sambil menyimpan kembali mushaf yang sebelumnya ia baca.

Aini menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehe, biasalah, namanya juga perempuan."

Alif menggelengkan kepalanya.

"Karena memang, kepergian aku ke kampus hari ini juga karena terpaksa. Ini kan udah waktunya libur semester. Kok, malah disuruh-suruh ke kampus segala. Aneh banget, kan?"

"Dosen nggak mungkin seenaknya nyuruh kamu. Barangkali kamu memang punya kesalahan. Entah itu di nilai, ataupun yang lainnya. Jadi wajar aja."

"Mana ada aku punya kesalahan. Ih, enak aja."

Alif mengembuskan nafasnya kasar. Aini memang selalu mempertahankan egonya. Daripada dirinya menjadi emosi, lebih baik diam dan mengiyakan perkataan Aini.

"Udah jam setengah tujuh, Bang! Pasti Pak Faisal marah!"

Aini mulai panik.

****
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)

#01/04-2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top