File 1
Di ufuk timur, semburat warna jingga melukis awan. Matahari merangkak naik memberi kehangatan. Sisa-sisa rintik hujan tadi malam menggantung di ujung dedaunan.
Jalan raya kota mulai ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang. Udara pagi yang masih sejuk memberi semangat bagi beberapa pejalan kaki yang melintas di trotoar.
Hari ini adalah hari pertamaku untuk masuk di sekolah baru. Ayahku pindah bekerja, karena itu kami sekeluarga ikut pindah.
Menurutku itu bukan masalah. Lagipula aku tidak terlalu betah dengan teman-temanku di sana yang tidak mau menerimaku sebagai seseorang yang berbeda.
Yah, aku memang sedikit berbeda dari anak-anak lain. Aku punya wajah oriental seperti orang-orang Asia Timur. Itu karena ayahku adalah orang Jepang asli, tanpa campuran.
Entah karena alasan apa yang membuat teman-teman lamaku tidak terlalu menyukaiku. Aku tau, Jepang memang pernah menjajah Indonesia. Tapi itu bukan berarti ayahku adalah orang jahat.
Jadi menurutku, pindah sekolah sama sekali bukan pilihan buruk. Tapi yang masih aku pikirkan hingga saat ini adalah bagaimana dengan sekolah baruku?
Apakah teman-teman baruku mau menerimaku? Atau mereka sama saja seperti yang lainnya? Oh, ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.
Hari ini setelah sarapan pagi, ibu mengantarku ke sekolah. Ayah sudah berangkat sejak pagi-pagi buta. Aku tidak heran. Wajar saja ayah melakukan itu.
Apa yang akan dikatakan oleh atasannya jika ayah terlambat masuk kerja, bahkan di hari pertamanya? Membayangkannya sama sekali tidak lucu.
Aku sempat menolak diantar ibu. Aku berkata "aku ini sudah besar," "aku bukan anak SD lagi," "aku bisa pergi sendiri," dan berbagai alasan lain. Namun ibu selalu menolak dan mengatakan kalau ada urusan penting dengan sekolahku.
Aku jadi merasa seperti anak kecil. Meskipun harus aku akui kalau aku masih bersikap kekanak-kanakan mesikpun usiaku sudah menginjak tujuh belas tahun.
Akhirnya, tanpa terasa mobil yang dikemudikan sendiri oleh ibu memasuki halaman parkir sebuah sekolah. Aku turun setelah mobil berhenti dengan sempurna.
Ibu berjalan menuju ruangan kepala sekolah. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak komentar. Aku melihat sekeliling. Beberapa pasang mata tampak melihat ke arahku.
Ibu masuk ke dalam ruangan kepala sekolah. Sementara aku hanya menunggu di sebuah bangku panjang di depan ruang guru. Aku memandangi para siswa berseragam putih abu yang berlalu-lalang di halaman sekolah.
Pikiranku kembali tertuju pada sekolah baru ini. Apakah mereka mau menerimaku sebagai teman, atau sebaliknya? Hingga aku tidak menyadari keberadaan dua orang siswi di dekatku.
"Hai, kamu anak baru, ya?" tanya seorang gadis berkacamata dengan rambut panjang yang diikat satu ke belakang.
"Eh, i ... iya," jawabku dengan sedikit gugup.
"Salam kenal. Kamu bisa panggil aku Mia. Ini temanku Lusi," katanya ramah. Temannya yang dipanggil Lusi itu melambaikan tangan.
"Senang bertemu denganmu. Kalian bisa panggil aku Kira," dengan sedikit malu-malu aku mengulurkan tangan.
"Kira, namamu bagus sekali. Ayolah, jangan malu begitu," Lusi membalas uluran tanganku.
"Oh, benarkah? Terima kasih."
"Eh, Lusi. Kamu dipanggil, tuh." Mia menepuk pundak Lusi.
"Aaarrgh...!! Siapa, sih? Pagi-pagi begini udah nyariin," Lusi berseru kesal lalu pergi meninggalkan kami. Aku kebingungan melihat tingkahnya.
"Lusi kenapa, sih?" tanyaku.
"Oh, biasa. Itu Kevin pacarnya."
"Eh, enak aja! Siapa coba yang mau jadi pacarnya cowok nyebelin kayak dia?!" Lusi yang belum terlalu jauh dan mendengar ucapan Mia tadi menatap tajam ke arah kami.
"Nyebelin tapi ganteng, kan? Pertama kali ketemu aja kamu langsung salah tingkah," Mia membalas tatapan tajam Lusi.
"Huh, sorry," kata Lusi kesal lalu pergi. Mia sejak tadi masih tertawa melihat reaksi dari Lusi. Aku hanya menatap heran.
"Oh, iya. Kira, apa kamu sudah punya pacar?" Aku yang sedari tadi memperhatikan mereka langsung tersentak kaget.
"Eh, tidak ada," jawabku singkat. "Memangnya kamu punya?"
"Tidak juga. Kecuali ada cowok yang kemampuannya setara dengan Sherlock Holmes di sekolah ini."
"Sherlock Holmes itu siapa? Aku belum pernah mendengar nama itu."
"Kamu nggak tau, ya? Ya, udahlah. Kalo gitu aku kasi tau, nih. Dia itu ...." Belum sempat aku mendengar penjelasan Mia, ibu sudah memanggilku masuk ke ruang kepala sekolah.
"Ya udah, deh. Nanti aja jelasinnya. Aku dipanggil ibu, tuh," kataku sambil melangkah pergi meskipun aku sebenarnya sangat penasaran dengan nama yang disebutkan Mia tadi.
"Oke, bye."
Aku segera melangkah masuk. Ibu sudah menunggu di dalam. Di sana ada seorang pria yang kelihatannya lebih tua beberapa tahun dari ayah. Menurutku, dia pasti kepala sekolahnya.
Di sebelahnya ada seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang membawa beberapa buku pelajaran. Dia terlihat tersenyum ramah padaku.
"Nah, kamu pasti Kira, kan? Kamu akan masuk di kelas XI-IPA 3 Ini Bu Yanti. Dia yang akan menjadi wali kelasmu," jelas pria yang kusangka kepala sekolah tadi.
"Terima kasih atas bantuan anda, Pak," kata ibu sambil membungkukkan badan memberi hormat. Ya, dia memang biasa melakukan hal semacam itu.
"Ya, sama-sama, Bu," pria tadi juga ikut membri hormat seperti ibu.
"Kira, kamu jadi anak baik, ya. Daah ...." Ibu segera keluar menuju parkiran. Tidak lama kemudian bel masuk kelas berbunyi.
"Ayo, Kira. Sudah waktunya masuk kelas," ucap Bu Yanti sambil menepuk pundakku kemudian melangkah keluar ruangan. Aku lalu mengikutinya dari belakang kemanapun dia pergi.
"Kira, kalau ibu boleh tau, siapa nama lengkapmu?"
"Eh, iya. Nama lengkapku adalah Kira Ishida."
"Hmm ... Ishida itu pasti nama marga ayahmu, kan? Lalu, ibumu pernah tinggal di Jepang cukup lama. Kemudian mereka bertemu lalu memutuskan untuk menikah. Dan ayahmu memilih untuk tinggal dan bekerja di sini. Sampai sekarang, kau hanya beberapa kali pergi mengunjungi keluargamu di sana. Apa itu benar?" jelas Bu Yanti. Aku sungguh tidak menyangka. Bagaimana dia bisa tahu sampai sedetail itu?
"I ... iya. Tapi, darimana ibu tau bisa tau semua itu? Apa ayah atau ibu saya yang memberi tau anda?" tanyaku penasaran.
"Ah, tidak juga. Saya menyimpulkan seperti itu berdasarkan pengamatan," jawab Bu Yanti. Aku hanya mengernyitkan dahi, tidak mengerti.
"Begini, menurut pengamatan saya, ibumu tidak memiliki wajah oriental sepertimu. Tetapi, ketika dia hendak pergi, ibumu membungkukkan badan untuk memberi hormat. Ibumu jelas bukan orang Jepang. Karena itu, saya yakin bahwa ibumu adalah orang Indonesia yang berhasil berasimilasi dengan budaya Jepang karena sudah lama tinggal disana.
"Lalu, gaya bicaramu juga terdengar fasih, tanpa aksen sedikitpun. Kemudian, jika kau tidak mewarisi wajah oriental itu dari ibumu, itu pasti dari ayahmu, kan? Dari situ saya bisa menyimpulkan bahwa ayahmu bertemu dengan ibumu ketika dia masih tinggal di Jepang. Kemudian ayahmu memilih untuk tinggal dan bekerja di sini.
"Selain itu, saya juga menyimpulkan bahwa kamu hanya beberapa kali mengunjungi keluargamu di sana," jelas Bu Yanti. Aku hanya bergumam wow dalam hati.
"Apa penjelasan saya masih ada yang kurang jelas?" tanyanya membuyarkan lamunanku. Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng lemah.
"Bu, jika saya boleh tau, mengapa saya harus masuk ke kelas XI-IPA 3? Apakah jumlah siswanya lebih sedikit?" tanyaku mengalihkan tema pembicaraan.
Seketika raut wajah Bu Yanti berubah menjadi muram. Aku menjadi merasa bersalah karena menanyakan pertanyaan seperti itu di saat-saat seperti ini.
"Jika saya tidak boleh tau itu, saya tidak memaksa," ucapku dengan suara melemah di ujung kalimat.
"Itu karena ...." Bu Yanti terdiam. "Kejadian tahun lalu," lanjutnya.
Aku menatap wajahnya penuh rasa ingin tahu. Tetapi setelah itu, dia hanya membisu. Sampai akhirnya, kami sampai di kelas.
------x---x------
Kelas XI IPA-3, suasananya cukup ramai. Tidak seperti kelas lain yang sudah mulai belajar. Di sini terbalik seratus delapan puluh derajat.
Ada yang sibuk ke sana kemari meminjam buku catatan, ada yang buru-buru mengerjakan tugas, dan mesih banyak lagi.
Bu Yanti melangkah masuk terlebih dahulu. Aku ragu-ragu mengikutinya. Tapi dia menyuruhku untuk ikut masuk. Akhirnya, dengan langkah malu-malu aku pun masuk ke dalam kelas.
"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Yanti dengan ramah layaknya seorang guru. Seolah perasaan sedihnya yang tadi sudah menguap semua.
"Selamat pagi, bu," sahut semua teman sekelasku dengan serempak.
"Hari ini kita kedatangan teman baru. Ayo perkenalkan dirimu, nak." Semua mata tertuju padaku.
"Perkenalkan, nama saya Kira Ishida. Kalian bisa panggil aku Kira," ucapku dengan wajah sedikit tertunduk seperti siswa baru pada umumnya.
"Oke, apa ada yang ingin ditanyakan," tanya Bu Yanti memecah keheningan. Semuanya terdiam. Entah itu karena tidak ada pertanyaan atau karena malu bertanya. Tiba-tiba, seseorang mengacungkan tangan lalu bertanya.
"Namamu Kira, bukan? Aku punya satu pertanyaan. Seperti apa tipe laki-laki impianmu?" tanya salah satu siswa dari bangku belakang. Seketika suasana kelas menjadi riuh.
"Ade, ibu memang mempersilahkan kalian bertanya. Tapi bukan pertanyaan seperti itu," kata Bu Yanti yang mendengar pertanyaan yang menurutku sedikit aneh.
Laki-laki yang bernama Ade tadi hanya tertunduk sementara seisi kelas meneriakinya. Aku hanya tersenyum simpul. Aku masih berharap semoga teman sekelasku mau menerimaku sebagai teman.
"Baiklah, mulai hari ini Kira akan ikut belajar bersama kalian di kelas ini. Ibu harap kalian tetap bersikap baik padanya," kata Bu Yanti seolah bisa mendengar kata hatiku.
"Oke, Kira. Silahkan kamu duduk di tempat yang masih kosong. Tidak apa-apa kan walaupun di belakang. Kamu masih bisa melihat papan tulis. Nanti kalau ada temanmu yang mengganggu, laporkan saja pada ibu." Aku mengangguk paham lalu berjalan menuju kursi yang masih kosong.
Tiba-tiba, seseoang menoleh ke arahku lalu bertanya.
"Hai, kamu masih inget sama aku, kan?" Tentu saja aku masih mengingatnya. Dia tak lain adalah Mia, gadis yang kukenal lima belas menit yang lalu. Kebetulan dia duduk tepat di depanku.
"Syukurlah, kau masih ingat. Artinya kamu tidak amnesia," lanjutnya.
"Sekarang kita akan mulai belajar. Sebelumnya, apa ada yang tidak masuk?" tanya Bu Yanti.
Pandangannya menyapu seluruh ruangan lalu berhenti tepat di kursi sebelahku. Bu Yanti menghela napas. Persis seperti ketika aku menanyakan prtanyaan yang membuat ekspresinya berubah drastis.
------x---x------
Bel tanda istirahat berbunyi. Semua siswa merapikan buku-buku mereka lalu bergegas keluar. Bu Yanti juga sudah membawa buku dan laptopnya kembali ke ruang guru.
Aku memilih hanya diam di kelas. Itu karena aku belum mengenal lingkungan sekolah ini. Namun, aku tidak sendirian di dalam kelas. Karena sekarang aku sedang bersama seorang siswi yang baru kukenal pagi ini di depan ruang guru.
"Jadi, apa kamu suka dengan kelas ini?" tanyanya.
"Yah, lumayan. Sepertinya mereka semua menyenagkan. Lalu, aku bisa satu kelas denganmu dan Lusi. Hanya saja. Ada beberapa hal yang tidak aku mengerti," jawabku dengan suara melemah di akhir.
"Eh, apa maksudmu?"
"Aku akan jelasin. Tapi sebelumnya, ceritakan aku sedikit tentang tipe laki-laki impianmu itu."
"Siapa? Apa maksudmu?"
"Itu, lho. Yang namanya kamu sebut di depan ruang guru tadi pagi. Tadi kamu bilang akan jelasin, kan? Masa sih kamu lupa. Jangan-jangan kamu amnesia." Mia tampak sedang mencoba mengingat-ingat percakapan tadi pagi.
"Oh! Maksudmu Sherlock Holmes?"
"Entahlah, aku nggak tau."
"Dia itu seorang detektif terkenal. Meskipun dia hanya tokoh fiksi, tapi namanya begitu melegenda.
Ketika dia pertama kali bertemu dengan Watson, asistennya, dia langsung tau kalo Watson baru kembali dari Afganistan meskipun mereka baru saling mengenal," jelas Mia.
Aku mengangguk paham. Sayangnya aku terlambat menyadari bahwa ada orang lain yang tidak pergi keluar kelas.
"Oh, jadi begitu, ya. Kamu ternyata lagi berusaha menularkan virus penggemar misteri pada Kira. Tidak kusangka," kata seorang gadis sambil melangkah masuk ke dalam kelas.
"Lusi! Bukannya kamu udah keluar tadi? Oh, jadi kamu nguping, ya," kata Mia kesal.
"Maaf, aku nggak sengaja denger pembicaraan kalian,' sahut Lusi tanpa rasa bersalah lalu duduk tak jauh dariku.
"Aku tidak mempengaruhinya! Dia sendiri yang bertanya padaku," tukas Mia.
"Oh, ya? Kita tidak akan tau sampai Kira mengatakannya sendiri pada kita," kata Lusi dengan gaya khasnya.
Sepertinya pertarungan memperebutkan perhatian seorang siswi baru dimulai. Aduh, kok aku jadi berpikiran begini, sih.
"Tenang .... Tenang ...," kataku melerai. "Aku bisa jelaskan, kok. Sebenarnya, memang aku yang bertanya pada Mia tentang tokoh detektif fiksi itu. Aku memang sering menonton film action selama ini. Tapi sepertinya film detektif tidak kalah menarik."
"Haha Aku menang 2-0," kata Mia senang.
"Ini tidak adil! Dulu kamu sudah dapat Kevin. Sekarang Kira juga?!" seru Lusi kesal. Mia masih tertawa puas.
"Hmm .... Oh, iya. Apa kalian bisa jelaskan padaku hal yang masih belum aku mengerti?" tanyaku mengubah tema pembicaraan.
"Itu, sih tergantung. Kalo gampang, kami akan jelasin, kok," jawab Lusi.
"Aku nggak ngerti. Kenapa ya waktu aku nanya 'apakah kelas ini siswanya kurang?' ekspresi Bu Yanti berubah drastis. Begitu juga waktu dia nanya 'apa ada yang tidak masuk?' lalu dia liat kursi di sebelahku ini, Bu Yanti menghela napas.
Oh, iya pas aku nanya tadi, dia cuma jawab 'itu karena kejadian tahun lalu.' Aku gak ngerti maksudnya apa," jelasku.
Mereka berdua hanya saling pandang lalu terdiam. Entah mengapa kejadiannya mirip seperti ketika aku menanyakan hal ini pada Bu Yanti.
"Oke. Kalo ini rahasia dan aku nggak boleh tau, nggak apa-apa, kok. Aku nggak maksa."
"Kami akan memberitahumu, Kira. Tapi tidak seutuhnya. Karena faktanya kami juga tidak tau secara utuh. Kamu juga harus merahasiakan ini dari orang luar. Kami harap kamu bisa menjadi detektif dalam hal ini. Lagipula, cepat atau lambat kamu akan tau," kata Mia.
"Iya, aku janji akan merahasiakannya."
"Semuanya tentang teman semejamu, Sisilia. Kalau kamu melihatnya sekilas, kamu mungkin akan berpikir bahwa dia adalah orang paling dingin yang pernah kamu temui seumur hidupmu. Semua orang di sekolah ini menganggapnya sebagai seorang pembunuh berdarah dingin. Siswa di kelas ini lebih sedikit dari kelas lain karena banyak siswa yang mendengar rumor itu dan memutuskan untuk pindah ke sekolah lain," jelas Lusi.
"Maaf, hanya ini yang aku tau. Mungkin ini terlalu sedikit," lanjutnya.
"Tidak apa-apa. Itu lebih dari cukup," kataku sambil tersenyum. Baiklah, mungkin sudah saatnya aku harus menjadi detektif.
Aku berjanji akan mencari kebenaran di balik semua ini.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top