File 6

Hari ini hari Minggu. Tidak ada kegiatan sama sekali. Aku hanya tiduran sambil sesekali melihat layar handphoneku. Tidak ada telepon dari Mia, artinya tidak ada penyelidikan.

Aku benar-benar bosan. Berharap Mia segera menelpon, atau ada kegiatan seru apalah selain menonton film drama membosankan di televisi, membaca novel, atau sekedar tiduran saja.

Tiba-tiba, bel pintu berbunyi mengejutkanku. Tapi, aku tidak menghiraukannya. "Palingan juga teman ayah," pikirku. Bel pintu berbunyi lagi. Lagi-lagi aku tidak menghiraukannya.

Aku malas sekali beranjak dari tempat tidur. Seakan-akan perjalanan menuju pintu depan harus melewati tujuh samudra.

Bel kembali berbunyi. Aku tetap mengabaikannya. "Ini pasti tukang pos," gumamku.

"Kira-chan, ini ada temanmu datang!" seru ibu. Aku terkejut sekaligus bingung. Siapa yang datang? Temanku? Siapa? Mungkin Mia. Tapi, kenapa dia tidak menelponku dulu?

"Kira-chan, kau dengar ibu?" tanya ibu. Kali ini suaranya terdengar lebih keras dari yang tadi.

"Iya, aku dengar," sahutku seraya berjalan keluar kamar. Aku terus bertanya-tanya. Siapa sebenarnya yang datang? Aku semakin bingung ketika ibu berkata, "pacar kamu dateng, tuh."

"Hah?! Aku tidak punya pacar."

"Ya sudah. Cepetan sana. Kasian dia capek nunggu," kata ibu sembari berjalan kembali ke dapur.

Aku benar-benar terkejut ketika melihat yang datang ke rumahku memang laki-laki. Wajahnya terlihat familier. Sepertinya, dia hanya datang sendirian. Pantas saja ibu mengira orang ini pacarku.

"Kira, apa benar kau yang meminta kami datang?" tanyanya membuka pembicaraan.

"Ti ... tidak juga. Eh! Kami?" tanyaku keheranan. Apa maksudnya kami? Bukankah dia datang sendirian.

"Wah, ternyata kau tidak menyadari keberadaan Steve, ya?' katanya. Aku tersentak kaget. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Siapa sebenarnya orang-orang misterius yang datang ke rumahku pagi-pagi begini?

"S ... Steve? Apa maksudmu?" tanyaku. Aku semakin takut. "Siapapun, tolong katakan jika mereka bukan orang yang berbahaya," batinku.

"Oh, ayolah Steve. Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya tanpa menoleh. Entahlah, aku menjadi semakin takut karena ucapannya itu.

Tiba-tiba, muncul seseorang yang lain dari balik tembok rumahku. Wajah Asia-nya begitu dingin. Iris mata birunya menatapku datar. Aku semakin kebingungan sekaligus panik melihat kehadiran dua laki-laki aneh plus mencurigakan yang tiba-tiba datang ke rumahku.

Apa salahku sehingga aku harus menghadapi orang-orang ini?

"T-tunggu! S-siapa kalian sebenarnya?" tanyaku panik. Sekarang, aku benar-benar tidak bisa mengendalikan rasa takutku. Apapun kata orang, aku sangat takut dengan kehadiran mereka berdua. Laki-laki bermata biru tadi tertawa kecil.

"Ternyata, ada juga orang yang tidak mengenalmu, Kevin. Aku pikir, semua orang di kota ini mengenalmu," ujarnya dengan nada mengejek.

"Diam kau!"

"Tunggu, tadi kau bilang Kevin?" tanyaku.

"Iya! Ini aku, Kevin. Ketua kelas XI-IPA 3. Masa' kamu nggak kenal, sih?!" katanya dengan setengah berteriak.

Aku mengabaikan ekspresi kesalnya lalu menoleh kepada laki-laki yang satunya. Seketika, ingatan tentang beberapa hari yang lalu kembali berputar di dalam otakku.

"K ... kau ... Edward?" tanyaku. Yang ditanyai hanya tersenyum tipis. Dia tak lain adalah laki-laki yang pipinya lebam karena menerima pukulan dariku saat sedang latihan karate.

"Jangan bilang kau datang karena mau balas dendam!" seruku sedikit panik.

"Aku tidak datang untuk itu," jawabnya santai. Aku menghela napas lega. Syukurlah, ternyata, hanya perasaanku saja.

"Hei! Ini tidak adil. Kau mengenal Steve, tapi tidak mengenalku. Dasar, ya," ucap Kevin. Sepertinya dia masih kesal.

"Sudahlah, Kevin. Berhenti terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pasti. Tidak selamanya kau akan dikenal oleh orang lain. Jadi, berhentilah banyak berbicara," responsnya. "Dan kau, Kira. Berhentilah memanggilku dengan nama brlakang. I never call you Ishida. So, just call me Steve," lanjutnya dengan aksen British yang sangat kental seraya menatap fokus ke padaku.

"O ... oke. Jadi, ada perlu apa kalian datang kemari?" tanyaku to the point.

"Lho, bukannya kamu yang minta?" Kevin bertanya balik.

"Nggak," jawabku singkat.

"Sudahlah, Kevin. Dia tidak mungkin memintamu datang jika mengenalmu saja tidak," kata Edward ... eh! Maksudku Steve sambil menatap tajam ke arah lawan bicaranya. Kevin tidak mau kalah. Dia juga menatap balik dengan tatapan yang tidak kalah tajam.

"Wah! Kalian sudah datang, ya?" Suara itu memecah ketegangan yang tercipta akibat sedikit perdebatan tadi. Tentu saja aku mengenali si pemilik suara itu. Dia tak lain dan tak bukan adalah Mia yang datang dengan sedikit berlari.

"Cepet banget datengnya. Kira, ini dia calon anggota tim kita itu," jelasnya.

"Ooh ... jadi kamu yang mengirim orang-orang mysterious ini ke rumahku?" tanyaku dengan tambahan sedikit nada kesal.

"Apa? Mysterious?"

"Tentu saja. Mereka ini pagi-pagi udah bikin merinding aja. Tadinya, aku pikir mereka mau balas dendam ke aku."

"Hah? Memangnya kamu udah ngelakuin apa?"

"Ah, udahlah. Sebaiknya kamu jawab, kenapa mereka tiba-tiba dateng ke rumahku," ucapku kesal.

"Sebenarnya, mereka dateng buat ngasi informasi yang mereka dapet dari hasil penyelidikan mereka," jelas Mia pada akhirnya.

"Penyelidikan? Jadi kalian selidiki kasus ini tanpa aku?" tanyaku pada kedua teman baru-ku.

"Yah, bisa dibilang begitu," jawab Kevin santai.

"Jadi begitu, ya? Apa yang kalian dapat?" tanyaku penasaran.

"Nah, itu dia alasan kami datang ke sini. Kami ingin mengajakmu mendiskusikan kasus ini di rumah Steve," jelas Kevin lagi.

"Apa?! Rumahku?" Steve yang tadinya terlihat malas sekali mengeluarkan suara mulai tersinggung dengan ucapan Kevin.

"Yah, masa' di rumahku? Kamu mau digangguin sama Anna, adikku yang nyebelin itu? Rumahnya kamu kan sepi. Nggak akan ada yang ganggu," ujar Kevin membela diri.

"Kalo aku sih nggak masalah digangguin adik kamu. Aku suka banget sama anak kecil," sahut Mia.

"Memangnya kamu tidak punya adik ya?" tanyaku pada Steve yang hanya terdiam. Entah mengapa, raut wajahnya terlihat berubah.

Perubahannya memang tidak terlalu jelas, sih. Hanya saja, aku tiba-tiba melihat raut wajah penuh luka ketika dia mendengar pertanyaan sederhana itu.

"Ada apa?" tanyaku lagi. Steve yang tadinya hanya menunduk tiba-tiba mengangkat wajahnya.

"Bukan apa-apa," jawabnya cepat.

"Hei, Kira. Aku kasi tau ya. Steve hanya punya satu orang kakak yang anti-sosial. Hawa keberadaanya nggak pernah terasa selama kamu disana. Aku yakin," ucap Kevin meyakinkan. "Karena itulah aku memilih rumahnya."

"Nah, kalau begitu kita sepakat, ya. Kita diskusikan di rumah Steve. Apa kau keberatan?" tanya Mia pada pemilik rumah. Yang ditanyai hanya menggeleng lemah.

"Oh, iya. Aku hampir lupa," ucap Kevin tiba-tiba.

"Lupa apa?" tanya Mia.

"Apa tim ini punya ketua?"

"Tidak. Memangnya kenapa?"

"Kalo nggak ada, biar aku saja yang jadi ketua," usul Kevin. Namun, Mia tampaknya tidak setuju dengan keputusan tiba-tiba itu.

"Lho, kenapa harus kamu?"

"Yah, daripada nggak ada, kan?"

"Harusnya ketua itu dipilih anggota, bukannya dipilih diri sendiri!"

"Tapi kita ini kan cuma berempat. Kita juga nggak punya banyak waktu buat hal semacam itu!" Kevin tidak mau kalah. Aku dan Steve hanya bisa menonton perdebatan itu hingga selesai dalam diam.

Sekilas, kulihat kembali wajah Steve. Raut wajah penuh luka hati yang mendalam.

"Sebenarnya, ada apa denganmu?" batinku.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top