File 3

Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Semua siswa bersiap-siap pulang ke rumah masing-masing. Aku akan pulang bersama Mia siang ini. Nanti sore aku akan mengerjakan PR dengannya. Sekalian dia ingin melihat rumahku juga. Ternyata mimpinya menjadi detektif seimbang dengan IQ-nya yang lumayan tinggi.

"Jadi bagaimana?' tanyanya memulai percakapan.

“Bagaimana apanya?" aku bertanya balik.

"Apa kamu sudah kanalan sama mysterious girl itu?"

"Siapa maksudmu? Mysterious girl?"

"Teman semejamu itu."

"Oh, dia ya? Yah, begitulah."

"Eh! Apa maksudmu?"

"Aku memang sudah memperkenalkan diriku. Tapi, entahlah apakah dia mendengarku atau tidak. Aku tidak tau."

"Dia memang biasanya begitu."

"Terus, kamu nggak pernah coba selidiki dia?" tanyaku. Aku teringat kalau Mia suka sekali dengan hal-hal aneh seperti itu.

"Selidiki apa? Kenapa dia sering menatap kosong keluar jendela? Aku nggak akan menyia-nyiakan waktuku untuk menyelidiki kasus semacam itu."

"Oh, ayolah. Sherlock yang kamu kagumi itu juga pasti memulai karirnya dari kasus sederhana. Lagian tadi kamu bilang mysterious girl. Artinya kamu penasaran sama gadis itu, kan?”

"Itu ... itu memang benar. Aku memang sangat penasaran. Aku pernah melakukan penyelidikan. Tapi, selalu menemui jalan buntu," kata Mia dengan wajah tertunduk. "Seandainya saja ada yang mau membantuku," lanjutnnya.

"Aku rasa, aku bisa bantuin kamu. Kalo kamu yang jadi Sherlock Holmes, aku mau kok jadi Watson-mu."

"Beneran, nih? Kamu serius mau bantuin aku? Makasih, Kira. Kamu memang sahabat terbaikku." Mia memelukku erat. Membuat heran orang-orang di sekitar kami.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan pertama kali, Detektif Mia?" tanyaku dengan berbisik.

"Kita harus cari tau alamat gadis itu. Dan aku minta bantuan kamu untuk melakukannya," jawabnya dengan berbisik juga.

"Lho, kok aku, sih?"

"Kan tadi kamu sendiri yang nanya. Lagian, ini untuk mengurangi kecurigaannya. Kalo aku, dia akan langsung curiga karena dia tau aku sering melakukan ini. Nah, kebetulan sekali dia belum tau karakter kamu tuh gimana. Jadi, ini kesempatan bagus," jelasnya. Aku mengangguk paham. Baiklah, ayo kita mulai penyelidikannya.

------x---x------

Keesokan paginya, aku berangkat dengan terburu-buru. Jujur saja, aku belum terlalu hafal jadwal masuk sekolahnya. Seperti pagi ini misalnya. Padahal baru pukul 06:30, tetapi lariku sudah seperti gelombang tsunami.

Rambutku yang tadinya sudah kusisir rapi, sekarang sudah tidak ada bedanya dengan orang yang baru bangun. Tapi aku sama sekali tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah bagaiman agar aku tidak terlambat sampai di sekolah.

Beberapa menit kamudian, aku akhirnya sampai di kelasku. Mia yang sedang menyapu teras kelas menatapku yang terengah-engah dengan tatapan penuh keheranan.

"Kira, kamu kenapa, sih? Dikejar hantu?" tanya Mia.

"Mana ada hantu pagi-pagi begini," jawabku dengan napas terengah-engah.

"Habisnya, napasmu itu udah mirip badai Katrina."

"Hah! Masa sih?"

"Ya sudah. Kamu cepetan taruh tas sana. Terus kamu bantuin aku, ya."

"Enak saja. Kamu bilang napsaku bagaikan badai Katrina. Sekarang kamu suruh aku bantuin kamu nyapu? Piketku itu kan hari Sabtu."

"Siapa juga yang suruh kamu bantuin aku nyapu?"

"Lho, terus bantuin apa?"

"Tuh, kan. Kamu lupa. Padahal kemarin kamu bilang, kamu mau jadi Watson-ku."

"Oh, iya. Sekarang, ya?"

"Nggak usah. Nanti aja. Tungguin badainya berhenti."

"Ini udah berhenti, kok."

"Nanti aja pas waktu istirahat. Kalo sekarang dia justru akan curiga karena dia bisa liatin kita ngobrol lewat sana. Tapi, dia nggak akan denger suara kita. Nah, nanti waktu istirahat kamu diem di kelas. Aku akan pura-pura keluar terus ngawasin kamu lewat sini," jelasnya sambil menunjuk kea rah salah satu jendela yang letaknya strategis.

"Oke, cukup mudah. Anak SD juga pasti bisa. Keterlaluan kalo aku nggak bisa."

"Ingat! Kamu harus manfaatin suasana kelas pas waktu istirahat. Pastikan nggak ada orang lain di dalam kelas. Dia nggak akan mau bicara kalo ada orang lain selain kamu."

"Oke, aku mengerti. Oh, ya. Kalo kita udah dapat alamatnya, kita akan ngapain lagi?Apa kita akan menginterogsainya?"

"Apa? Tentu saja tidak. Aku punya rencana bagus. Pokoknya kamu ikuti saja."

"Oke," kataku sambil mengedipkan mata.

------x---x------

Bel istirahat akhirnya berbunyi. Aku sudah siap dengan rencananya. Jangan tanya soal Mia. Dia sudah pasti siap sejak bel masuk berbunyi.

Aku mencoba untuk bersikap senormal mungkin. Jangan sampai tegang. Karena kalau aku seperti tadi pagi, rencananya bisa jadi justru berantakan dari awal.

"Kira, kamu nggak keluar?" tanya Mia sesuai rencana.

"Tidak, kamu pergi saja duluan," jawabku sambil berpura-pura menulis sesuatu.

"Kamu yakin nggak mau ikut?"

"Iya, aku yakin," jawabku singkat. Sesuai rencana, Mia berpura-pura keluar kemudian mengawasiku lewat jendela.

Satu menit, dua menit, lima menit, sepuluh menit, lima belas menit berlalu. Satu dua siswa masih keluar masuk kelas. Kapan sepinya, sih? gumamku dalam hati.

Meskipun aku belum terlalu hafal jadwal istirahat dan masuk kelas, setidaknya aku ingat kalau waktu istirahat hanya dua puluh menit. Itu artinya waktuku hanya tinggal lima menit lagi.

Persis saat menit ke tujuh belas, tidak ada lagi siswa yang keluar masuk kelas. Aku mulai melaksanakan rencananya. Mia terlihat menunggu dengan sangat antusias.

"Hai, Sisi. Itu nama panggilanmu, kan?" sapaku membuka dialog, atau lebih tepatnya monolog karena seperti sebelumnya dia tidak merespons sama sekali.

Sebelumnya, aku sempat bertanya pada Mia tentang nama panggilan gadis misterius ini. Dia menjawab seluruh warga sekolah biasa memanggilnya Sisi.

"Sisi, boleh aku tau dimana rumahmu?" tanyaku, tetapi tetap tidak ada jawaban.

"Sisi, aku ingin menjadi temanmu. Jadi. Boleh aku tau dimana rumahmu?" tanyaku lagi. Kali ini dia hanya menghela napas.

Tepat saat menit ke delapan belas, gerombolan anak laki-laki itu kembali masuk. Aku melihat Mia menepuk dahinya  pelan.

Yah, misi gagal. Aku tidak punya pilihan lain selain keluar dari kelas. Percuma saja aku berdiam diri di dalam. Lagipula, dia tidak akan mau bicara jika ada orang lain di dalam kelas.

"Aduh. Padahal yang tadi itu hampir saja berhasil," kata Mia kecewa.

"Berhasil apanya? Terakhir kali aku tanya dia cuma menghela napas. Ternyata memang tak semudah yang kubayangkan. Aku ini memang payah sekali."

"Tidak, aku rasa ini bukan salahmu. Kamu sudah melakukannya sesuai rencana. Ini semua gara-gara mereka itu," kata Mia kesal sambil menunjuk ke arah gerombolan laki-laki yang baru saja menggagalkan rencana kami.

"Seandainya aku bisa karate sepertimu, akan aku beri mereka pelajaran satu persatu." Aku hanya terdiam.

Aku jelas tidak menyetujuinya. Karena pada dasarnya, karate diciptakan bukan untuk berkelahi. Tetapi, karate diciptakan untuk melindungi.

Namun, aku rasa tidak ada gunanya memberitahu prinsip itu pada Mia yang sedang kesal.

"Oh, iya. Kira, aku kasi tau kamu satu hal. Kamu tadi hampir berhasil membuatnya bicara. Seandainya saja mereka nggak dateng. Kalo gadis itu sudah menghela napas, itu artinya dia akan segera buka mulut," jelas Mia. Aku mengangguk paham.

"Berarti cara kita tadi cukup ampuh, kan?"

"Aku rasa begitu,” katanya lalu memperlihatkan sebuah senyuman misterius di wajahnya yang membuatku sedikit merinding.

------x---x------

Siang ini, aku akan melanjutkan penyelidikan. Tadi ketika pulang sekolah, gadis itu memberiku selembar kertas yang ternyata berisi petunjuk untuk bisa sampai di rumahnya.

Mia sangat senang mendengarnya. Saking senangnya, dia lagi-lagi membuat siswa dari kelas lain terheran-heran melihatnya yang tiba-tiba memelukku erat sekali sampai-sampai aku kesulitan bernapas.

Sayangnya, hari ini Mia ada kursus bahasa Inggris. Jadi, dia tidak bisa ikut. Terpaksa aku harus melakukannya sendiri. Ya sudahlah. Tidak apa-apa.

Lagipula, kursusnya lebih penting daripada melakukan hal gila seperti yang aku lakukan sekarang ini. Aku juga sedang tidak ada kegiatan sekarang. Karena itu, aku berharap semoga ini bisa mengusir rasa bosanku.

Di kertas ini tertulis "jika kamu mengikuti petunjuk ini, maka kamu akan sampai di rumahku." Sebenarnya, ini mirip seperti permainan mencari harta karun.

Aku sering melakukan ini ketika aku masih kecil. Sama sekali bukan hal aneh jika aku harus mengikuti petunjuk ini jika aku ingin sampai di rumah gadis itu. Dia itu benar-benar seorang gdis yang misterius.

Di sini juga tertulis "dari halte bis no.11, kamu hanya tinggal  berjalan sampai ke perempatan. Dari perempatan belok ke kiri sampai pintu masuk taman kota. Dari pintu masuk taman, kamu belok kiri lagi kemudian lurus sampai kantor pos. Nah, dari kantor pos kamu belok kiri lagi lalu cari rumah nomor 42."

Aku sudah sampai di kantor pos. Sekarang tinggal langkah terakhir, belok kiri dan cari rumah nomor 42. Alangkah terkejutnya aku ketika menyadari yang sebenarnya terjadi.

"Lho, ini kan jalan ke rumahku," gumamku. Aku belum terlalu mengenal lingkungan ini. Jadi wajar saja jika aku tidak merasa curiga sedikit pun. Jadi tadi itu aku cuma berputar-putar saja, ya? rumahku nomor 41. Berarti rumah nomor 42 itu.pasti rumah bercat kuning yang aku lihat kemarin sore.

Aku segera berlari menuju rumah itu. Memastikan bahwa itu adalah rumah yang dimaksud. Ternyata benar. Aku ragu-ragu menekan bel. Apa benar ini rumah Sisilia? aku kembali menekan bel. Tidak ada yang membukakan pintu.

Baiklah, ini yang terakhir. Ibuku bilang hanya cukup tiga kali. Jika tidak ada yang membukakan pintu maka aku harus pulang. Aku melihat sekeliling, tidak ada orang sama sekali.

Belum sempat aku menekan bel untuk yang ketiga kalinya, seseorang menarik tanganku masuk. Gawat! Aku lengah. Jadi, ini kesempatan baginya untuk membunuhku. Aku hampir saja kehilangan harapan. Bagaimana ini?

Jika aku mati di sini, tidak akan ada yang tau. Aku tidak bisa melihat wajah orang itu di dalam ruangan dengan pencahayaan minim seperti ini.

Bagaimana ini?

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top