BAB 17
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
Ada saatnya emosi yang negatif itu berada di puncak-puncaknya. Kecewa, marah, bahkan sampai mengeluarkan kata-kata tak berkenan di hati, mungkin itu wajar terjadi. Yang tidak wajar adalah, ketika kita mengerti itu, namun tetap membalasnya dengan hal serupa.
***
Ada sedikit perasaan ngilu saat melihat Alif datang ke rumah Aini bersama ibunya. Manaf meratapi dirinya sendiri yang mungkin hanya sebagai batu kerikil tak berarti di kehidupan Aini. Dia tertawa pahit dan sadar diri, bahwa dirinya bukanlah apa-apa. Padahal, sebelumnya dia mengira bahwa Aini bisa menjadi penyemangat hidupnya sampai nanti. Namun, mungkin perkiraannya keliru.
Melihat Ibunya Alif, tiba-tiba Aini teringat tentang nasib dirinya sendiri. Banyak sekali hal yang seharusnya dia syukuri, tetapi kali ini Aini merasa begitu menderita saat mendengar sebuah pengakuan dari kedua orang tuanya tentang dirinya.
"Namun, kami akan tetap menjadi orang tua kamu selamanya, Aini Sayang." Itulah kata-kata terakhir yang Ibunya katakan melalui telepon malam tadi. Kata-kata yang begitu menyakitkan hatinya.
Selama ini, orang tua dan keluarganya selalu memberikan kebahagiaan. Keinginannya dan kebutuhannya selalu terpenuhi. Sebab itulah dia harus menuruti Manaf yang menyuruhnya untuk selalu bersyukur. Namun, kali ini kedua orang tuanya membuat hatinya tidak tenang. Kabar itu, adalah kabar yang membuatnya sedih. Semua kebahagiaan yang mereka berikan seolah tak berarti lagi.
Berusaha untuk melupakan itu sejenak, Aini memutuskan untuk datang ke saung baca, tetapi dia tidak menemukan satupun anak-anak di sana. Ia mencari ke panti dan seluruh ruangan yang ada, tapi tetap tidak menemukannya.
Berkali-kali dia menghubungi Manaf, tapi tak kunjung diangkat. Dia merasa sangat bersalah kali ini.
"Ummi Hawa, Ummi lihat anak-anak, tidak?" Tanya Aini.
Ummi Hawa menggelengkan kepalanya, tanda bahwa ia tidak tahu. "Ummi tidak tahu, Nak. Sedari tadi Ummi sibuk jagain Farhan yang hari ini rewel banget. Ummi kira anak-anak sedang belajar seperti biasanya dengan kamu."
"Tadi Aini kedatangan tamu dulu, Mi."
"Biasanya Manaf suka mengajak mereka ke pesantren. Coba kamu lihat ke sana, Nak."
Aini mengangguk. "Baik, Mi. Terima kasih banyak, ya, Mi."
Aini segera pergi ke pesantren sesuai arahan dari Ummi Hawa. Namun, ia bingung hendak ke ruangan mana yang di sana ada Manaf ataupun anak-anak panti.
"Kalau anti mencari Manaf, dia ada di aula pesantren bersama anak-anak panti." Seseorang berhasil mengejutkan Aini. Ternyata itu adalah Zain yang sudah sangat yakin bahwa Aini pasti mencari Manaf.
"Terima kasih," ucap Aini yang terlihat buru-buru. Ia kemudian pergi menuju tempat yang Zain arahkan.
Di dalam aula sana, Aini melihat Manaf tengah sibuk mengatur untuk penampilan-penampilan para santri dan anak panti. Ia dibantu beberapa panitia yang lainnya juga.
Aini mengedarkan pandangannya ke arah lain. Didapatinya Khadijah tengah menyimak salah satu santriwati yang bertugas pada Parade Tasmi'. Melihat itu, Aini merasa rendah diri. Ia sadar, bahwa dirinya bukan apa-apa di sana. Meskipun tahu, bahwa dirinya berperan sangat penting di acara Milad ini.
Sederhana saja hal yang membuat Aini rendah diri. Dia bukan penjaga Al-Quran yang baik seperti Khadijah dan Manaf. Dia hanya sekadar lulusan juz 30 dan 29, itupun banyak yang terlupakan. Karena itu, Aini menilai Khadijah dan Manaf begitu cocok dan kompak.
Aini berniat untuk pergi. Dia sudah tidak memiliki keberanian untuk bergabung bersama panitia yang lainnya.
"Mau ke mana?"
Manaf berhasil menghentikan langkah Aini. Ada sedikit rasa senang di hati Aini, berharap Manaf mau mengajaknya.
"Saya kira anda bertanggung jawab dan disiplin waktu," ucap Manaf datar.
Aini mengernitkan alisnya. "Maksud anda?"
"Seandainya saya tidak datang ke Saung Baca, sudah pasti ada yang terluka di sana." Nada bicara Manaf terdengar begitu serius.
Setelah tidak sengaja melihat Alif dan Ibunya datang menemui Aini, Manaf langsung pergi ke Saung Baca sebab tiba-tiba merasakan kekhawatiran. Dan benar saja, dia melihat dan mendengar kegaduhan yang luar biasa di Saung Baca. Seluruh anak-anak panti berlarian untuk menyelamatkan diri sambil berteriak dengan begitu keras. Hanya satu orang saja yang membuat kerusuhan itu terjadi. Dia melempari barang-barang yang ada di Saung Baca, termasuk benda yang terbuat dari kaca. Dia melempari ke sembarang arah, bahkan ada beberapa anak yang terkena lemparannya.
"HASAN, CUKUP!" Manaf membentak Hasan dengan begitu keras, hingga berhasil membuat aksinya terhenti.
Setelah melihat Alif tadi, perasaan emosi Manaf menjadi tidak stabil. Dia kehilangan kontrol dirinya, hingga berani membentak pada Hasan. Semua anak-anak panti terdiam seketika dan menatap Manaf tidak percaya.
Kali ini Manaf merasa sangat lelah. Selain di pesantren ada banyak tugas, dia juga harus berhadapan dengan Hasan yang masih saja sulit untuk diatur. Hari ini sikap Hasan sudah cukup keterlaluan.
"PERGI KE KAMAR KAMU SEKARANG JUGA, HASAN!" ucap Manaf dengan nada yang masih keras.
Setelahnya Manaf berusaha untuk mengatur luapan emosinya agar kembali stabil. Kemudian mendekati anak-anak panti lain yang terlihat masih ketakutan. "Ada yang terluka, tidak, anak-anak?" Tanya Manaf.
Anak-anak panti menggelengkan kepalanya bersamaan.
"Kita pergi ke pesantren sama-sama, ya. Kita latihan dan juga persiapan untuk acara Milad Yayasan nanti," ajak Manaf yang kemudian dituruti anak-anak.
Ketika anak-anak yang lain segera pergi ke pesantren, Hasna justru masih terdiam, lalu mendekati Manaf dan memeluknya.
"Ustadz jangan marah," ucap Hasna yang terlihat sambil memejamkan matanya karena masih ketakutan.
Manaf melepas pelukan Hasna dan menyetarakan posisi tubuhnya dengan Hasna. "Ustadz tidak marah, Hasna. Biarkan Kakakmu menenangkan dirinya dulu, ya."
Aini hanya terdiam saat Manaf menceritakan kembali apa yang sebelumnya terjadi. Yang ia khawatirkan saat ini adalah kondisi Hasan. Bentakan mungkin saja menghentikan aksinya, tetapi mungkin justru menorehkan luka di hatinya.
"Dan di mana tugas anda sebagai guru bagi mereka?" Tanya Manaf dengan nada yang cukup tinggi dan menantang. "Lalu, posisi anda di bagian acara Milad ini pun rasanya tidak berarti. Mana susunan dan roundown kegiatan yang kemarin-kemarin saya minta? Dan saya lihat, anak-anak panti pun belum benar-benar siap menampilkan penampilannya."
Aini masih terdiam.
"Saya benar-benar kecewa pada anda. Harusnya anda bisa professional!"
Kali ini Aini merasa sangat tersudutkan oleh kata-kata pedas Manaf.
"Ada hal yang tidak anda ketahui tentang saya. Harusnya anda berusaha mengerti walaupun anda tidak tahu kebenarannya!" ucap Aini.
"Saya tidak punya banyak waktu untuk berdebat dengan anda. Siang ini kita geladi untuk penampilan dan acara Milad Yayasan. Saya minta sekarang juga anda bagikan roundown acaranya kepada seluruh panitia! Dan saya tidak mau tahu, pokoknya saat geladi dimulai, MC acara harus sudah ada di sini. Sudah anda konfirmasi atau belum, sih? Jangan lalai, jangan ceroboh!" Setelah itu kemudian Manaf melanjutkan kegiatannya untuk mengurus dan melatih anak-anak.
Tak sadar, bahwa apa yang Manaf ucapkan teah menyakiti hati Aini. Mungkin memang benar, Aini salah. Namun, rasanya tidak layak juga seorang ketua marah dan mengucapkan kata-kata tidak enak didengar seperti itu. Sekecewa apapun, tetap saja itu akan menjadi penilaian yang buruk bagi anggota-anggotanya.
Tak lama setelah itu, Khadijah menghampiri Aini yang masih mematung di tengah-tengah aula.
"Kamu baik-baik saja, Aini?" Tanya Khaijah.
"Baik, Khadijah," jawabnya terdengar lesu.
"Barangkali ada yang bisa saya bantu, Aini?" tawar Khadijah.
"Saya titip anak-anak panti sebentar ya, Khadijah. Saya mau print roundown acara terlebih dahulu. Setelah itu, saya pasti segera kembali."
"Baik, Aini. Semangat, ya."
Aini tersenyum tipis dan kemudian mengucapkan terima kasih kepada Khadijah. Khadijah adalah perempuan yang sangat baik. Tidak mungkin Manaf tidak tertarik untuk menjadikannya pendamping hidup, begitulah yang Aini pikirkan akhir-akhir ini.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#09/05-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top