File 2

Sore ini aku hanya tiduran di kamar. Menjadi siswi baru ternyata lumayan melelahkan. Pergi kemanapun sudah seperti artis internasional, menjadi yang palin diperhatikan.

Tapi itu belum seberapa dibandingkan harus menjawab pertanyaan yang sama berkali-kali. Meskipun kadang aku sampai kesal, tapi memang harus begitu. Setidaknya, mereka mau menerimaku sebagai teman. Tidak seperti di sekolah  lamaku.

Tadi siang juga saat akan pulang, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang terus menanyaiku sepanjang perjalanan pulang. Kebetulan rumahku dan sekolah jaraknya tidak terlalu jauh.

Flashback on

“Hai, kamu pasti anak baru, kan?" tanyanya

"Iya," jawabku singkat.

"Kamu di kelas apa?"

"Kelas XII IPA-3."

"Kamu suka dengan kelasmu?'

"Iya."

"Kamu yakin?"

"Ya, aku yakin."

"Sungguh? Aku benar-benar tidak percaya."

"Memangnya kenapa?"

"Apa kamu tau tentang si psikopat itu?"

"Iya, aku tau. Dia bahkan teman semejaku," jawabku seolah tidak tau apapun tentang rumor itu. Dia terlonjak kaget.

"Memangnya kenapa? Akan aku banting dia dengan jurus karate kalau dia berani menusukku dari belakang," lanjutku.

"Maaf, aku bukannya mau meremehkan kemampuan karatemu. Tapi, kamu terlalu cantik untuk mati di tangan orang semacam itu."

"Memangnya darimana kamu tau kalau dia itu psikopat. Memangnya kamu itu psikiater? Atau kamu pernah nanya ke psikiater yang nanganin dia?"

"Yah, memang tidak, sih. Tapi menurut rumor yang beredar kan dia itu ...." ucapannya belum selesai karena aku memotongnya.

"Ternyata kamu ini tidak ada bedanya dengan anak SD. Mudah sekali terjebak rumor. Padahal kamu udah SMA. Bagaimana nasib bangsa ini ke depan jika generasi muda seperti kita gampang sekali termakan isu? Udahlah, aku bosen ngomong sama kamu. Lagian aku udah sampe rumah. Thanks, ya udah nganterin sampe ke sini," ujarku sambil melangkah masuk rumah. Aku tidak peduli dengan wajah kesalnya karena kusebut anak SD.

Flashback off

------x---x------

Aku memandang keluar jendela kamarku. Pemandangan kota saat sore hari memang sangat indah. Meskipun tidak seindah pemandangan di pedesaan.

Namun setidaknya ini cukup untuk menyegarkan pikiran atau sekedar relaksasi mata. Kamarku terletak di lantai dua. Jadi, aku bisa melihat rumah-rumah tetangga dengan jelas.

Dunia ini memang penuh misteri. Lihat saja sendiri. Kita pasti sering bertanya-tanya tentang alam semesta. Misalnya, kenapa pelangi hanya muncul saat hujan? Kenapa ada siang dan ada malam? Kenapa aurora hanya muncul di kutub yang jauh dari tempat tinggal kita? Dan ribuan bahkan jutaan kenapa lainnya.

Seperti hari ini misalnya. Aku begitu tertarik dengan sebuah rumah bercat kuning di dapan rumahku. Dari sini aku bisa melihat sampai ke pekarangannya.

Rumah itu dipenuhi dengan bunga-bunga mawar yang berwarna-warni. Tetapi yang berwarna merah jauh lebih mendominasi.

Rumah itu memiliki banya jendela. Semuanya terbuka kecuali dua jendela yang persis menghadap ke rumpun bunga-bunga mawar merah di lantai atas.

Kenapa hanya jendela itu saja yang tidak terbuka, ya? Tidakkah pemilik kamar itu ingin melihat pemandangan sore yang indah seperti aku? Atau dia sudah terlanjur bosan melihat pemandangan seperti ini?

Ah, sudahlah. Aku jadi semakin bingung saja.

Aku memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Mungkin akan ada kesibukan lain selain bertanya-tanya pada diri sendiri tentang kota ini. Meskipun begitu, rumah misterius itu tetap tidak mau pergi dari pikiranku. Seolah bahwa ada hal penting yang tersembunyi di balik rumah itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa ditanyai. Ibu sudah pergi entah kemana.

Aku memutuskan untuk duduk di kursi ruang tamu. Ini benar-benar membosankan. Aku berjanji pada Mia dan Lusi untuk memecahkan misteri ini. Tapi pada kenyataannya, rumah tetanggaku sendiri aku tidak tau. Aku tidak tau harus bagaimana.

Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Ibu sudah pulang. Oh, ya. Mungkin ibu tau sesuatu tentang rumah itu.

"Ibu, aku boleh nanya nggak?" tanyaku pada ibu yang kebetulan juga sudah duduk di depanku.

"Boleh. Kebetulan ibu juga mau nanya," jawab ibu.

"Eh, nanya apa?" tanyaku heran.

"Kamu aja yang duluan, Kira-chan." Ibuku memang sering memanggilku begitu. 'Chan' adalah panggilan untuk orang yang lebih muda atau keluarga. Bisa juga digunakan untuk teman yang sudah akrab.

"Oke. Apa ibu tau, rumah di depan rumah kita itu rumah siapa?"

"Iya, barusan juga ibu pergi ke sana. Itu rumahnya Pak Smith."

"Ibu kenal dia?"

"Ya, istrinya itu teman SMA ibu dulu."

"Oh, jadi gitu, ya."

"Tadi ibu sudah pergi mengantar kue ke sana dan sempat ngobrol sama yang punya rumah. Katanya dia punya anak seusia kamu. Dia katanya satu sekolah sama kamu. Kamu tau siapa itu, Kira-chan?"

"Ti … tidak. Aku kan masih baru. Jadi belum kenal sama semua warga sekolah itu."

"Dia juga bilang, anaknya itu di kelas XI IPA-3. Bukannya itu kelas kamu?"

"Eh, iya bener." Siapa sebenarnya dia? Teman kelasku yang tinggal di rumah penuh misteri itu? Aduh, semua ini jadi semakin membingungkan.

------x---x------

Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya. Dunia ini penuh dengan misteri. Pagi ini aku terus bertanya-tanya. Siapa sebenarnya teman kelasku yang tinggal di rumah misterius itu.

Hari ini aku terus menolak ketika ayah menawarkan untuk mengantarku sampai sekolah. Aku lebih memilih berjalan kaki daripada naik mobil karena jarak dari rumahku ke sekolah hanya beberapa ratus meter.

Pagi ini, aku langsung masuk kelas. Tetapi, pemandangan kelasku pagi ini sedikit berbeda. Kursi di sebelahku tidak lagi kosong.

Seorang gadis dengan rambut panjang sepinggang dibiarkan terurai, beberapa helai mengenai ujung matanya terlihat sedang menatap kosong keluar jendela. Kebetulan tempat duduknya tepat di depan jendela.

Aku ragu-ragu menyapanya. Aku takut kalau dia benar-benar seperti rumor yang beredar. Wajahnya benar-benar dingin tanpa ekspresi.

Aku khawatir jika nanti dia tiba-tiba menyerangku ketika aku sedang lengah. Tapi, apapun yang terjadi, aku akan selalu siap dengan jurus karateku. Aku tidak boleh lengah.

"Halo, selamat pagi. Kamu pasti Sisilia, kan?" tanyaku ragu-ragu. Dia menoleh ke arahku kemudian tersenyum tipis. Dia seperti ingin mengatakan rumor itu tidak benar. Setidaknya itu sedikit mengurangi rasa takutku.

Bagaimanapun juga, aku tidak boleh lengah. Bukan hanya pada gadis ini. Tapi juga pada semua orang. Bukan berarti curiga. Tetapi, hanya waspada.

"Eh, namamu Sisilia, kan? Bagaimana aku memanggilmu? Oh, ya. Kamu bisa panggil aku Kira." Aku menjadi sedikit salah tingkah karena dia tidak merespons sama sekali. Tidak lama kemudian, Mia datang. Namun, dia hanya meletakkan tasnya lalu beranjak pergi.

"Hei, Kira. Kamu mau ikut keluar sama aku, nggak?" tanya Mia sebelum pergi. Aku mengangguk setuju.

"Eh, apakah kamu mau ikut juga?" tanyaku pada gadis itu. Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban.

"Ayo, Kira. Kamu jadi ikut nggak, sih?" tanya Mia tidak sabar karena aku tidak beranjak sama sekali.

"Iya, aku ikut. Tunggu aku," jawabku sambil berlari mendekati Mia yang berdiri di ambang pintu. Sebelumnya aku sempat menoleh ke arah gadis itu. Dia masih saja menatap kosong ke luar jendela.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top