File 7
Rumah Steve sangat luas bagi sebuah keluarga yang dikenal sebagai pemilik perusahaan paling berpengaruh di kota ini. halamannya luas ditumbuhi rerumputan. Hanya saja, ada sedikit sekali bunga yang tumbuh di halaman itu. Ada salah satu jendela yang terkunci. Gordennya juga tertutup. Menurutku rumah ini sama misteriusnya dengan rumah Sisi. Bahkan, mungkin lebih misterius malah.
Awalnya, aku tidak terlalu peduli dengan jendela itu. Menurutku, itu bukanlah hal aneh karena beberapa orang biasanya bangun terlambat pada hari libur. Tetapi, setelah aku sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, aku merasa itu adalah hal aneh. Dunia ini memang penuh dengan misteri.
"Jadi, siapa yang duluan?" tanya Kevin membuka diskusi. Yah, walaupun kami hanya berempat, anggap saja memang begitu.
"Kamu aja yang ngaku ketua tim," kata Mia. Meskipun kekesalannya sudah banyak menguap, tapi sepertinya masih ada yang tersisa.
"Iya, itu bener pak ketua," responsku.
"Oke, kalau begitu aku saja yang duluan. Aku melakukan penyelidikan ini di kantor polisi. Aku menanyakan informasi tentang kasus ini pada salah satu anggota polisi. Awalnya, dia tidak mau memberitahuku. Tapi, aku terus meyakinkan mereka bahwa ini adalah tugas dari sekolah. Selain itu, Anna yang terus mendesak ikut akhirnya berguna juga. Dia ikut-ikutan membujuk polisi itu dengan wajah paling manisnya.
“Akhirnya, aku mendapat informasi tentang barang bukti berupa pisau lipat yang diduga digunakan untuk menusuk leher korban. Selain itu, ada sedikit serpihan kaca kecil di dekat korban dan bercak noda darah di tembok tak jauh dari TKP," jelas Kevin panjang lebar. "Kasus itu sudah lama sekali sehingga menjadi cold case."
"Hanya itu saja?" tanyaku.
"Iya," jawab Kevin.
"Apa kau sempat bertanya tentang sidik jari yang ada di pisau lipat itu?" tanya Mia. Sekarang, kekesalannya sudah menguap semuanya.
"Oh, iya. Tidak ada sidik jari siapapun di pisau lipat itu."
"Hah! Mana mungkin?" Mia tersentak kaget.
"Tentu saja mungkin. Everything is possible. Bisa saja kan, misalnya pelaku memakai sarung tangan," tukas Kevin.
"Bukan itu maksudku. Tapi, apa sidik jari Sisi juga tidak ada?"
"Tidak. Pisaunya tidak menyentuh tangan gadis itu meskipun jaraknya sangat dekat."
"Sedikit sekali informasi yang kamu dapat, Kevin."
"Aku sudah lelah membujuk polisi itu. Tapi dia tetap nggak mau ngasi info lengkap. Anna juga sudah bosan, jadi dia pulang lebih dulu." Mia yang mendengarnya hanya bisa menghela napas.
"Ya sudahlah. Sekarang siapa?" tanyanya.
"Aku saja," kata Steve.
"Oke, silahahkan."
"Mungkin hanya aku yang melakukan penyelidikan tanpa perlu keluar rumah. Caraku ini sangat sederhana. Kebetulan aku punya kenalan yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit. Nah, aku memintanya untuk mencari informasi tentang Sisilia dan hasil autopsi korban. Aku meyakinkan bahwa ini adalah tugas dari sekolah. Akhirnya dia setuju untuk membantuku. Aku juga mengancam akan meretas handphone miliknya jika dia memberiku informasi yang salah atau sengaja membohongiku.
"Sisilia hanya mendapat luka memar di tengkuknya karena pukulan keras dari benda tumpul. Dia juga kehilangan sebagian ingatannya akibat pukulan itu. Sedangkan Agnes mendapat luka cukup dalam di lehernya yang mengenai pembuluh darahnya dan membuatnya tewas seketika," terangnya.
"Kejam sekali caramu," aku berkomentar.
"Yah, tidak ada cara lain."
"Tapi, kau yakin dia tidak bohong?" tanya Kevin.
"Aku yakin. Dia takut sekali jika aku mengancam akan meretas handphonenya hingga tidak bisa berfungsi dengan baik," jawab Steve tanpa keraguan sedikit pun.
"Sudah aku duga," kata Mia yang sejak tadi hanya terdiam.
"Apa maksudmu?" tanya Kevin heran.
"Aku yakin dia tidak berbohong. Setelah menginterogasi beberapa saksi--termasuk Sisilia--hasilnya semua sama. Tidak mungkin itu hanya kebetulan," ucap Mia dengan begitu yakin.
"Benarkah? Kau benar-benar menginterogasi gadis itu?" tanya Kevin semakin penasaran.
"Sebenarnya tidak juga. Aku tidak mengiterogasinya secara langsung. Dia sendiri yang menceritakan kejadian itu. Tapi setidaknya, kita tau bahwa pelaku lebih dari satu orang. Korban juga memang mendapat luka tusukan, dan Sisi sempat dipukul sampai jatuh terpelanting. Bukankah itu artinya itu sangat keras? Semua saksi yang sempat melihat korban juga mengatakan hal yang sama. Termasuk penjaga sekolah yang pertama kali menemukan korban," terangnya. Aku mengangguk paham, mulai mengerti kronologi kejadian ini sedikit demi sedikit.
Di rumah ini, sepertinya hanya ada Steve dan seorang laki-laki berusia kurang lebih sembilan belas tahun. Dia sepertinya orang yang dimaksud Kevin sebagai kakaknya Steve. Aku sama sekali tidak merasa heran sampai aku memperhatikan laki-laki itu lebih detail. Yah, dia itu sedikit aneh bagiku.
Bagaimana tidak? Dia terlihat seperti orang yang baru bangun tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Dia memakai pakaian serba gelap dengan kombinasi warna maroon yang melihatnya saja sudah membuat badan terasa gerah. Apalagi ketika langit sedang cerah tanpa awan. Anehnya, dia terlihat nyaman dengan pakaian seperti itu.
Dia terus-menerus berjalan bolak-balik di lorong yang menuju ke arah dapur dan ruang makan. Aku terus memperhatikan tingkah anehnya seraya terus bertanya dalam hati. Sayangnya, aku terlambat menyadari bahwa Steve juga sedang memperhatikanku dengan sebuah tatapan penuh selidik yang membuatku merinding.
"Apa yang kau lihat?" tanyanya. Sedangkan Mia dan Kevin tampak sibuk berdiskusi tentang kasus ini dan sama sekali tidak memperhatikan kami.
"Kau memperhatikan kakakku?" tanyanya lagi.
"Bu-bukan. Itu bukan apa-apa, kok," jawabku dengan cepat. Aku sedikit gugup mendengar nada bicara Steve yang terkesan seperti sedang menginterogasi.
"Kau tidak perlu berbohong. Aku memperhatikanmu sejak tadi," ujarnya. "Kau bukan orang pertama yang merasa aneh. Aku juga sering merasakan hal yang sama, tapi aku lebih sering tidak menghiraukannya. Dia memang begitu sejak setahun lalu."
Kevin seketika menghentikan perdebatannya dengan Mia. Aku juga tersentak kaget mendengar kata sejak setahun lalu.
"Apa maksudmu setahun lalu?" tanya Mia penasaran.
"Yah, harus kuakui. Kakakku memang memiliki hubungan erat dengan kasus yang sedang kita selidiki. Dia adalah kekasih dari korban. Dia mengalami depresi berat karena kematian kekasihnya yang begitu tragis. Karena itulah, dia lebih sering mengurung diri di dalam kamar. Dia percaya jika Sisilia itu bukan pelaku yang sebenarnya. Dia juga sangat benci pada pelakunya dan berjanji akan membunuhnya suatu hari nanti," jelas Steve.
“Kejam sekali," Mia berkomentar.
"Begitulah. Dia memang pernah mengatakan hal itu padaku," responsnya.
"Boleh aku tau lebih banyak tentang itu?" tanya Mia penasaran.
"Iya, aku juga penasaran," tambahku.
"Sebuah kasus bisa jadi lebih mudah untuk dipecahkan jika kita tau banyak informasi tentang orang-orang terdekat korban," ucap Kevin.
Steve sepertinya enggan berbicara tentang kakaknya itu. Tapi, apa boleh buat. Dia sudah kalah tiga lawan satu. Akhirnya, dia menyerah karena tidak tahu harus berbuat apa.
"Baiklah, jika kalian memaksa. Kakakku termasuk salah satu anggota tim baseball kebanggaan sekolah. Tetapi sejak kekalahannya di tournament membuat reputasinya memburuk. Sebelumnya, dia juga pernah menjadi korban percobaan pembunuhan. Polisi menduga motif pelaku saat itu adalah karena cemburu.
"Beberapa waktu yang lalu, dia juga sempat melakukan percobaan bunuh diri dua kali. Tetapi selalu gagal. Itu mungkin karena dia tidak bisa menerima takdir yang menimpa kekasihnya," jelas Steve dengan terpaksa.
Kevin mengangguk paham, meskipun aku yakin dia pasti perna mendengar informasi ini sebelumnya. Mia juga sepertinya sedang berpikir keras tenang kasus ini. Itu artinya dia sudah mengerti. Kecuali aku yang masih mencoba mencerna penjelasan dari Steve tadi. Jujur saja, ada beberapa hal yang masih mengganjal di pikiranku. Sayangnya, aku tidak tahu apa itu.
"Apakah pelaku percobaan pembunuhan itu sudah ditemukan?" tanya Kevin setelah lama terdiam, berpikir.
“Aku tidak tau banyak tentang kasus itu, dan itu karena aku sama sekali tidak peduli," jawab Steve datar.
"Jika kita tau siapa yang telah mencoba membunuh kakakmu, mungkin kita bisa menyelidikinya lebih lanjut sebagai tersangka utama kita," ungkap Mia.
"Itu benar. Seandainya saja aku ingat tentang kasus itu, aku mungkin akan bertanya pada polisi di sana," Kevin menambahkan.
"Kau yakin mereka mau memberimu informasi tentang itu?" tanyaku.
"Tentu saja. Nanti akan aku ajak Anna dan menyuruhnya untuk melakukan hal sama seperti kemarin," jawab Kevin dengan yakin. Seakan-akan peluang keberhasilannya adalah sejuta persen. Seakan-akan kegagalan adalah hal yang mustahil baginya.
"Sepertinya kita juga perlu mencari orang-orang yang tidak punya alibi. Tapi masalahnya, kasus itu sudah terlewat lama sekali," kata Mia.
"Nah, kalau begitu sekarang giliranmu, Kira. Kau yang menginterogasi gadis itu karena dia adalah satu-satunya saksi yang bisa kita andalkan. Kau hanya perlu menanyakan ciri-ciri pelaku padanya," terang Kevin.
"Baiklah, bukan masalah. Tapi, bukankah dia hilang ingatan?"
"Walaupun begitu, tapi tidak semuanya, kan? Buktinya, dia bisa menceritakan ulang kejadian itu. Aku yakin, pasti masih ada ingatan tentang ciri-ciri pelaku yang tersisa," jelasnya dengan semangat yang berapi-api. Mungkin inilah yang disebut sebagai rasa ingin tahu seorang detektif.
"Walaupun aku tidak pernah berbicara dengannya, aku yakin kakakku pasti mengharapkan banyak bantuan dari kalian," kata Steve dingin. Walaupun sebenarnya, dia seakan terlihat enggan mengatakan hal itu.
Baiklah ayo kita mulai penyelidikannya!
------x---x------
Matahari hampir berada di atas kepala ketika aku hampir sampai di rumah. Hari ini cuacanya cerah sekali. Sinar matahari sampai ke bumi tanpa dihalangi oleh satu pun awan di langit. Membuat wajah dan sekujur tubuhku basah oleh keringat. Membuat kerongkonganku kering dan sepertinya minta dialiri air.
Ketika jarakku dengan rumah hanya tinggal beberapa meter, aku teringat jika aku harus menginterogasi Sisi lebih lanjut. Aku sempat bingung, ''apakah lebih baik aku pulang dulu atau langsung ke rumahnya, ya?'' gumamku. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk langsung ke rumahnya.
Aku menekan bel pintu. Seperti biasa, tidak ada respons. Tetapi, anehnya kali ini tidak ada tangan yang menarikku masuk. Aku kembali menekan bel. Tidak ada respons. Saat aku akan menekan bel untuk yang ketiga kalinya, pintu terbuka separuh.
"Kira, kaukah itu?" tanya Sisi dari balik pintu.
"Iya, ini aku Kira," jawabku. Sisi muncul dari balik pintu. Tidak seperti biasanya, hari ini wajahnya terlihat sedih. Matanya terlihat basah.
"Ya ampun! Ada apa denganmu? Kenapa kau menangis?"
“Ayo masuk," ucapnya singkat. Aku segera masuk. Yah, sejujurnya aku sangat penasaran kenapa tingkahnya berbeda hari ini.
Tidak seperti biasanya, hari ini berbeda seratus delapan puliuh derajat dengan hari-hari sebelumnya. Padahal biasanya dia selalu menyambutku dengan wajah ceria dan senyum manisnya.
"Sebenarnya ada apa?" tanyaku lagi.
"Aku tau, kau datang untuk menginterogasi aku. Tapi, kau harus tau jika ingatanku sudah pudar," jelasnya. Aku tidak berkomentar.
"Aku tau kau ingin menanyakan ciri-ciri pelaku. Aku memang amnesia. Tapi, aku masih mengingatnya sedikit," katanya.
"Aku melihatnya samar-samar. Dia satu sekolah dengan kita. Dan dia bukan orang yang dibenci Agnes, tetapi orang yang sangat dicintainya," jelasnya lagi.
"Jadi, kenapa kau menangis?" tanyaku. Pertanyaan yang sama lagi.
"Kau tidak akan pernah mengerti," jawabnya.
"Aku memang tidak akan mengerti jika kau tidak menjelaskannya padaku."
"Kau tidak akan pernah mengerti!" serunya. Aku benar-benar kehilangan kata-kata.
"Oh, ya. Aku punya satu permintaan, Kira,” katanya. Aku menjadi sedikit antusias. Mungkin aku bisa memperbaiki suasana hatinya dengan cara mengabulkan permintaan kecilnya.
"Apa itu?" tanyaku penasaran.
"Tolong jangan sering-sering datang ke rumahku lagi,” jawabnya. Tubuhku seakan membeku. Aku yang tadinya ingin membuatnya senang mendadak tidak bisa berkata apa-apa.
Lidahku terasa kelu. Apa yang sudah aku lakukan sehingga dia ingin menjauhiku seperti ini? apa aku ini memang tidak pantas untuk menjadi seorang teman?
"Kenapa? Apa aku tidak boleh berteman denganmu?"
"Sudah kukatakan. Kau tidak akan pernah mengerti!" serunya lagi.
Hening.
"Baiklah, aku tidak akan datang lagi. Tapi, bolah aku meminta nomor handphonemu?"
"Untuk apa? Agar kau bisa menginterogasiku?"
"Tidak, bukan itu."
"Lalu apa?!"
"Aku hanya ingin menjadi temanmu, walaupun tak secara langsung."
Setelah lama terdiam, akhirnya dia memberikan nomor handphonenya dengan sangat terpaksa.
"Maaf, aku tak bermaksud mengusirmu. Tapi, bisakah kau tinggalkan aku sendirian disini?" pintanya.
"Baiklah, kalau begitu aku pamit, ya," ucapku sembari melangkah pergi menuju pintu keluar. Sebelum menutup pintu, aku menatapnya sejenak tepat di manik matanya.
Aku tau aku tidak boleh tinggal lebih lama disini. Aku sendiri yang ingin mengabulkan permintaannya. Apapun itu.
Karena itu aku segera pergi dan menutup pintu.
Meninggalkannya
Sendirian
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top