BAB 14

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)

Happy Reading:)

***

Jika lelah, rehatlah sejenak, kemudian lanjutkan kembali perjuangannya. Perjuangan di jalan Allah mungkin terasa berat, namun tentu itu akan berakhir indah. Semoga Allah selalu meridhoi lelahmu.

***

Ada banyak hal yang harus Manaf urus dan revisi. Ditambah lagi, jadwal mengajarnya di pesantren dan RTQ yang sangat padat. Terkadang dia ingin melepas salah satu amanahnya, tetapi dia ingat kembali niat dan tujuannya. Dia paham, bahwa di sana semua pengajar memiliki jadwal kerja yang sama-sama padat. Tidak mudah untuk mencari pengajar yang ikhlas dan sabar seperti para pengajar yang ada saat ini. Mereka bekerja, sekaligus mengabdi demi mendapatkan keridhoan dari Allah SWT.

Sedari pagi Manaf masih sibuk dan fokus pada layar laptopnya. Ada banyak yang harus dia kerjakan dan selesaikan hari ini juga. Masalahnya, beberapa menit lagi dia harus segera pergi ke pesantren untuk mengajar. Bukan hanya satu dua jam, tetapi full sampai sore. Istirahatnya hanya ketika waktu solat. Seandainya dia sudah tidak kuat, sudah dari jauh-jauh hari dia berhenti. Terlebih, saat ini dia diamanahi untuk menjadi ketua pelaksana pada acara Milad Yayasan.

Manaf mengembuskan nafasnya kasar. Masih banyak yang belum ia selesaikan. Namun, dia harus segera pergi mengajar ke pesantren.

Dia mengambil kitab tafsir dari lemari buku miliknya yang ada di kantor yayasan. Kemudian membuka halaman yang akan dia terangkan dan jelaskan di kelas.

Baginya, tidak perlu lagi untuk berlama-lama membaca. Sebab dirinya memang sudah paham dan hafal tentang apa yang akan dijelaskannya kepada para santri. Tentu saja, dahulu dia adalah satu-satunya santri yang berhasil mengkaji kitab tafsir itu secara keseluruhan dan telah diulangi sekitar tiga kali. Dia tidak mengkajinya sendiri, tetapi mengkaji dan belajar dari pimpinan pesantrennya langsung.

"Kalaupun kamu belum hafal satu kitab penuh, tapi saya yakin kamu paham semua isi kitab ini. Ilmu yang saya bagikan, jangan sampai berhenti di kamu. Setelah ini, pergilah ke manapun kamu mau. Kemudian amalkan dan bagikan ilmu yang kamu punya kepada banyak orang, seluas-luasnya." Begitulah pesan dari pimpinan pesantrennya dulu, yang sampai saat ini masih teringat oleh Manaf.

"Kiyai, bagaimana jikalau seandainya saya lelah?" Tanya Manaf, yang saat itu membayangkan dirinya jika suatu saat menjadi seorang pendidik/ guru.

Kiyai Rasyid, Pimpinan Pesantren tempat menuntut ilmunya dulu terkekeh pelan. "Apa yang bisa membuat kita lelah, jika niat kita saja teguh karena Allah?"

Manaf terdiam sejenak. "Tapi Kiyai, manusia tidak selalu berada pada posisi semangat dalam hal apapun. Ada saatnya dia kemudian ingin menyerah."

"Mungkin saat itulah niatmu mulai goyah. Kehidupan dan gemerlapnya dunia seringkali mengecoh dan melenakan. Sehingga kata menyerah itu akhirnya terbesit juga di dalam pikiran kita."

Manaf kembali terdiam. Dia hanya khawatir dan takut, jika saja suatu saat dia tidak bisa istiqomah.

"Jaga selalu hubunganmu dengan Allah. Perbaiki selalu solatmu!"

Begitulah pesan terakhir yang beliau sampaikan pada Manaf sebelum akhirnya pergi meninggalkan Manaf dan semua santri-santrinya untuk selamanya. Betapa pilu perasaan Manaf saat mengetahui kabar itu.

Air matanya menggenang di pelupuk mata. Kesedihan itu masih ada, bahkan meski sudah berlalu beberapa tahun. Hari ini, Manaf siap untuk mengajar seperti biasa. Meski terkadang merasa bosan dengan profesinya. Maka ia kembali pada niat dan tujuan utamanya mengajar.

***

"Katanya sih buru-buru mau pulang, eh taunya masih di sini aja." Ucapan itu keluar dari mulut Zain, salah satu teman Manaf, sesama pengajar di Pesantren Al-Hafidz.

Manaf yang saat itu sedang melamun sambil duduk di bangku depan kelas terperanjat kaget.

"Antum ngagetin aja, Zain. Pergi, sana!" usir Manaf.

Zain terkekeh melihat raut wajah Manaf yang terihat seperti sedang kesal.

"Wih, kayaknya ada yang lagi emosian. Tenangin diri dulu, Manaf. Mungkin ada yang perlu antum perbaiki."

Entahlah, apa yang terjadi pada Manaf saat itu. Semangatnya tiba-tiba hilang. Terlebih, saat ia masuk ke kelas terakhir di hari ini, semua santri di kelas begitu menyebalkan. Pembelajaran tiba-tiba berubah menjadi tidak kondusif, para santri banyak yang mengobrol saat ia sedang menjelaskan.

Manaf menoleh ke arah Zain.

"Masih ada waktu sebelum magrib. Ana mau ke panti asuhan dulu. Jenguk anak-anak," ucap Manaf yang lantas bangkit dari duduknya dan kemudian beranjak pergi meninggalkan Zain sendirian di depan kelas.

Zain menggelengkan kepalanya. Sebagai sahabat seperjuangannya sedari dulu, Zain sudah sangat mengenali Manaf. Dia tahu, saat itu ada yang sedang Manaf pikirkan.

Sore ini langit masih terlihat cerah, anak-anak panti masih bermain dan berlarian di halaman panti asuhan yang cukup luas. Melihat itu, Manaf mempercepat langkahnya menuju panti. Sebagian anak berlari menghampiri dan mencium tangan Manaf, dan sebagian lain masih fokus bermain bersama teman-temannya yang lain.

"Ustadz, kenapa Ustadz tidak segera menikah?" Pertanyaan polos itu tiba-tiba terlontar dari mulut Hasna.

Tidak sengaja, Hasna melihat Manaf tengah melamun sendirian di depan panti. Sontak saja itu membuat Manaf terkejut.

"Eh, Hasna. Sini, duduk, Shalihah!" ajak Manaf sambil menepuk-nepuk tempat duduk di pinggirnya agar Hasna duduk.

Hasna mengangguk dan mengikuti ajakan Manaf.

Manaf menoleh ke arah Hasna yang saat itu duduk di samping kanannya. "Kenapa bertanya seperti itu, Shalihah?"

"Hasna cuma nggak mau liat Ustadz Manaf sendirian terus," ucap Hasna, setelah melihat akhir-akhir ini Manaf menjadi sering melamun.

Manaf terkekeh pelan. "Memangnya, Hasna mau Ustadz Manaf menikah dengan siapa?" tanyanya bercanda.

"Sama Bu Aini," jawabnya polos.

Hal tersebut tentu saja membuat Manaf terkejut dan tidak percaya. Bagaimana bisa Hasna menyimpulkan hal seperti ini. Namun, Manaf paham bahwa Hasna masih kecil. Imajinasinya sedang berkembang di usianya saat ini.

Manaf tak berniat untuk menanggapi pernyataan yang terlontar dari mulut Hasna. Dia memilih untuk diam.

Tak lama setelah itu, Aini keluar dari dalam panti. Dilihatnya saat itu Hasna sedang duduk berdampingan dengan Manaf.

"Eh, Hasna. Kita makan dulu, yuk! Hari ini Bu Aini yang masak, lho!" ucap Aini pada Hasna.

Manaf tersenyum sinis. "Hah, pasti tidak enak!" ujarnya.

Aini menatap Manaf dengan tatapan yang sangat tajam. Membuat Manaf tak kuasa menahan tawa. "Enak saja anda berkata seperti itu! Jangan meremehkan kemampuan orang lain yang sedang belajar dan berusaha. Anda tidak punya hak untuk itu!"

"Lho, saya hanya menebak, kok. Dan pasti tebakan saya seratus persen benar."

"Tentu saja anda salah. Menurut saya, masakan saya adalah masakan paling enak sedunia. Meskipun saya baru belajar, tapi saya sudah bisa memasak masakan yang lezat."

Manaf tertawa menyepelekan. "Haha, saya tidak percaya."

Melihat Manaf dan Aini, Hasna memutuskan untuk pergi ke dapur. Dia tidak ingin mengganggu pembicaraan serius mereka berdua.

Aini mendelikkan matanya kesal sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Memangnya masakan apa yang anda buat?" Tanya Manaf.

"Telur dadar."

Jawaban Aini yang penuh dengan kepercaya dirian itu membuat Manaf tertawa terbahak-bahak. Merasa diremehkan, Aini menginjak kaki Manaf hingga tawa itu berubah menjadi ringisan kesakitan.

***

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)

#05/05-2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top