BAB 10
Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakaatuh, Teman-teman yang dirahmati oleh Allah SWT. Semoga selalu dalam keadaan sehat dan dalam lindungan-Nya. Tetap semangat untuk hari ini, esok, dan seterusnya, ya. Perjalanan masih panjang.
Jangan lupa vote, comment, dan share cerita ini ke teman-teman yang lainnya yaa;)
Happy Reading:)
***
Kita adalah aktor dalam menjalankan takdir yang skenarionya sudah tersusun rapi. Kita dianugerahkan karakter dan kepribadian yang begitu unik oleh Sang Pencipta. Kita tinggal memainkan peran dengan sebaik-baiknya, agar Allah Meridhoi kita untuk pulang ke kampung akhirat di tempat yang terbaik.
***
Hari sudah semakin sore, tetapi Manaf masih belum juga menemukan Hasan. Dia bertekad untuk tidak akan pulang dan tidak akan memaafkan dirinya jika Hasan tidak ditemukan.
Manaf menghentikan sepeda motornya di pinggir jalan. Langit yang semula cerah berubah menjadi warna jingga. Matahari sudah hampir tidak terlihat lagi.
Saat itu, Manaf sedang terdiam di sebrang tempat pemakaman umum kota. Dia masih ingat, bahwa almarhum saudara sepupunya dimakamkan di tempat pemakaman umum itu. Tiba-tiba hatinya tergerak untuk masuk ke tempat pemakaman itu untuk mendoakan saudara sepupunya.
Setelah membacakan ayat suci Al-Quran dan berdoa khusus untuk almarhum, tiba-tiba Manaf mendengar tangisan seorang anak kecil. Dia kira, itu hanya pikirannya saja karena suara tangisan itu terdengar samar-samar. Hati Manaf seketika bergetar saat tangisan itu justru malah terdengar semakin menjadi-jadi.
Hari sudah semakin gelap. Angin berembus kencang, membawa dedaunan kering terbang mengikuti arah angin. Tempat pemakaman umum yang sepi dan mulai gelap itu menambah suasana angker. Manaf terus beristighfar dan menenangkan dirinya, bahwa apa yang didengarnya hanyalah halusinasi belaka.
Namun, sepertinya itu bukan halusinasi. Suara tangisan itu terdengar sangat nyata. Sambil berdzikir, Manaf dengan beraninya mencari sumber suara itu.
Beberapa saat kemudian, Manaf menemukan seorang anak kecil tengah menangis sambil memeluk salah satu batu nisan yang ada di sana. Perlahan, Manaf menghampiri anak kecil itu.
"Hari sudah semakin gelap, Nak. Segeralah pulang ke rumahmu," ucap Manaf yang lantas berjongkok untuk menyetarakan tubuhnya dengan tubuh anak itu.
Anak yang menangis itu beralih menoleh ke arah Manaf. Melihat anak itu, Manaf terkejut sekaligus terharu. Itu adalah Hasan. Ya, anak panti asuhan baru yang selama seharian ini dicari-cari olehnya.
"Maa Syaa Allah, Hasan? Kamu ternyata ada di sini?" Tanya Manaf tidak percaya.
Hasan tak menanggapi pertanyaan Manaf. Dia tetap diam sambil menangisi dua makam yang ada di antaranya.
Manaf merangkul Hasan dan kemudian berbicara, "Kita pulang ke panti asuhan, ya, Hasan," ucapnya.
Hasan menggelengkan kepalanya.
"Adzan magrib sebentar lagi berkumandang. Kita solat berjama'ah dulu di masjid, kemudian pulang ke panti, ya?"
Hasan tetap menggelengan kepalanya. "Aku mau tetap di sini bersama Mamah dan Papah!" ucapnya tegas.
"Kalau Hasan mau, Hasan bisa datang ke sini lagi di lain waktu, ya. Sekarang kita pulang dulu, sudah hampir magrib."
Hasan masih menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan.
Manaf membawa Hasan ke dalam pelukannya. "Mamah sama Papah Hasan pasti sedih kalau lihat Hasan menangis seperti ini. Lebih baik, kita pulang dan doakan Mamah Papah Hasan, agar masuk ke surganya Allah."
Hasan menatap sendu wajah Manaf yang begitu tulus. "Bagaimana kalau Mamah dan Papah tidak masuk surga?"
Manaf terdiam sejenak, kemudian berkata, "Hasan tidak boleh berkata seperti itu. Makannya, kita harus sering berdoa untuk kedua orang tua kita. Kita pulang dulu, ya."
Akhirnya, Hasan menuruti ajakan Manaf untuk pulang. Di tengah perjalanan, Manaf memutuskan untuk solat magrib terlebih dahulu. Sedangkan Hasan hanya duduk di teras luar masjid karena menolak ajakan Manaf untuk melaksanakan solat.
Setelah itu, Manaf tidak memutuskan untuk langsung pulang ke panti asuhan. Tanggung, sebab tidak lama lagi sudah waktunya solat isya. Arkan menghampiri Hasan yang sedang melamun sambil menatap ke arah langit.
"Kenapa Hasan tidak mau solat dan mendoakan Mamah Papah?" Tanya Manaf.
Hasan menggelengkan kepala. "Nggak ada yang pernah ajarin akau solat. Cara buat ngedoain Mamah dan Papah juga aku nggak tahu."
"Mau Ustadz ajarkan?"
"Nggak mau!" ucap Hasan sambil membuang muka.
Manaf tidak mau memaksa Hasan untuk saat ini. Sedari awal, Hasan memang satu-satunya anak yang tidak suka didekati seperti anak-anak yang lainnya. Hasan cenderung cuek dan menutup diri.
Tak lama setelah itu, adzan isya pun berkumandang. Manaf meminta izin untuk melaksanakan solat isya, setelah sebelumnya ajakannya pada Hasan ditolak lagi.
Untuk saat ini, mungkin Hasan sedang tidak ingin untuk melakukan sesuatu hal yang lebih. Manaf harus berusaha untuk memahami terlebih dulu suasana dan perasaan Hasan. Maka dari itu, Manaf tidak memaksanya.
Mereka berdua pulang ke Panti Asuhan Al-Hafidz. Untuk hari ini, Manaf absen mengajar dari pesantren. Semuanya terjadi hanya untuk mencari Hasan.
Sesampainya di panti, mereka berdua disambut dengan aroma makan malam yang begitu menggugah selera. Arkan langsung pergi ke dapur, sedangkan Hasan enggan untuk ikut makan malam bersama anak-anak panti yang lainnya.
"Maa Syaa Allah, siapa yang masak malam ini?" Tanya Manaf.
"Yang masak Kak Via, Ustadz," ucap salah seorang di antara anak-anak.
Manaf kira, Aini yang memasak, ternyata Via. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar dapur dan tidak ditemukannya Aini di sana. Padahal, Aini diamanahkannya untuk memasak dan menjaga anak-anak panti.
Ada perasaan kecewa di hati Manaf. Dia kira, Aini akan amanah terhadap tanggung jawab yang diberikan olehnya, ternyata tidak. Tidak ingin sedikitpun dia bertanya keberadaan Aini pada anak-anak. Ternyata hatinya sudah terlalu kesal.
Jika saja Ummi Hawa tahu, bahwa anak-anak tidak diawasi, pasti beliau sangat marah. Apalagi ada Farhan yang masih sangat kecil. Sedewasa apapun Via, dia tetap saja masih remaja dan butuh pengawasan dari orang dewasa.
"Dek Farhan mana, Via?" Tanya Manaf pada Via yang sudah biasa mengasuh Farhan.
"Tidur di kamar, Ustadz," jawabnya.
Nafsu makannya seketika hilang bersamaan dengan rasa kecewanya pada Aini. Dia tahu, bahwa dirinya baru mengenal Aini. Namun, jika di awal saja anak-anak panti ditinggalkan seperti ini, bagaimana dengan nanti? Seandainya saja dirinya tidak diamanahkan di pesantren dan RTQ, sudah pasti dia memilih untuk fokus saja di panti asuhan.
Dengan sisa kekecewaan yang ada, Manaf membuka pintu kamar anak-anak sambil mengembuskan nafasnya kasar. Di tempat tidur bayi, dirinya tidak menemukan Farhan. Manaf mulai panik dan mencari-cari keberadaan Farhan.
Saat dirinya tidak menemukan Farhan di kamar, dia memutuskan untuk mencarinya di ruangan lain. Ternyata, seseorang tengah menggendong Farhan di ruang tamu panti sambil memegangi dot yang disusu oleh Farhan. Ternyata itu Aini.
"Saya kira, anda pergi meninggalkan anak-anak panti," ucap Manaf yang saat itu berhasil membuat Aini terperanjat kaget, hingga Farhan yang baru saja tertidur kembali bangun dan menangis.
"Sudah satu jam lebih saya berusaha untuk menidurkan Farhan. Sekarang dia menangis lagi. Anda harus tanggung jawab!" ucap Aini.
Manaf tersenyum, seolah menyepelekan usaha Aini untuk menidurkan Farhan. "Haha, kenapa harus membuang waktu selama itu untuk menidurkan Farhan. Sini, biar saya yang menidurkannya," ucap Manaf angkuh.
Manaf mengambil alih Farhan dari Aini. Aini menatap Manaf tidak percaya saat Farhan tiba-tiba menghentikan tangisnya saat berada di pangkuan Manaf.
"Hasan sudah kembali?" Tanya Aini.
Manaf mengangguk sambil duduk di atas sofa. "Kita harus melakukan pendekatan yang berbeda pada Hasan. Dia masih belum terima dengan kepergian orang tuanya. Kejadian yang saya dapatkan, terlalu tragis jika harus diceritakan kepada anda. Yang penting adalah, kita harus membuatnya nyaman dan merasa disayangi. Anggap saja anak-anak di sini adalah anak-anakmu," ucapnya.
Jika Aini membayangkan, dirinya seolah diajak bermain peran untuk menjadi seorang ibu, dan Manaf menjadi seorang ayahnya. Sangat tidak terbayang jika itu terjadi di kehidupan nyata, dengan anak yang begitu banyaknya.
"Anda harus belajar sendiri, sebab besok atau lusa belum tentu saya bisa mendampingi anda di sini. Dan memang kurang baik juga jika sering seperti ini. Bisa-bisa, kita dipaksa menikah oleh orang-orang," ucap Manaf yang membuat Aini membulatkan matanya sempurna.
"Haha, saya hanya bercanda. Besok saya sudah harus kembali fokus di pesantren dan di RTQ. Kemungkinan kecil sekali saya menengok anak-anak panti. Anda harus berperan aktif dalam mengajar anak-anak. Tempatnya di saung baca. Untuk anak-anak yang masih kecil, In Syaa Allah mulai besok beberapa pengasuhnya sudah kembali di sini."
Aini mengangguk paham. "Baik."
"Jangan rindu pada saya!"
Aini memutar bola matanya malas. "Jaga bicara anda. Anda bukan tipe yang harus saya rindukan!"
Manaf terkekeh, terlebih saat melihat ekspresi wajah Aini yang begitu menggemaskan.
***
Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan Sampai jumpa di chapter selanjutnya yaa:)
#18/04-2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top