BAB 11

Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.

Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)

Happy Reading:)

***

Akan selalu ada makna dan pelajaran dibalik sebuah pertemuan. Meskipun pada akhirnya pertemuan itu harus berakhir.

***

Aini sudah kembali ke rumah yang disediakan untuknya. Bukanlah hal yang mudah membersamai anak-anak di panti asuhan. Terlebih, saat harus mengatur dan mengarahkan mereka untuk tidur. Ada saja yang masih senang bermain-main dan berlarian. Hal tersebut membuatnya tidur larut malam.

Pagi ini, Aini harus segera membereskan barang-barang yang dibawanya, karena kemarin tidak sempat.

Baru saja Aini bangkit dari duduknya, tiba-tiba terdengar suara klakson motor dari luar rumahnya. Dia kira, klakson itu bukan ditujukan kepadanya. Aini mengintip dari arah jendela. Sepertinya, dia mengenali orang itu.

Aini membuka pintu.

"Assalamu'alaikum," teriak seorang lelaki sambil melambaikan tangannya pada Aini.

Aini hanya terdiam saat mengetahui siapa yang datang pagi-pagi sekali ke rumahnya.

"Wa'alaikumussalam," jawab Aini dengan pelan.

Sambil menjinjing sebungkus plastik, lelaki itu turun dari sepeda motornya dan menghampiri Aini di pekarangan rumah.

"Ini, saya bawakan sarapan buat kamu. Dimakan, ya," ucap lelaki itu.

"Ngapain Bang Alif ke sini? Bukannya harus bersiap-siap pergi ke luar negri?" Tanya Aini sinis.

Alif terkekeh pelan. "Selagi saya masih bisa untuk menyempatkan waktu menemui kamu, kenapa tidak?"

"Pergilah, Bang, jangan tanggung-tanggung. Nggak perlu temuin Aini lagi!"

"Kenapa? Kenapa kamu mengatakan apa yang tidak ada di hati kamu?" Tanya Alif.

Aini menerima sarapan dari Alif. Sebenarnya, dia tidak ingin berdebat untuk saat ini.

"Terima kasih, Bang," ucap Aini tanpa sedikitpun memberikan senyuman pada Alif.

"Bagaimana di sini? Kamu merasa senang dan nyaman?" Tanya Alif.

Aini menggelengkan kepalanya. "Entahlah, Bang."

"Kenapa? Ada masalah?"

Sekali lagi, Aini menggelengkan kepalanya.

"Saya yakin, kamu pasti bisa melewati semua ini, Aini. Tidak ada kemudahan, kecuali semua yang Allah jadikan mudah. Di sini, kamu pasti akan menjadi lebih baik. Kalau kamu merasa terganggu, sekarang saya mau pulang. Kamu baik-baik di sini, ya, jaga kesehatan," ucap Alif sebelum akhirnya mengucapkan salam dan benar-benar pergi melajukan sepeda motornya dengan cepat.

Tiba-tiba Aini terisak. Dia mengintip isi dari kresek yang berisi sarapan untuknya. Aini menangis, Alif adalah satu-satunya orang yang mengetahui sarapan kesukaannya.

Bukan, bukan dirinya tidak ingin bertemu lagi dengan Alif. Tapi sungguh, dia bertanya-tanya, apa lagi maknanya sebuah pertemuan jika pada akhirnya Alif akan pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Lebih baik, dirinya terbiasa untuk tidak bertemu Alif, daripada harus ditemui Alif seperti ini. Sebab, semakin dirinya merasa nyaman, semakin sulit nantinya untuk melupakan.

Saya mau, kita bertemu lagi. Sebelum saya pergi, meskipun hanya sebentar. Ada pesan penting yang harus saya sampaikan langsung.

Ponsel Aini bergetar, hingga di notifikasinya menampilkan pesan itu dari Alif. Aini tak berniat untuk meresponnya langsung.

Aini pergi ke dapur untuk mencari mangkok. Dapur yang tak terawat itu sepertinya akan membuat Aini tidak betah berlama-lama di sana. Namun, Aini berniat untuk membersihkan dan membereskan rumah yang sepertinya sudah lama tak ditempati itu. Sebab sekarang, dia yang menempati rumah itu. Maka, dia pula yang bertanggung jawab atas kenyamanan di rumah itu.

Saat Aini akan kembali ke ruang tengah, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aini segera membuka pintu, hingga menampilkan sosok anggun dari wanita bercadar bernama Khadijah.

"Assalamu'alaikum, Aini," ucap Khadijah.

"Waalaikumussalam. Eh, Khadijah. Ada apa, ya?" Tanya Aini.

Khadijah membawa sepiring nasi, lengkap dengan tumis capcay dan tempe. Ia menyodorkan piring itu pada Aini. "Ini untuk sarapan pagi ini, Aini. Silakan."

Aini tersenyum kikuk. "Padahal, tidak perlu repot-repot, Khadijah."

"Tentu tidak merepotkan, Aini. Ke depannya, kamu bisa ambil makan di rumah sebelah, ya. Setiap pengajar, ada bagian untuk makan pagi, siang, dan sore, kok."

Aini mengangguk paham. "Oh iya, baik. Terima kasih banyak, ya, Khadijah," ucap Aini.

Khadijah tersenyum, terlihat dari matanya yang menyipit. "Sama-sama, Aini. Oh, iya. Izin memberi tahu juga, bahwa nanti malam, ba'da isya ada kajian rutin khusus pengajar. Tempatnya di masjid Jami' Al-Hafidz yang ada di area pesantren."

Aini mengangguk paham. "Oh, baik, Khadijah. Terima kasih banyak ya, atas informasinya."

Khadijah mengangguk. "Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk bilang ke saya, ya, Aini. Rumah saya ada di samping rumah ini, kok. Kalaupun saya tidak ada di rumah, temui saja saya di pesantren."

"Baik, Khadijah. Sekali lagi, terima kasih, ya."

Khadijah mengangguk dan kemudian pamit pergi.

Aini menutup pintu rumahnya. Dia mengembuskan nafasnya kasar. Rasanya, dia belum benar-benar siap untuk memulai kehidupan di lingkungan Al-Hafidz ini. dia mengakui, bahwa ini adalah lingkungan yang baik dan sangat mendukung dirinya untuk menjadi lebih baik. Namun, dia merasa belum siap untuk itu semua.

Padahal, dulu dirinya pernah menjadi santri. Entahlah, jika melihat penampilannya yang sekarang, seolah bukan orang yang pernah belajar agama. Tentu saja, sebab jilbab lebar yang dulu pernah ia kenakan sudah disimpan dan dikunci rapat di dalam lemari rumahnya.

Apakah kemudian ini tanda, bahwa dia harus kembali pada dirinya yang dulu?

Saat itu, Aini justru malah melamun sambil terduduk dengan beberapa sarapan yang tersedia di hadapannya. Tidak ada niat sedikitpun untuk mengisi energi tubuhnya.

Tak lama setelah itu, tiba-tiba alarm di ponselnya berbunyi. Ah, iya, hampir saja dia lupa bahwa pagi ini dia harus pergi ke saung baca untuk mengajar anak-anak panti asuhan.

***

Di perjalanan menuju pesantren, Manaf tidak sengaja bertemu dengan Khadijah yang sedang berjalan beriringan dengan teman sesama perempuannya. Pandangan Manaf seketika tertunduk saat melihat sosok Khadijah. Dia sengaja sedikit memelankan laju sepeda yang dikayuhnya, untuk sekadar mengucap salam dan permisi kepada Khadijah.

Khadijah hanya mengangguk sambil menunduk dan menjawab salam Manaf dengan sangat pelan. Kini, Manaf sudah mendahuluinya menggunakan sepeda.

"Ustadz Manaf berbeda," bisik Wardah, seorang perempuan yang saat itu tengah berjalan bersama Khadijah menuju pesantren.

Khadijah tampak mengerutkan kedua dahinya bingung. "Maksudnya?"

"Yaa, beda aja."

"Ohh," respon Khadijah singkat.

Wardah merasa geram dengan respon sahabatnya yang tidak peka itu. "Kamu itu sadar nggak, sih, sama sikap Ustadz Manaf ke kamu kaya gimana?"

Khadijah menggelengkan kepalanya. "Biasa saja, Wardah. Seperti biasa, tidak ada apa-apa."

"Ustadz Manaf pasti suka, sama kamu!" ucap Wardah sambil mendelikkan matanya, karena masih merasa kesal dengan kepolosan Khadijah.

"Tidak boleh berbicara seperti itu, Wardah. Itu hanya terkaan kamu saja."

"Terkaan yang hampir Sembilan puluh persen benar. Aku tahu, aku tidak boleh mendahului takdir Allah. Tapi, Allah memperkenan aku untuk memprediksi setiap tingkah laku dan ekspresi seseorang. Asal kamu tahu, Khadijah, Ustadz Manaf itu berbeda sama kamu!"

"Mungkin, itu hanya perasaan kamu saja, Wardah. Jangan membuat pikiranku bercabang. Aku nggak mau memikirkan hal-hal yang tidak perlu aku pikirkan," ucap Khadijah.

Wardah semakin geram dengan Khadijah. Hingga akhirnya, Wardah mengakhiri pembicaraannya tentang Manaf.

***

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)

#01/05-2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top