File 8
Pemandangan tak biasa tampak di depan mataku sejak aku masuk ke area sekolah, lebih tepatnya ke dalam kelasku. Aku terkejut ketika melihat teman-temanku berkerumun di teras kelas tanpa alasan yang aku ketahui.
Aku hanya bisa memandang keheranan tanpa berkata sepatah katapun. Mia yang sepertinya juga baru datang sepertiku melakukan hal yang tak jauh berbeda denganku, berdiri menatap seluruh penghuni kelas dengan sejuta tanda tanya.
"Kok tumben banget ribut gini? Kenapa, sih?" gumamku. Mia yang berada di dekatku tidak hanya tinggal diam melihat semua ini. Dia harus mencari tahu penyebab semua ini.
"Eh, Lusi. Kenapa, nih? Kok pada ribut, ya?" tanya Mia.
"Eh, Mia. Kamu baru dateng, ya? Ini, lho. Kelas kita dapet bagian bersihin halaman belakang," terang Lusi.
"Apa?! Halaman belakang?!" seruku dan Mia secara bersamaan. Aku tahu bahwa halaman belakang adalah tempat yang dianggap angker oleh seluruh siswa di sekolah ini karena pernah menjadi TKP dari seuah kasus pembunuhan.
"Tapi, kenapa?" tanyaku. Lusi hanya mengdikkan bahu.
"Entahlah, aku nggak tau. Coba kalian tanya pak guru." Tanpa pikir panjang, aku segera melatakkan tas ranselku kemudian pergi untuk bertanya pada salah satu guru.
Mia bahkan sudah berlari meninggalkanku sebelum melatakkan tas ranselnya. Aku segera menyusulnya. Dia benar-benar penasaran mengapa hanya kelas kami yang ditugaskan untuk membersihkan halaman belakang.
"Pak guru, kenapa kelas kami mendapat giliran membersihkan halaman belakang?" tanya Mia pada Pak Heri, guru sekaligus Pembina OSIS yang kebetulan lewat tak jauh dari kelas kami.
"Oh, itu ya. Pak guru tidak tau. Itu kan usulan dari ketua OSIS. Pengawas dari provinsi akan datang ke sekolah kita hari ini. Jadi, mungkin kita akan pulang lebih awal sekarang," jelas Pak Heri. Aku sangat tertarik dengan kata 'pulang lebih awal.' Sejak aku SMA, hampir tidak pernah aku pulang lebih awal.
Sebaliknya, Mia sepertinya lebih tertarik dengan kalimat 'usulan dari ketua OSIS.' Entahlah, aku tidak tahu apa pasti apa yang dirasakannya ketika mendengar kalimat itu dari Pak Heri.
Aku juga tidak tahu pasti apa yang membuatnya terdiam cukup lama hingga pak guru berlalu meninggalkan kami.
"KEEVIIIIN ...!!!" Mia berteriak kencang sekali. Telingaku seketika terasa sakit. Kebetulan jarakku dengannya tidak terlalu jauh. Bahkan bisa dikatakan sangat dekat.
Bukan hanya aku, siswa lain yang berada tak jauh darinya juga sangat terkejut. Beberapa di antaranya juga menutup telinganya sepertiku. Bahkan, Pak Heri yang belum terlalu jauh mengelus dadanya seraya mengucapkan pujian kepada Tuhan.
"Ada apa? Panggil aku kok pake teriak-teriak segala, sih? Telingaku masih peka, lho," ujar Kevin yang datang entah darimana. Dia datang seperti the flash yang memiliki kekuatan berlari secepat kilat. Tapi, aku rasa itu tidak mungkin. Atau, apa mungkin dia adalah stalker?
"KEVIN! Kenapa ...? Kenapa kau melakukan hal bodoh seperti itu?!" tanya Mia dengan berteriak. Kemarahannya sudah sampai pada puncaknya. Sehingga dia bisa menarik kerah baju Kevin yang berdiri tak jauh darinya tanpa rasa takut. Kevin yang kerah bajunya ditarik nyaris saja tidak bisa bernapas.
"Kamu pasti sudah gila! Tidak akan ada satu pun orang yang berani membersihkan tempat yang dianggap angker seperti itu!!" teriak Mia lagi. Sejujurnya aku merasa kasihan pada Kevin, tapi aku tidak punya pilihan lain selain tetap diam.
"Ba-baik. Aku akan jelaskan. Tapi tolong lepaskan aku dulu. Aku tidak bisa bernapas." Lehernya yang seperti tercekik membuatnya kesulitan bicara.
"Udahlah, Mia. Kamu nggak kasian? Nanti kalo dia sampe mati kan panjang urusannya." Akhirnya setelah lama terdiam dengan rasa takut, aku memberanikan diri untuk bicara untuk menengahi mereka.
"Kira benar. Tolong lepasin ... aku," ucap Kevin lagi. Mia hanya mendengus kesal kemudian melepaskan kerah baju Kevin. Meskipun dengan sangat terpaksa, setidaknya Kevin bisa bernapas dengan lebih lega sekarang.
"Aku heran, kenapa mereka rela memilihmu menjadi ketua OSIS dulu? Padahal memikirkan hal seperti itu saja kau tidak bisa," kata Mia kesal.
Kevin masih berusaha mengatur napasnya yang menderu seperti orang yang baru selesai lari marathon. Tubuhnya sedikit lemas karena tercekik. Dia masih mangandalkan salah satu pilar di koridor sebagai pegangan agar tidak terjatuh.
"Bukan begitu, Mia. Aku melakukan ini supaya kita bisa lebih leluasa menyelidiki TKP. Kita akan cepat dicurigai jika kita melakukan ini secara terang-terangan," jelas Kevin dengan napas yang masih terengah-engah.
"Tapi kamu tau kan kalo tempat itu dianggap angker?! Jadi, tidak akan ada satu pun orang yang berani ke tampat itu. Artinya, kita harus membersihkan tempat itu bertiga!" sanggah Mia setengah berteriak.
Iya, setengah. Maksudku setengah dari teriakannya yang membelah atmosfer. Namun bagiku itu tetap saja memekakkan telinga.
"Maafkan ... aku. Aku tidak berpikir sampai sejauh itu," ucap Kevin dengan nada menyesal, meskipun sebenarnya aku ragu jika dia benar-benar menyesal.
"Oh, iya! Hei, Kevin. Kamu kan ketua kelas. Kamu suruh aja mereka buat bantuin buat bersihin halaman belakang," usulku.
"Ah, iya benar. Kok aku lupa, ya? Aku kan ketua kelas." Dia benar-benar terlihat bersemangat.
"Terserah kamu, deh. Aku nggak peduli," respons Mia lalu pergi meninggalkan kami berdua.
"Kira, makasih ya. Kalo kamu nggak bantuin, aku bisa mati kehabisan oksigen," ungkapnya. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Tentu saja aku akan selalu membantumu semampuku. Karena sepertinya aku mulai tertarik padamu," batinku seraya memandangi seringaian yang selalu membuatku selalu teringat padanya.
Jantungku berdebar kencang.
Rasanya bahagia saat berada di dekatmu
Apakah aku sedang jatuh cinta?
------x---x------
Kadar kekesalan Mia pada saat itu juga sepertinya sudah banyak berkurang. Tetapi, kekesalan itu kembali meningkat drastis ketika upacara bendera usai. Ketika semua kelas pergi untuk membersihkan bagian mereka masing-masing.
Dari dua puluh delapan siswa, tidak ada satu pun yang mau bergerak kecuali kami berempat. Artinya, dua puluh empat siswa lebih memilih untuk membersihkan kelas. Padahal, kepala sekolah sudah memberi instruksi agar jumlah kedua kelompok sebanding.
Oh, iya. Kami jadi berempat karena Sisi hanya menurut tanpa banyak komentar ketika Kevin memerintahkannya untuk ikut membersihkan halaman belakang.
Namun, itu tetap saja tidak bisa meredakan kekesalan Mia. Dia berkali-kali ingin menarik kerah baju Kevin lagi seperti tadi. Tetapi untungnya Kevin sudah bersedia pada pertahanannya sehingga Mia selalu gagal.
Halaman belakang sekolah terlihat lumayan bersih. Dibandingkan taman atau halaman depan, halaman belakang jauh lebih bersih. Hanya ada beberapa sampah daun dari sebuah pohon jambu biji. Sepertinya petugas kebersihan sekolah selalu membersihkan tempat ini tanpa peduli rumor yang beredar. Yah, untung saja.
Tak lama kemudian, tugas kami selesai. Sekarang hanya tinggal membuang sampah yang sudah terkumpul ke tempat pengolahan sampah. Ini bukan tugas kami lagi. Ini adalah tugas Kevin. Namun, dia pergi entah kemana. Padahal Mia sudah menyuruhnya untuk tetap diam di tempat.
"Kevin mana, sih? Tadi kan udah janji," gerutuku sembari melihat ke sekeliling.
"Awas saja kalo berani kabur. Aku laporin ke Pak Heri biar jabatannya diturunin, atau dipecat aja sekalian," Mia mengancam.
"Coba kamu panggil dia," aku menyarankan.
"KEVIN! Kamu dimana, sih?!" teriak Mia. Untung saja teriakannya tidak sekencang tadi.
"Aku disini!" Aku bisa mendengar suara Kevin dengan jelas meskipun dia tidak ada disini.
"Disini itu dimana?!" aku ikut-ikutan berteriak. Ajaibnya, dia langsung muncul setelah aku berteriak. Dia tersenyum semringah seperti seorang gadis yang sedang jatuh cinta pada pandangan pertama. Yang kumaksud bukan aku!
"Coba kalian tebak, aku barusan darimana hayo ...?" Kevin mencoba membuat kami penasaran, tapi gagal.
"Aku nggak peduli! Cepet buang sampahnya terus lapor ke Pak guru kalo kita udah selesai!" teriak Mia. Yang diteriaki hanya menurut.
Anehnya, meskipun diteriaki, senyuman yang terlukis di wajahnya tetap tidak memudar. Benar-benar mencurigakan.
------x---x------
Apa yang dikatakan pak guru tadi pagi benar-benar terjadi. Pada pukul sepuluh tepat, kami sudah pulang sekolah. Tidak seperti biasanya. Namun sayang, kali ini aku harus pulang sendirian. Mia yang tadinya bersamaku memilih untuk pergi lebih dulu karena ada urusan mendadak, katanya.
"Palingan juga dia mau pulang bareng cinta pertamanya," komentar Lusi ketika aku menceritakan alasan aku pulang sendirian.
"Cinta pertama?" tanyaku heran.
"Aku pikir dia udah ngasi tau kamu. Yah, dia memang tertarik sama cowok itu sejak SMP," jelasnya. Aku masih bingung. Aku tidak tahu siapa yang dia maksud.
"Siapa?" tanyaku penasaran.
"Ada," jawabnya singkat. Jawaban yang sama sekali tidak memuaskan rasa ingin tahuku. Walaupun begitu, aku hanya bisa mengangguk paham. Aku tidak bisa memaksa jika itu memang rahasia.
"Kamu anak tunggal, ya?" tanyanya.
"Iya, kenapa?" aku bertanya balik.
"Nggak ada, sih. Cuma iseng aja nanya. Aku kira kamu punya kakak kayak aku. Dia sekarang sedang kuliah semester awal. Kami cuma beda dua tahun," jelasnya tanpa kuminta.
"Dulu kakakmu juga sekolah disini, kan?" tanya Kevin yang datang entah darimana. Aku sedikit terkejut. Lagi-lagi dia muncul dengan cara misterius seperti itu.
"Iyalah! Yang gitu aja kamu tanyain," jawab Lusi dengan ketus. Wajar saja dia melakukan itu pada Kevin yang entah darimana datangnya lalu ikut dalam pembicaraan.
"Apa kakakmu punya hubungan dengan kasus setahun lalu?" tanya Kevin datar. Tanpa mempedulikan perasaan Lusi yang ditanyai dengan pertanyaan paling ambigu di sekolah ini.
"Apa yang kau bicarakan?! Kakakku bukan seorang kriminal!" Sudah aku duga. Kejadiannya pasti tidak akan jauh berbeda dari dugaanku.
"Sejak kapan aku bilang dia adalah pelakunya. Aku kan hanya bilang apa dia punya hubungan. Misalnya kakakmu adalah kekasih dari korban." Aku tidak mengerti metode interogasi macam apa yang dia gunakan saat ini.
"Asal kau tau saja. Kakakku sama sekali tidak pernah membenci seorang gadis pun di dunia ini sebesar kebenciannya pada Agnes!" Lusi yang merasa terpojok semakin kesal. Tidak seperti Kevin yang terlihat tetap santai.
"Hmm ..., kebencian itu motif yang cukup kuat untuk membunuh seseorang." Aku tidak menyangka. Ternyata inilah tujuan dari Kevin yang sebenarnya. Membuat Lusi benar-benar terpojok dengan memanfaatkan perasaannya yang begitu labil dan mudah terprovokasi. Aku sangat kagum, sampai-sampai aku hanya bisa diam membisu melihat teknik Kevin yang selanjutnya.
"Kalian detektif payah!" teriaknya kemudian pergi meninggalkanku dan juga Kevin yang masih menyeringai puas.
"Bagaimana menurutmu, Kira?"
"Keren. Cara interogasi yang bagus," pujiku. "Tapi, kasian juga sih."
"Yah, apa boleh buat. Aku tidak akan mendapat informasi jika tidak memakai cara itu. Lagipula, ada yang ingin aku bicarakan denganmu secara empat mata. Jika aku tidak melakukan itu, dia tidak akan mau pergi," terangnya. Aku mengangguk paham. Cara yang bagus. Lain kali aku akan memakai cara ini juga.
"Aku juga ingin melaporkan hasil interogasi kemarin," balasku.
"Oh ya? Apa hasilnya?"
"Dia bilang pelaku satu sekolah dengan kita. Selain itu, pelaku bukan orang yang dibenci korban, tetapi orang yang sangat dicintainya," jelasku. Kevin mengangguk paham.
"Hanya itu?"
"Iya."
"Artinya Ivan sama sekali tidak lolos dari kecurigaan. Bisa saja Agnes tidak sadar jika Ivan membencinya, lalu dia tidak balas membenci Ivan. Bisa saja, kan?" Aku hanya mengdikkan bahu karena tidak tahu harus menjawab apa.
"Apapun itu, semua orang memiliki peluang untuk menjadi kriminal. Tidak peduli siapapun dia," ucapnya. Kali ini aku hanya mengangguk setuju.
"Jadi, sekarang giliranmu. Apa yang ingin kau katakan?" tanyaku. Kevin terlihat tersentak kaget.
"I-itu ... tidak jadi. Besok saja kuberitahu."
"Jahat! Ketua yang baik harus menepati janji."
"Iya, deh. Tapi jangan kasi tau siapa-siapa, ya."
"Oke."
"Sebenarnya, aku sudah lama menyukai Mia," jawabnya dengan berbisik.
DEG! Bagaimana mungkin? Aku baru saja menyadari perasaanku padanya. Sekarang dia mengatakan jika dia menyukai sahabatku sendiri. Tidak mungkin aku harus merebut Kevin darinya.
"Tapi, bukankah dia selalu bersikap kasar padamu?" komentarku dengan hati yang terasa benar-benar perih.
"Aku tau itu. Sejak awal dia memang seperti itu. Tapi, dibalik sikapnya yang temperamental, aku tau jika dia memiliki rasa peduli yang sangat tinggi," balasnya.
"Karena itu, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku akan mengungkapkan perasaanku ketika kasus ini tuntas," katanya.
"Oh, begitu ya." Aku menundukkan wajahku dalam-dalam. Berusaha sekuat tenaga mencegah air mataku agar tidak jatuh.
Kira, kau harus kuat.
Tuhan akan memberikan yang lebih baik.
Kau tidak boleh menangis.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top