BAB 20
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
Aku mengerti, namun aku khawatir keliru. Sulit sekali untuk membedakan, apakah itu serius, atau hanya sebuah candaan. Sederhana saja, aku hanya tidak ingin dipermainkan.
***
"Saya bangga pada kamu, Aini!"
Seseorang mengejutkan Aini sambil bertepuk tangan. Aini membulatkan matanya sebab merasa tidak percaya pada hari ini Faisal, dosennya datang ke acara Milad yayasan. Aini hanya tersenyum kikuk saat mengetahui itu.
"Kamu baik-baik saja, kan, di sini?" Tanya Faisal sambil sesekali tersenyum dan mengangguk kepada setiap ustadz yang melewatinya.
Aini mengangguk pelan. "Alhamdulillah, baik, Pak."
"Maaf, ya, saya tidak sempat menjenguk kamu di sini. Maklumlah, saya sibuk. Tapi saya lihat, anda sepertinya betah berada di sini."
"Iya, Pak, alhamdulillah."
"Pasti ada seseorang yang membuat kamu nyaman," ucap Faisal sambil mengangkat sebelah alisnya.
Aini tidak berani untuk merespon Faisal. Betul atau tidaknya apa yang diucapkan Faisal, itu cukup sebagai urusannya dengan Allah saja.
"Menurut saya itu bukan masalah. Setiap manusia sudah fitrahnya merasakan seperti itu."
Aini hanya terdiam.
"Di mana Ustadz Bilal?" Tanya Faisal.
Aini mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru aula. Hingga akhirnya ia menemukan Ustadz Bilal di sofa yang berjajar di barisan paling depan. Ia tengah mengobrol dengan beberapa rekannya sesama pimpinan Yayasan.
Aini menunjuk ke arah Ustadz Bilal dan berkata, "Ada di sebelah sana, Pak," ucapnya yang kemudian pandangan Faisal mengikuti telunjuk Aini.
"Oke, terima kasih. Jangan lupa nanti hasil pengabdian kamu di sini akan saya sidang. Hasil sidang ini yang akan menentukan kamu lulus atau tidaknya di mata kuliah yang saya ampu," ucap Faisal sebelum akhirnya pergi meninggalkan Aini mematung seorang diri.
Sudah hampir berakhir, ya? Tanya Aini dalam hati.
Apakah mungkin, dirinya hanya akan sampai sini saja membersamai anak-anak panti dan bertemu dengan ... Ah, tidak. Aini berharap jika dirinya bisa menjadi bagian dari Yayasan Al-Hafidz sampai nanti. Di sana, ia mendapatkan banyak pelajaran dan pengalaman yang begitu luar biasa. Dia merasa bahagia bisa membantu Hasan untuk menerima takdir bahwa orang tuanya sudah tiada. Karena hal itu bukanlah suatu hal yang bisa diajadikan alasan untuk menyerah.
"Bu Aini, Bu Aini!!!"
Hasna dan beberapa anak panti berteriak sambil berlari menghampiri Aini. Kemudian mereka menarik tangan Aini. Mereka mengajak Aini ke taman yang ada di depan panti. Aini sendiri kebingungan dengan apa yang anak-anak lakukan.
Di taman depan panti sudah ramai oleh seluruh anak-anak panti dan Ibu-ibu pengurusnya. Mereka menyusun dan menyiapkan segala sesuatunya untuk makan-makan bersama di taman dengan beralaskan beberapa karpet berukuran besar. Di sana juga ada Arkan yang terlihat sedang mengobrol sambil tertawa bersama Hasan dan beberapa anak panti laki-laki yang lainnya.
Hasna mengarahkan Aini untuk duduk di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kirinya dia mengajak Arkan. Betapa bahagianya Hasna jika saja masih memiliki keluarga yang utuh.
Anak-anak panti diikuti ibu-ibu pengurusnya duduk membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar. Di tengah-tengah mereka sudah tersaji hidangan untuk makan siang. Meskipun siang ini matahari bersinar begitu terik, sebuah pohon lebat yang menjulang tinggi di sana mampu meneduhkan mereka. Sepoi angin terasa hangat membelai mereka.
"Bu Aini, Ustadz Arkan, Hasna seneng banget bisa ketemu sama kalian. Bersama kalian itu, Hasna dan Kak Hasan merasa seperti memiliki orang tua yang baru. Kita semuanya berharap banget Bu Aini dan Ustadz Arkan tetap di sini untuk merawat kami sampai kami besar nanti."
"Bu Aini sama Ustadz Arkan itu baik banget. Nggak pernah marah dan selalu sabar menghadapi kita semuanya."
Hal itu membuat Aini dan Arkan hampir meneteskan air mata sebab terharu. Saat makan siang tiba, anak-anak sibuk dengan makanannya masing-masing. Hal itu menjadi kesempatan bagi Arkan untuk menyampaikan sesuatu kepada Aini.
"Setelah tugas anda dari Pak Faisal selesai, apa anda akan pergi, meninggalkan anak-anak panti?"
Aini terdiam, membeku. Sebelumnya, dia belum sempat untuk merencanakan itu. Karena dia berpikir, bahwa setelah tugasnya selesai, maka ia pun selesai di Yayasan Al-Hafidz.
"Lihatlah semua anak-anak panti yang sudah merasa nyaman dengan adanya anda. Dan anda sudah mendengar sendiri apa yang anak-anak rasakan dari Hasna. Anda ibarat orang tua bagi mereka. Anda mungkin akan membuat mereka kecewa jika anda pergi," ucap Arkan. Begitupun saya, lanjut Arkan dalam hati.
Aini masih terdiam.
"Tetaplah di sini! Di sini anda bisa menebarkan banyak manfaat. Selain itu, tempat ini sangat menjamin anda untuk menjadi pribadi yang lebih baik."
"Saya boleh bercerita sesuatu kepada anda?" Tanya Arkan sambil menoleh sekilas kea rah Aini.
Kini, di antara mereka sudah tidak ada Hasna. Hasna berlari untuk makan bersama anak-anak yang lainnya.
Aini mengangguk tanpa menoleh sedikitpun ke arah Arkan. "Silakan."
Sambil menonton anak-anak makan siang dengan wajah yang begitu ceria,
"Saya ingiin sekali melanjutkan pendidikan saya ke Madinah. Setiap tahun saya selalu gagal dalam seleksi tahap akhir. Dan ketika tahun kemarin saya berhasil lulus, tiba-tiba ayah saya melarang sebab beliau sedang sakit keras pada saat itu. Padahal, pada saat itu saya hanya tinggal berangkat. Seluruh barang-barang dan persyaratan yang lainnya sudah siap untuk diterbangkan ke Madinah. Itu adalah mimpi terbesar saya. Namun, saya tidak ingin membuat ayah saya khawatir dan kecewa. Sudah cukup selama ibu saya hidup saya belum sempat memberikan bakti terbaik saya untuk beliau."
"Ibu anda pasti bangga kepada anda," ucap Aini sambil tersenyum tipis.
Arkan menggelengkan kepalanya. "Ibu adalah orang yang paling baik selama saya hidup. Dulu saya anak yang nakal, sulit untuk diatur. Namun, beliau tetap sabar dan selalu memberikan yang terbaik untuk saya dan semua anak-anaknya."
"Almarhumah Ibu anda pasti memaklumi semua anaknya di masa kanak-kanak. Jauh dari itu, Ibu anda begitu bangga dan bersyukur memiliki anda. Yang bisa anda lakukan saat ini adalah terus menebar kebaikan seperti ini, dan jangan pernah berhenti sebelum Allah Memanggil untuk kembali."
Arkan ingin mengungkapkan sesuatu yang baru-baru ini sedikit mengusik kehidupannya.
"Sebelumnya, apa yang ingin anda sampaikan kepada saya?" Tanya Arkan yang membuat Aini sedikit kebingungan.
"Eum. Mungkin, saya merasa bersyukur saja bisa mengenal anda sampai saat ini," ucap Aini.
Arkan mengangguk. "Yaa, begitupun saya. Saya bangga kepada anda. Dan saya mengucapkan banyak-banyak terima kasih telah membantu anak-anak beberapa waktu ini."
Aini mengangguk pelan.
"Apakah saya bisa, mengukir kisah lebih jauh lagi bersama anda?" Tanya Arkan.
Aini mengernyitkan kedua dahinya bingung. "Apa maksud anda?"
"Kisah kita dimulai ketika kita bertemu. Saya tidak mungkin terus bersama anda dengan keadaan seperti ini."
Aini tidak paham dengan arah bicara Arkan. "Jadi maksudnya bagaimana? Saya belum paham."
"Menjadikan setiap pertemuan kita adalah ibadah yang diridhoi oleh Allah."
"Lantas?" Aini masih menuntut penjelasan dari Arkan.
"Saya ingin memiliki seseorang yang halal untuk dijadikan teman."
Aini kebingungan. Berusaha menerka-nerka, tapi dia khawatir keliru. Sampai saat ini, terkadang dia masih belum bisa memahami sikap Arkan yang seringkali bercanda atau serius. Begitupun dengan kali ini, Aini masih ragu dengan apa yang Arkan katakan dan tidak ingin pikirannya berpetualang kepada sesuatu yang tidak pasti.
Aini masih terdiam; membeku dan berusaha mencerna setiap kata yang Arkan katakan padanya.
"Bukannya anda punya banyak teman yang satu frekuensi? Saya kira, pembimbing yang ada di Yayasan Al-Hafidz ini semuanya baik dan mampu memberi pengaruh yang positif."
Arkan tersenyum tipis dan merasa bingung harus bagaimana lagi mengungkapkannya. Ia mengembuskan nafasnya dalam-dalam kemudian bertanya, "Anda mau jadi ibu buat anak-anak panti?"
"Meskipun banyak yang perlu saya perbaiki, In Syaa Allah, saya sudah berada di posisi itu saat ini. Mereka adalah anak-anak saya, dan saya bertanggung jawab atas masa depan mereka," ucap Aini sambil tersenyum tipis.
Arkan merasa semakin kikuk. "Eum, kalau menjadi ibu bagi anak-anak kita berdua, anda mau?"
"Kita siapa?" Tanya Aini seolah tak mengerti.
Arkan mendelikkan matanya kesal sebab Aini tak kunjung mengerti. "Kita yang sedang bercakap di sini menurut anda sendiri siapa?"
"Saya, dengan anda?"
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#14/05-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top