2. Masa Lalu Alif
Happy reading 😘
🌷🌷🌷
Sebuah foto usang ikut tertarik saat Alif mengambil baju di lemari. Pagi ini ia memanfaatkan waktu untuk berkemas sebelum berangkat ke kampus. Dosen muda itu harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum kepulangannya ke Jogja.
Satu minggu telah berlalu sejak pembicaraannya dengan Virdiano. Ia memutuskan akan berangkat besok. Ini kepulangan pertama setelah sepuluh tahun dirinya meninggalkan Jogja. Jogja, kota yang menyisakan kenangan manis sekaligus pahit bagi seorang Ghazi Alif Prasetya.
Diambilnya dua lembar foto dari bawah tumpukan bajunya. Ia kemudian beranjak perlahan menuju kursi yang terletak di depan meja kerja dan mengempaskan tubuhnya.
Rasa rindu berbalut luka seketika hadir dalam dada Alif. Ia sengaja menyembunyikan foto-foto itu. Sebuah kenangan yang menyisakan banyak luka di dalamnya.
Alif menatap foto pertama di mana dirinya masih mempunyai keluarga utuh. Papa, Mama, dan adik perempuannya. Sejak bayi ia hanya dibesarkan oleh Sherly, mamanya. Pemuda itu merasa kebahagiaan yang lengkap ketika papa dan mamanya akhirnya bersatu kembali.
Keluarga kecil mereka terasa sempurna dengan kehadiran Alia, adik perempuannya. Namun, rupanya permainan takdir tidak berpihak kepadanya. Kebahagiaan yang sempurna itu hanya bertahan beberapa tahun saja.
Pada saat itu Alif sedang mengikuti darmawisata ke Bali bersama teman-teman sekolah. Perayaan setelah semua siswa kelas enam sekolah dasar selesai mengikuti ujian akhir nasional. Tiba-tiba wali kelasnya mengajak Alif untuk segera pulang ke Jogja. Padahal mereka baru saja sampai di Denpasar.
Pak Burhan—wali kelasnya—mengajak Alif pulang dengan pesawat penerbangan pertama. Selama di pesawat beliau hanya mengatakan bahwa orang tua Alif mengalami kecelakaan. Alif syok mendengar berita tersebut. Selama perjalanan ia merapal semua doa untuk keselamatan keluarganya dengan cucuran air mata.
Begitu turun dari pesawat Alif langsung disambut oleh Virdiano. Pria itu memeluk erat tubuh Alif. Sepanjang perjalanan menuju rumah pria berkacamata itu terus menyemangati dirinya agar sabar dan kuat. Ia hanya bisa tersedu di kursi penumpang. Alif berharap apa yang berkecamuk di otaknya tidak terjadi.
Alif langsung membuka pintu mobil dengan tergesa. Bocah laki-laki itu berlari dan berteriak histeris begitu melihat bendera putih yang berkibar di depan rumahnya. Bendera yang melambangkan sebuah kematian. Ia berontak tatkala orang-orang berusaha memeluknya.
Kakinya membeku. Tubuh Alif luruh ke lantai dengan teriakan yang menyayat hati siapa pun yang mendengarnya. Ia menatap ketiga jenazah yang sudah tertutup kain putih, hingga akhirnya kegelapan merenggutnya dari kesadaran.
"Alif sayang ... yang kuat ya. Alif sekarang jadi anak Bunda dan Ayah. Aisyah akan jadi adikmu. Kita sekarang keluargamu. Jangan pernah takut dan bersedih lagi, ya," tutur Bunda Jihan usai pemakaman.
Alif bergeming. Sebuah kehilangan yang menyisakan lubang besar di hati bocah lelaki berusia sebelas tahun.
Sejak saat itu Ghazi Alif Prasetya diboyong dan resmi menjadi anggota baru keluarga Virdiano. Perlu waktu satu tahun bagi Alif menerima keluarga barunya. Kehilangan menjadikan bocah itu jadi lebih pendiam dan pemarah.
Perlahan kesedihan Alif berganti kehangatan. Bunda Jihan begitu sabar dan telaten menghadapi sikap Alif yang dingin pasca kehilangan keluarganya. Belum lagi kehadiran Aisyah, anak perempuan yang begitu cerewet. Selalu bertanya segala hal dan menempel bak prangko.
Mata Alif menatap foto yang kedua, foto dirinya dan Aisyah. Tampak dalam foto itu Alif tersenyum lebar bersama Aisyah yang bergelayut di lengannya. Aisyah saat itu masih berusia enam tahun, sedangkan Alif sudah berusia dua belas tahun.
Foto itu di mana setahun sudah Alif tinggal bersama keluarga barunya. Alif sudah bisa tertawa lagi. Ayah Virdi dan Bunda Jihan benar-benar menjadi orang tua bagi dirinya. Mereka menyayanginya dengan tulus dan tidak membeda-bedakan ia dengan Aisyah.
"Mas Alif!" seru Aisyah. "Tungguuu, Ai!" Aisyah berjalan dengan cepat mengejar langkah Alif yang lebar.
"Kakak! Aku nggak mau dipanggil mas." Alif mendadak menghentikan langkahnya dan berbalik badan membuat Aisyah yang berseragam TK menabrak tubuhnya.
"Apaan sih, Mas Alif ini. Sakit, tauk!" Aisyah meringis sambil mengusap-usap kepalanya. "Nggak mau. Ai nggak mau panggil Kakak. Pokoknya Mas ... ya ... Mas!" Aisyah meleletkan lidah sambil berlari meninggalkan Alif yang menahan kesal.
Alif sebenarnya merindukan Alia, adiknya yang sudah meninggal. Alia selalu memanggilnya dengan sebutan kakak. Akan tetapi, Aisyah bukanlah seperti Alia yang penurut. Gadis itu terlalu keras kepala dan seenaknya sendiri sejak kecil.
Tanpa sadar selarik senyum terbit dari bibirnya. Ada sebait rindu yang menyusup dada. Dia rindu mendengar kecerewetan dan segala keusilan gadis yang tumbuh besar bersamanya.
Dering ponsel membuyarkan segala lamunan masa lalunya. Bergegas ia meraih ponsel yang tergeletak di ranjang dan mengusap ikon panggilan pada layar.
Suara serak seorang gadis menghiasi telinga. Alif tahu gadisnya habis menangis. Hatinya serasa tercubit. Perasaan bersalah menggerogoti dirinya.
Alif bukanlah seorang pria pembohong. Ia selalu memegang teguh kejujuran. Kali ini pria itu menyesali diri. Ternyata kejujurannya berbuah menyakiti kekasihnya.
"Aku akan ke toko nanti malam. Kita akan bicara. Oke? Just, don't be sad Beib." Alif masih berusaha menenangkan Harumi lewat sambungan telepon. Ia berjanji akan secepatnya datang ke toko dan menjumpai gadis cantik itu.
Kemudian Alif pergi ke kampus. Tempat di mana ia selama tiga tahun ini menjadi dosen di Fakultas Teknik, Universitas Tohoku.
Sebenarnya permohonan cuti Alif sudah disetujui dari pihak kampus. Akan tetapi, hari ini ia mempunyai janji temu dengan salah satu mahasiswanya yang sedang melakukan penelitian.
Alif mendongak ketika pintu ruang kerjanya dibuka. Sosok pria jangkung bermata elang langsung saja mengempaskan pantat di kursi, tepat di hadapannya.
"Hai, Bro! Gue denger lo ambil cuti panjang ya?"
"Huum." Alif hanya menjawab singkat tanpa melihat lawan bicaranya. Pandangannya terarah pada berkas-berkas di mejanya. Ia kemudian mengembalikan berkas-berkas itu pada folder asalnya ke kabinet di belakangnya.
Pria yang menjadi idola para mahasiswi itu mendengkus pelan. Ia merasa kehadirannya diabaikan oleh sang sahabat. Pria jangkung itu hendak beranjak dari kursi ketika sebuah suara menahannya.
"Tunggu. Gue minta maaf, pikiran gue kacau balau seminggu ini." Alif menatap sahabatnya dengan sorot permohonan maaf. "Gue nggak bisa cerita sekarang. Besok gue harus berangkat ke Jogja," sambungnya seraya bangkit.
Alif menepuk bahu Ryuga dan sedikit meremasnya. Ia meninggalkan sang sahabat yang masih terdiam dengan raut bingung.
Ryuga adalah sahabat Alif. Pria jangkung itu berdarah blasteran Jepang-Indonesia. Hanya saja sahabat Alif itu sangat fasih berbahasa Indonesia dikarenakan ibunya adalah orang Indonesia. Bahkan Ryuga sempat tinggal di Jakarta beberapa tahun.
Kemeriahan malam hari kota Sendai mulai tampak. Kelap-kelip lampu menghiasi suasana ibu kota prefektur Miyagi di malam hari. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi berada di sisi kanan-kiri jalanan utama.
Udara dingin menyusup di sela-sela jaket yang dikenakan Alif. Pemuda itu berjalan keluar dari stasiun Nakanosae hendak menuju toko bunga Harumi.
Musim semi di Jepang bagi seorang pendatang seperti Alif tetap saja terasa dingin. Pria berambut ikal tersebut menggosokkan kedua telapak tangannya sambil terus berjalan. Ia berharap sedikit kehangatan menjalar naik ke tubuhnya.
Suasana "Flower Talk" sudah sepi. Semua pegawai tampaknya sudah pulang. Alif menggeser pintu dorong dan mendapati Harumi sedang melamun di sofa.
Alif tersenyum dan mengecup pipi Harumi bergantian setelah menyapa gadis cantik itu. Ia kemudian mengajak Harumi keluar. Keduanya menuju kedai yang berjarak lima puluh meter dari "Flower Talk". Pemuda itu sangat yakin bahwa kekasihnya belum makan.
Tak lama mereka memesan Gyutan. Makanan khas Sendai yaitu berupa lidah sapi panggang. Alif memaksa Harumi untuk menghabiskan makanannya.
"Aku belum tahu berapa lama di sana. Jaga dirimu baik-baik. Be a nice girl." Pandangan Alif menyorot lembut kepada Harumi.
"I love you, so much." Air mata Harumi kembali luruh. Gadis berhidung mungil itu menatap Alif dengan sendu.
"I know. Aku akan mencari jalan untuk kita. Oke? Kamu jangan khawatirkan apa pun." Alif berkata dengan lembut sambil mengusap punggung tangan Harumi. Ia berusaha meyakinkan sang kekasih walaupun terselip rasa ragu atas kata-katanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top