File 4
Aku hanya pasrah. Kepalaku terasa seperti menghantam sesuatu dengan keras hingga aku hampir saja menangis. Tangan itu terus menarikku hingga sampai di sebuah ruangan yang lebih terang daripada ruangan lainnya.
Sekarang apa lagi yang harus aku hadapi? Apakah semua itu belum sebanding dengan kecerobohanku? Aku menutup kedua mataku. Aku tidak sanggup melihat semua ini.
"Hei, kenapa kamu menangis?" Suara lembut itu membuatku tersadar. Perlahan aku memberanikan diri untuk membuka mataku demi melihat semuanya.
Aku sungguh sangat terkejut karena apa yang kulihat saat ini sangat berbeda dari bayanganku. Aku melihat Sisi, gadis paling misterius itu menggenggam pergelangan tannganku.
Dia jelas sangat berbeda. Tidak ada lagi wajah dingn tanpa ekspresi. Yang ada hanyalah wajah ceria yang sedang tersenyum ramah padaku.
"Kamu takut gelap, ya? Atau kepalamu sakit karena terbentur lemari tadi? Ayahku pergi ke luar kota. Sedangkan ibuku belum pulang. Jadi, aku malas membuka semua tirainya. Aku sungguh minta maaf," katanya lagi. Tenggorokanku terasa tercekat membuatku kesulitan bicara. Semua ini benar-benar membingungkan.
“Sisi, apa itu benar-benar kamu?" tanyaku dengan suara sedikit serak sambil memegangi kepalaku yang masih terasa sakit.
"Ya, ini benar-benar aku. Harusnya aku yang bertanya dulu. Apa kamu benar-benar Kira?" tanyanya.
Aku tersantak kaget. Kenapa dia menanyakan hal itu. Aku rasa tidak ada yang berubah dari diriku. Apa jangan-jangan dia .... Aaarrrghh !! Kenapa kamu justru berpikiran aneh di saat-saat seperti ini, Kira-chan?
“Maaf, mataku rabun sejak empat tahun terakhir. Jadi aku tidak bisa melihatmu dengan jelas dari jauh. Tapi, kalau dari dekat begini aku bisa melihat wajah orientalmu dengan mata yang berkaca-kaca seperti itu," katanya. Masih dengan senyum manis itu.
Aku buru-buru menyeka air mataku yang hampir menetes. Entah kenapa, aku jadi merasa malu untuk menangis di depan orang yang baru aku kenal.
"Oh, iya. Apa kamu mau minum? Kamu pasti lelah setelah berputar-putar, kan?" tanyanya ramah.
"Ah, tidak kok. Aku tidak haus. Lagipula, kamu ini rabun, kan? Nanti kamu terhantuk perabotan sepertiku," jawabku meskipun aku benar-benar haus dan berkeringat. Matahari bersinar begitu terik sehingga membuatku semakin kelelahan.
"Tidak apa-apa. Tidak usah malu. Aku hafal setiap inchi rumah ini. Jadi, aku tidak akan terhantuk perabotan meskipun dalam cahaya temaram dan tanpa bantuan kacamata."
"Oh, tidak usah repot-repot."
"Kamu yakin?" tanyanya lagi. Aku mengangguk mengiyakan.
Hening selama beberapa saat.
"Apa kamu percaya pada rumor itu?" tanyanya. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng lemah. Aku tidak berbohong. Karena pada dasarnya, aku memang tidak percaya. Walaupun sebenarnya, separuh dari hatiku masih ragu.
"Apa kamu masih mau percaya padaku?" tanyanya to the point dengan intonasi datar dan tanpa menunjukkan emosi apapun.
Aku hanya terdiam, tidak tau harus menjawab apa lagi. Aku tidak sampai hati untuk mengatakan kalau aku tidak percaya padanya.
Dia melangkah menuju jendela kamarnya yang tertutup. Aku mengikutinya dari belakang tanpa berbicara sepatah katapun.
Aku sangat penasaran apa yang akan dia lakukan sekarang setelah melalui drama yang tak terduga antara aku dan dia. Dia juga hanya terdiam sambil membuka jendela itu lebar-lebar.
"Dulu, aku masih bisa melihat pemandangan ini dengan jelas. Tapi sekarang, hanya kabur yang terlihat," ucapnya. Aku benar-benar tertegun mendengarnya.
“Kira, kamu pasti pernah bertanya-tanya kenapa aku tidak pernah membuka jendela ini, kan? Itu karena itu akan sia-sia saja. Lagipula seandainya aku bisa melihatnya dengan jelas, itu akan tetap terasa menyakitkan," katanya lagi. Aku menghela napas.
Tadinya aku ingin menanyakan apa sebenarnya yang membuatnya dianggap sebagai seorang psikopat. Tetapi, aku terpaksa mengurungkan niatku. Mendengar ucapannya tadi membuatku menyadari behwa semua ini pasti akan terasa begitu menyakitkan baginya.
Karena itu, aku tidak ingin membuatnya semakin sedih hanya dalam waktu lima belas menit. Sebaiknya aku menunggu Mia untuk melanjutkan penyelidikan ini. Setidaknya aku sudah menemukan alamat dari the mysterious girl ini.
------x---x------
Malamnya, setelah mengerjakan PR aku menelpon Mia. Aku tidak sabar ingin memberitahu perkembangan kasus ini padanya.
Yah, aku akui. Aku jadi ikut-ikutan memakai istilah-istilah aneh ini setelah selama beberapa hari mengenal dan berbicara dengan Mia.
Aku rasa istilah-istilah itu terkesan sangat keren. Seperti dalam film-film Hollywood yang sering aku tonton di televisi setiap hari libur.
Beberapa menit menunggu. Telepon pun akhirnya tersambung.
"Halo, detektif Mia," sapaku.
"Ya, halo. Aduh, Kira kamu udah selesai PR matematika itu, nggak? Aku lagi ngerjain PR itu, nih," sahutnya dari seberang sana.
"Iya, aku udah selesai, kok."
"Wiih .... Kamu hebat. Aku sampe nomor tiga aja udah pusing banget, nih."
"Eh! Bukannya kamu dijuluki Einstein-nya XI IPA-3?"
"Iya, memang. Tapi dari tadi aku udah ngerjain tugas fisika itu juga. Matematika sama fisika itu kan ibarat saudara kembar."
"Haha .... Kamu ini ada-ada saja. Bukannya yang itu dikumpulinnya hari Senin? Harusnya kamu selesaiin yang besok dulu."
"Iya ... iya …. Aku tau. Ini salahku. Nah, kenapa kamu nelpon aku malam-malam begini?"
"Aku ingin melaporkan perkembangan kasus ini. Aku sudah berhasil menemukan rumah dari the mysterious girl," ujarku dengan bahasa baku seperti seorang opsir polisi yang sedang melaporkan hasil penyelidikan pada atasannya.
"Hah? Sungguh? Kamu serius, kan? Kamu nggak bercanda? Dimana? Cepat beritahu aku!" Seketika nada bicara Mia yang terdengar malas berubah menjadi sangat bersemangat.
"Besok pagi aku kasi tau kamu. Sekarang, kerjain PR kamu dulu."
"Oke, detektif Kira."
"Lho, kok kamu bilang detektif , sih?"
“Kamu udah banyak bantuin aku dalam kasus ini. jadi sekarang kamu udah naik pangkat."
"Ya udah. Terserah kamu aja, deh. Bye." Aku memutus sambungan telepon lalu beranjak tidur. Jam masih menunjukkan pukul 09:00. Tetapi, aku merasa mengantuk sekali.
------x---x------
Pagi ini, hujan turun dengan derasnya. Jalanan terlihat sedikit lengang. Hari ini ayah berangkat lebih awal. Aku tidak bisa memintanya untuk mengantarku sampai di sekolah. Jadi, terpaksa aku harus berjalan kaki.
Aku berjalan dengan sangat hati-hati. Takut baju seragamku terkena percikan air dari sepatuku. Meskipun aku memakai payung, tetap saja ujung-ujung rokku basah oleh air hujan.
Sesampainya di sekolah, aku tidak melihat satu pun orang siswa yang lalu lalang di halaman sekolah. Tentu saja. Mana ada orang yang mau sakit demam gara-gara nekad berjalan di luar ruangan saat hujan turun dengan derasnya tanpa menggunakan payung. Kalaupun ada, orang itu pasti terpaksa melakukannya.
Aku segera masuk ke dalam kelas. Suasananya sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hanya ada beberapa orang siswa di dalam kelas walaupun jam sudah menunjukkan pukul 06:35. Mia juga belum sampai. Padahal tadi malam dia terdengar sangat antusias. Gaya bicaranya seperti mengatakan aku tidak sabar menunggu sampai besok pagi.
Aku melihat Sisi memandang ke arah halaman sekolah yang basah oleh air hujan. Wajahnya dingin, sedingin udara di luar. Bahkan mungkin lebih dingin. Wajar saja jika siapapun yang melihatnya akan menganggap darahnya sedingin wajahnya. Maksudku, wajar saja jika orang menganggapnya sebagai seorang pembunuh berdarah dingin.
Ekspresinya benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dibandingkan ketika aku datang ke rumahnya kemarin. Seakan dia tidak pernah tersenyum hangat padaku walau hanya sedetik. Seakan wajah cerianya tidak pernah ada. Seakan dia tidak pernah menyapaku dengan suara lembutnya. Seakan-akan dia memang ditakdirkan untuk tidak pernah tersenyum.
Aku meletakkan tasku lalu pergi ke teras kelas. Hujan sepertinya mulai mereda, tetapi belum sempurna reda. Rintik-rintik kecil hujan masih turun dari langit. Pada saat itu juga, aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal nekad berlari menerobos hujan gerimis ini. Aku memperhatikan orang itu lebih detail sebelum akhirnya dia sampai di depanku dengan napas terengah-engah.
Oranng itu tidak lain adalah Mia. Setelah berlari tadi, bisa kuduga jantungnya pasti berdebar kencang sekali. Ia memakai mantel hujan, tapi sepertinya tidak ada gunanya. Dari ujung rambut sampai ujung kakinya tetap saja basah oleh air hujan. Mungkin karena dia berlari dengan terburu-buru tadi.
"Kamu kenapa, Mia? Dikejar hantu?" tanyaku.
"Mana ada hantu pagi-pagi begini," ujarnya seraya melepas mantel hujannya.
"Terus ngapain kamu pake lari-lari segala sampe baju kamu basah?"
"Aku cuma penasaran sama perkembangan kasus ini."
"Kan tadi malem udah aku kasi tau lewat telpon."
"Bukan itu. Aku penasaran dimana rumah the mysterious girl.”
"Ooh, itu ya? Kalo kamu mau tau, nanti pulang sekolah kamu dateng ke rumahku. Oke?"
"Oke, deh. Oh, ya. Aku boleh ngajak Kevin sekalian, nggak?"
"Kenapa? Kalian pacaran, ya?" tanyaku penasaran dengan maksud menggoda.
"Ih, enak aja! Aku mau ngajak dia karena dia juga lumayan pinter dan suka banget sama yang namanya misteri," jelasnya. Aku mengangguk paham.
"Kalo kamu memang mau ngajak dia, sebaiknya kamu tanya yang punya rumah dulu. Siapa tau dia nggak suka sama cowok sok tau kayak dia."
"Hmm ... okelah. Nanti jadi, ya?"
"Ya," sahutku sambil berjalan masuk ke dalam kelas. Mia berjalan di belakangku. Aku melihat ke arah Sisi. Dia masih saja menatap kosong ke arah halaman belakang.
Yah. Setidaknya aku sekarang sudah mengetahui alasan mengapa dia melihat kosong. Itu karena dia tidak bisa melihat fokus karena rabun jauh.
------x---x------
Sepulang sekolah, aku mengganti pakaian seragamku lalu berdiri di depan jandela. Aku ingin melihat apakah Mia sudah datang atau tidak. Hari ini cuaca sedikit berawan. Jadi aku rasa, tidak akan mejadi masalah besar jika aku mengajaknya berputar-putar sepertiku kemarin. Yah, aku bukannya bermaksud jahat, sih.
Sepuluh menit. Dua puluh menit. Dua puluh lima menit berlalu. Mia masih belum datang juga. "Aduh Mia kemana, sih? Tadi kan udah janji. Tapi kok belum dateng?" gumamku dalam hati.
Tiba-tiba, handphoneku berdering kencang, membuatku sendiri tekejut. Bagaimana tidak? Aku sendiri yang menyetel volumenya dengan volume maksimal. Aku melihat layar handphoneku. Ternyata Mia yang menelpon. Entahlah, aku tidak mengerti kenapa aku justru merasa lega sekaligus kesal dalam waktu bersamaan.
"Halo," ucapku dengan nada malas.
"Halo, Kira. Kamu dimana? Aku udah nyampe, nih."
"Oh, oke oke. Aku turun sekarang."
"Kamu dimana, sih?"
"Di kamar. Aku udah turun, nih," kataku saat aku sudah sampai di anak tangga.
'Ya udah. Cepetan," katanya dengan nada kesal sambil mematikan sambungan telepon. Sebenernya, yang harus kesel itu siapa, sih.
Aku menuruni tangga dengan terburu-buru. Saking terburu-burunya, kakiku sampai terhantuk meja. Aduh sakit sekali, gumamku. Jalanku menjadi sedikt timpang. Aku bersusah payah melanjutkan perjalanan menuju pintu depan yang sempat terhenti. Aku langsung membuka pintu tanpa menunggu lama setelah sampai.
"Halo, Detektif Kira. Kok kamu jalannya timpang gitu, sih?" tanya Mia keheranan.
"Kakiku kesandung meja di ruang tengah," jawabku sambil menahan rasa sakit di kaki kiriku.
"Oh, gitu? Sakit, nggak?"
"Ya sakitlah. Makanya jalanku sampe timpang."
"Jadi, rencana kita batal, ya?"
"Siapa bilang batal? Kan kamu bisa pergi duluan. Nih, kamu ikutin aja petunjuk disini. Nanti juga bakalan sampe, kok," ucapku seraya menyerahkan kertas yang diberikan oleh Sisi padaku kemarin.
"Kamu yakin? Ntar kalo kamu kesasar gimana? Kan repot," balasnya sambil menerima kertas yang kuberikan.
"Iya, tenang aja. Aku udah hafal kok jalannya. Nanti aku nyusul," kataku meyakinkan.
"Oke, terserah apa katamu," ucapnya sambil berjalan menjauh, lalu berhenti dan menoleh.
"Kamu yakin?" tanyanya lagi. Aku mengangguk menanggapinya. Kali ini, Mia benar-benar pergi tanpa menoleh lagi.
Aku lalu menutup pintu depan setelah bayangan Mia tak lagi terlihat. Kemudian bersusah payah naik kembali ke kamar. Setelah kurasa kakiku tidak sakit lagi, aku kemudian pergi ke rumah Sisi.
Aku sekarang sudah mengetahui letak rumahnya sehingga aku tidak perlu berputar-putar lagi seperti kemarin.
Aku menekan bel pintu. Seperti kemarin, tidak ada respons. Tetapi, lagi-lagi tanganku ditarik masuk ke dalam rumah itu. Aku sudah pernah kesini. Jadi, aku tidak setakut kemarin.
Aku hanya masih berpikir, apa susahnya membukakan pintu lalu mempersilakan orang lain masuk sehingga orang lain tidak akan berpikiran negatif tentang dia.
Yah, dunia ini memang penuh misteri.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top