BAB 8 : CRESTFALLEN

🍁🍁🍁

Debar hangat merasuk qalbu Hanania saat alat test ditangannya menunjukkan dua garis merah.

Adam sedang menikmati sarapannya di atas meja makan. Hana menyerahkan benda pipih itu pada suaminya.

"Really? Congrats, sayang." Adam menggenggam tangan Hana erat dan mengecupnya lembut.

Hana terduduk lemah, tubuhnya sedikit melorot di sandaran kursi setelah Adam pamit bekerja.

Bukan.

Bukan ia tak bahagia dengan kehamilannya, tapi ia gusar. bagaimana jika Adam bersikap kasar lagi. 'Ah semoga dengan kehamilan ini sikapnya semakin membaik.' Do'a Hana.

🍁🍁🍁

Bulan berlalu. Hana memikirkan kenyamanan dalam rumah tangganya yang kian membuatnya tak nyaman. 'Bukankah tujuan rumah tangga itu adalah rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah?'

Damai, tentram dan penuh cinta kasih.

Berada dalam pantauan penuh Adam, sikap posesif, takut kehilangan dan tempramen Adam membuat Hana punya inisiatif untuk membawa Adam ke Konseling Psikologi.

Mungkin dengan begitu Adam bisa berubah dan lebih baik dalam mengendalikan emosi.

"Mas, apa kau mencintaiku?" Tanya Hana ketika mereka hendak tidur.

"Hei, ofcourse, sayang. Kenapa? Apa kau meragukanku?" Adam membentangkan tangan ke atas dada Hana, dan memeluknya erat.

Hana tersenyum lembut, menetralkan suasana. "Boleh aku meminta sesuatu?" ucapnya hati-hati kemudian.

Adam bergeming, namun wajahnya memancarkan binar persahabatan.

"Mas, aku tau kau mencintaiku, sikapmu memproteksi seluruh rutinitasku, orang-orang yang ku temui, dan seluruh gerak gerikku, adalah tanda kau cinta dan tak ingin kehilangan. Benarkan?"

"Itu kamu tau." Adam semakin mengeratkan pelukannya. Ia membenamkan wajahnya ke satu sisi pundak Hana.

"Mas ... aku berterima kasih atas semua yang kau lakukan dan berikan padaku selama ini. tapi bukankah itu sedikit, mmm ... berlebihan?" ungkap Hana hati-hati.

"Lalu kenapa?"

"Aku merasa sedikit aneh belakangan ini. Kadang tiba-tiba merasa sedih, tiba-tiba merasa tak berguna. Maukah kau bersamaku menemui ahli? Aku ingin setelah punya anak nanti, rasa cintaku padamu tak berubah. Apalagi jika terjadi Syndrome Baby Blues. Aku ingin kita sama-sama mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan menghadapi persalinan." Hana sedikit berkamuflase. Sejatinya ia takut mengungkapkannya.

"Maksudmu, kau mengajakku ke seorang Konselor Psikolog?" Dengan cepat Adam membaca maksud dari penjabaran Hana.

Hana memucat. Menimbang-nimbang, kata apa yang akan ia pilih. Ia takut suaminya murka.

"Kita berdua, Mas. Kita berdua yang akan menjalaninya. Bolehkan? Mmmm .... demi anak kita," ujar Hana cepat.

Adam hanya bergeming. Tak ada jawaban. Lalu tangan Adam terangkat, dan tertidur membelakangi Hana. Hana menarik nafas kecewa. 'Semoga ini tidak mengurangi ridhomu padaku, Mas.'

🍁🍁🍁

Siang itu, Hana tengah membaca buku diruang tengah. Bi Asnah sudah pulang dari bekerja. Tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Hana mendongak melihat kearah suara.

Adam.

"Mas, kau sudah pulang?" tanya Hana.

"Sebenarnya belum. Ada berkas yang tertinggal. Aku pulang sebentar untuk mengambilnya." Adam berlalu masuk ke ruang kerjanya. Tak lama keluar kembali dengan berkas ditangannya.

"Ini jam istirahat, sayang," ucapnya saat mendekat kepada Hana dan mengelus pipi Hana lembut.

"Kau sudah makan?"

Hana menggeleng. "Bagaimana kalau kita makan bersama?" Ajak Adam.

"Dimana?" Binar mata Hana mencuat begitu saja. Ia pikir Adam sedang mengajaknya makan diluar.

Ting nong.

Suara bell berbunyi.

'Siapa yang datang? Bukankah ini diluar jam kerja Bi Asnah,' Adam bergumam.

Selama ini tak ada yang datang ke rumah selain Bi Asnah, Dokter, atau tukang pembersih Ace. Tapi Adam merasa tak memanggil siapa pun untuk datang.

"Tunggu disini," Perintahnya. Lalu berjalan mendekati pintu depan.

Hana gelisah di tempat duduknya. Diam-diam ia mengekor dibelakang Adam.

Adam terpaku saat melihat dari kaca pembesar cembung yang menempel di pintu. Ia melirik ke belakang, ternyata Adam menyadari Hana mengekorinya.

Lantas Adam menyeret Hana masuk ke kamar. Hana terperanjat. "Mas, itu Apak dan Ummi, kan? Kenapa kau menyeretku?"

" Masuk!" Bentaknya. Hana tergugu.

"Mas, kau tidak boleh begini. Mereka orang tuaku!" Hana mulai terpancing emosi.

"Apa kau yang mengundang mereka kesini?! Hmmp?!"

"Aku rindu mereka, Mas. Ku mohon." Hana memeluk kaki Adam dengan tangisan yang sudah tak bisa lagi ia tahan.

Adam tak peduli. Malah dengan cekatan mengunci pintu kamar. Lalu berjalan keruang depan.

Ia membuka pintu perlahan.

"Assalamu'alaikum, Nak. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga. Apak tadi menelponmu, tapi kau tak angkat. Kenomor Hana juga. Tapi tak aktif. Apak pikir mungkin kau sedang sibuk bekerja. Ya sudah, kami langsung saja kesini," terang Apak sambil mengusap peluh dengan sapu tangannya.

Adam langsung keluar dan menutup pintu.

"Mana Hana, Nak? Ummi rindu sekali padanya."

"Maaf, Ummi, Apak. Hana sedang tak dirumah. Ia sedang keluar berbelanja. Dan saya juga sedang akan keluar bekerja." Adam segera mengunci pintu dengan kunci ganda ditangannya.

Apak, Ummi dan Nay merasa ada yang aneh dengan sikap Adam.

"Oh begitu," ucap Ummi sedikit canggung.

"Apa Mba Hana akan lama pulang? Boleh kami menunggu didalam?" Nay yang daritadi masih diam angkat bicara. Apak dan Ummi tersenyum getir.

"Oh, Apak, Ummi, Nay, ayo, saya antar ke hotel dulu biar bisa istirahat, ya. Di rumah sedang tak ada orang. Nanti jika kalian perlu sesutu pasti akan sulit. Apalagi ini letaknya dilantai atas." Adam sedikit beralasan.

Didalam, Hana berusaha membuka pintu kamar. Ia ingat, kalau ia punya kunci gandanya. Dengan sigap ia mencari kunci dilaci nakas. Ketemu.

Dengan cekatan ia membuka pintu kamar. Tergopoh-gopoh berlari ke ruang depan. Hingga ia lupa kalau ia sedang mengandung.

Hana menggoyang kuat engsel pintu.
Terkunci. Hana mengintip dari kaca kecil yang menempel di pintu. Terlambat. Sudah tak ada orang disana.

"Oh shit!" Serapahnya dengan memukul keras daun pintu. Tubuhnya limbung kelantai.

"Kau keterlaluan, Adam!" Raungnya.
"Butuh perjalanan berjam-jam untuk sampai kesini. Mereka pasti lelah. Kau keterlaluan!" Raungnya lagi.

Tak ada yang mendengar. Hana menangis menahan guncangan di dadanya. Ada benci yang berdarah-darah didalam sana.

Tak habis akal. Hana bangkit berlari kearah telepon. Memencet nomor Nay. Tak peduli lagi CCTV merekam tidak tanduknya.

Tersambung.

"Nay, bersikaplah biasa saja. Seolah bukan aku yang menelpon. Apa Adam masih bersama kalian?"

"Ya," jawab Nay singkat sedikit gugup.

"Baik, jangan sampai dia tau kalau aku yang menelponmu. Okey."

"Okey gaes." Nay masuk dalam sandiwara.

"Nay, katakan padaku kemana Adam akan membawa kalian. Kumohon, jangan kembali pulang dulu. Ajak Apak dan Ummi untuk menginap. Aku akan berusaha kesana. Kau mengerti?"

"Ya ampun gaes, aku sedang diluar kota. Ini aku lagi menuju hotel bersama keluarga. Apa? Hei, tampaknya kita berada dikota yang sama."

Hana merekam ucapan Nay dan mencatat hotel yang disebutkan.

🍁🍁🍁

Bi Asnah terdiam saat Hana memaparkan rencananya. Hana berencana meminjam pakaian Bi Asnah untuk keluar rumah. Tentu saja cara ini di lakukan untuk mengelabui CCTV.

"Jangan, Nyonya. Istri dilarang keluar rumah tanpa seizin suami."

"Bi... ini genting! Orang tuaku datang jauh-jauh kesini dan Mas Adam tak mengizinkan aku bertemu mereka. Tolong aku, Bi. Sekali ini saja." Hana mengatupkan kedua tangannya. Sungguh-sungguh memohon.

"Saya tidak berani, Nyonya. Bagaimana jika Tuan Adam tau. Kita berdua yang akan kena hukumannya." Tolak Bi Asnah.

Hana faham maksud Bi Asnah. Ia tak ingin terlibat dalam masalah rumah tangganya.

"Maaf, Nyonya. Zaman Rasulullah dulu ada seorang istri yang tak berani keluar rumah sebab suaminya berpesan sebelum berangkat perang, agar dia tetap di rumah hingga suaminya kembali, apa pun yang terjadi. Saat suaminya pergi berperang sang istri menerima kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia. Bisa dibayangkan bagaimana perasaannya waktu itu. Namun karena taat pada suaminya, dan takut pada Allah, sang istri memilih untuk menunggu sang suami. Datang beberapa orang utusan menjemput sang istri, namun ia tak kunjung mau ikut. hingga akhirnya datang utusan terakhir mengabarkan orangtuanya akan dikebumikan. Artinya itulah kesempatan terakhirnya untuk bertemu. Namun istrinya masih tak berani keluar rumah karena taatnya pada perintah suaminya. Hingga suatu ketika dikisahkan sang istri tersebut tidak dapat melihat orang tuanya untuk yang terakhir kali. Saat suaminya pulang, sang istri mengabarkan perihal tersebut kepada suaminya. Alangkah terperanjatnya sang suami. Lalu Sang suami mengisahkan apa yang terjadi kepada Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam. Rasul mengatakan bahwa orang tua sang istri telah ditempatkan Allah disurga sebab taat anaknya pada perintah suaminya. Begitulah kira-kira, Nyonya. Saya tidak berani ikut andil jika Nyonya mau keluar juga. Maafkan, saya." Bi Asnah menatap Hana penuh cemas.

Hana tak mampu lagi membendung rasa sedihnya. Airmatanya menetes tanpa diminta. Ia bimbang, mengikuti hawa nafsunya atau taat pada perintah suaminya. Keduanya sama-sama terasa berat.

Dalam kekalutan, Hana mengkontak Nay kembali. "Nay, apa kalian masih di hotel? Mintalah resepsionis memesan taxi online. Datanglah kesini bersama Apak dan Ummi, ya."

Jika Adam murka untuk hal ini, ia akan menghadapinya. Adam tak memberikan ia pilihan. Toh, yang ia undang datang bukan siapa-siapa. Melainkan orang tuanya yang semestinya juga di hormati oleh Adam.

Sejatinya menikah itu bukan hanya menikah dengan pasangan, tapi juga dengan keluarganya. Perlakukan orangtua pasanganmu sebagaimana engkau memperlakukan orangtuamu sendiri. Begitulah ajaran yang di anjurkan Nabi.

🍁🍁🍁

"Ummi...," Hana memeluk erat tubuh wanita yang dikasishinya itu dengan penuh cinta. Yang dipeluk tak kalah erat memeluk Hana.

Kemudian berpindah ke Apak. Apak mengusap puncak kepala Hana penuh rindu. Seolah gadisnya itu masihlah gadis kecilnya dulu. Yang ditimang dan diayun sepenuh cinta, Dan dilindungi segenap jiwa raganya.

"Hana rindu, Apak, Ummi...," rengeknya, bertingkah seolah gadis kecil.

"Apak dan Ummi juga rindu, makanya menjenguk kesini. Gimana kabar kandunganmu, Nak?"

"Alhamdulillah Apak, Ummi, kami sehat, maafkan kami yang belum bisa menjenguk. Harusnya kami yang pulang kesana."

"Sudah, tidak apa. Sekalian bawa Nay jalan. Apak dan Ummi juga ingin tau tempat tinggal kalian disini," terang Apak.

Ummi mengusap-ngusap perut Hana yang mulai membuncit. Selebihnya mereka bersenda gurau melepas rindu yang sudah lama membelenggu.

🍁🍁🍁

Adam pulang dengan sebuah kejutan. Mendapati mertuanya ada di apartemen membuatnya salah tingkah. Apak merangkulnya penuh hangat.

Hana sedikit kalut, namun ia tetap dengan keputusannya. 'Adam tak boleh dibiarkan terus berbuat sesuka hatinya. Ia meski tau yang dilakukannya salah. Dan aku tak suka. Bukankah kami harus saling memahami dan menghargai?" Batin Hana berbisik.

🍁🍁🍁

Malam hari. Dikamar tidur mereka.

"Hei, apa maksudmu mengundang mereka menginap disini?" Adam mengajukan pertanyaan yang menusuk tanpa ia sadari. Matanya menembus iris mata Hana.

'Mereka katamu, Mas? Seolah mereka itu orang lain bagimu?' Berisik dalam hati Hana mengalun. Hana menarik nafas mengambil jeda. Agar tak terpancing emosi.

"Maafkan aku, Mas. Aku sangat merindukan mereka. Mungkin ini bagian dari 'ngidam'." Lembut Hana mengusap pundak Adam dan memeluknya dari belakang.

Hana merasakan debar jantung Adam menguat, lelaki ini sedang marah. Pelukan itu semoga bisa meredakannya.

"Aku tidak suka! Apalagi jika mereka membawamu pergi darisini!" Adam melepas pelukan Hana. Hana sedikit terhuyung ke belakang.

'Ya Allah, lembutkanlah hati suamiku.' bisiknya.

Mata Hana mulai berkaca-kaca. Ia takut Apak dan Ummi menangkap pembicaraan mereka.

"Mana mungkin mereka akan membawaku, Mas. Mereka sangat menghormatimu." Hana mencoba meredam emosi Adam.

"Yang jelas aku tidak ingin mereka berlama-lama disini. Ini mengangguku. Aku tidak akan tenang bekerja."

Deg! Seperti luka yang parah, belum lagi sembuh, namun dengan sengaja air garam disiramkan ke atasnya. Perih. Perih yang sangat dirasa Hana.

'Apa lelaki ini takut jika sikap aslinya diketahui keluargaku? Ya Allah, kuatkan aku.'

Hana mengusap bulir bening di sudut matanya. Ia tak ingin terpancing emosi. Karena itu akan berakibat fatal. Bisa jadi orang tuanya menangkap basah pertengkaran mereka.

🍁🍁🍁

"Nak, hari ini Apak dan Ummi pamit pulang, ya...," ungkap Ummi tiba-tiba disela sarapan pagi bersama.

Hana yang tengah tertunduk seketika mengangkat wajahnya. Terkejut. Raut itu yang terpancar disana.

"Kenapa begitu Ummi?" Ucap Hana. Dari ekor matanya ia melihat Adam yang biasa saja, tanpa ada jawaban. Tiada satu kata pun keluar dari mulutnya. Tentu. Tentu dia setuju dengan ucapan Ummi.

"Iya, Nak. Apakmu masih ada pekerjaan, Nay juga tak bisa berlama-lama libur kuliah," ucap Ummi kemudian.

Hana menangkap ada sesuatu yang tidak beres. Tak biasanya Apak dan Ummi begini. 'Oh Tuhan, apa pertengkaran kami tadi malam di dengar Apak dan Ummi?'

"Ummi, sebenarnya Hana masih rindu. Tapi jika Apak dan Ummi maunya begitu. Ya sudah, mana baiknya saja," ucap Hana sambil melirik Adam. 'Hei, lelaki ini apa dia memang akan diam saja? Setidaknya tawarkan diri untuk mengantar Apak dan Ummi ke stasiun.'

Benar saja. Hingga saatnya berangkat kerja, Adam hanya pamit dan mengucapkan, "Hati-hati dijalan, Apak, Ummi. Nay, jaga Apak dan Ummi, ya." Lantas pergi begitu saja.

Tentu saja Hana merasa tak enak dengan sikapnya. Ummi kelihatan canggung. Nay apalagi. Apak hanya diam dan tak berkata apa pun.

Hana memeluk erat tubuh Ummi dan Apak. Tak terasa airmatanya menetes lagi. Seolah akan lama sekali berpisah dan tak bertemu. Ditinggal di tempat baru dan asing oleh keluarga tersayang, rasanya bagai dilepas di hutan belantara dan harus mencari jalan pulang sendiri.

Ada debar-debar sendu bergejolak disana. Ada rasa haru deru yang menggebu, ada rindu yang seakan sudah terbentang padahal saling pandang masih terpampang.

Hana rasanya ingin ikut pulang saja. Tapi tak bisa.

"Nak, bersikaplah menjadi sebaik-baiknya sikap dimanapun posisi kita sekarang. Jangan lupa panjatkan do'a untuk Apak dan Ummi. Juga ... suamimu. Kami berdo'a semoga kalian sehat, kandungamu sehat, bayi kalian sehat. Jangan kawatir. Nanti Apak dan Ummi akan menjenguk lagi, ya. Insyaa Allah."

Hana memeluk Apak sepenuh haru biru. Airmatanya berkejeran keluar seirama dengan deru hatinya. Ingin ia menjerit sambil berkata, 'Apak... tolong bawa aku ikut serta. Bawa aku pergi darisini...' Namun lidahnya kelu, ia bimbang, meski nafsunya meburu, antara pikiran dan hati yang sering tak sejalan.

Entah yang mana yang akan dimenangkan. Namun satu-satunya jalan yang benar adalah ikhlas dan tawakkal kepada kehendak Tuhan. Belajar menerima apa pun yang digariskan.

Tersebab Lillah berhargalah semua lelah.
Tersebab Ma'Allah sederhanalah segala masalah.
Tersebab Ilallah ringanlah setiap langkah.

🍁🍁🍁

Hana merasakan sakit yang tak berkesudahan di bagian perut. Melilit, melintir, bertubi-tubi. Peluh-peluh berkejaran dari wajah dan sekujur tubuhnya.

"Bi Asnah...," panggilnya lemah.

Yang dipanggil langsung tergopoh-gopoh datang.

"Bi... tolong..," Hana meremas seprai bermotif floral diranjangnya. Ada cairan mengalir di kakinya hingga membasahi sebagian ranjang.

"Maasyaa Allah, Nyonya. Sebentar, saya telpon Tuan."

Tak lama Bi Asnah kembali ke kamar.

"Sebentar, Nyonya. Tuan segera datang bersama dokter. Kuat, ya.." Bi Asnah dengan lembut mengusap-usap kening Hana.

"Laa Ilaaha illaa Anta Subhanaka inni kuntu minazzhoolimin." Tak henti mulutnya melirihkan do'a, berulangkali. Sesekali ia berbincang dengan bayi di kandungannya.

"Sayang, apa sudah waktunya? Tolong Bunda, ya, Nak. Lahirlah dengan mudah, lembut, sehat, dan kita berdua selamat. Sebentar lagi kita bertemu, sayang. It's okey. I'm so happy to meet you, Dear."

Adam datang bersama seorang Dokter dan beberapa perawat yang semuanya wanita.

Dengan sigap Dokter itu mengambil alih, dan memberi instruksi apa saja yang akan dilakukan. Dengan sabar Dokter wanita itu menunggu dan terus menyemangati Hana menanti kedatangan bayinya.

Adam menggenggam erat tangan Hana. Mengusap peluh dikeningnya lembut, dan tak lupa hanya kata manis yang keluar dari mulutnya.

Para perawat yang menyaksikan sesekali tersenyum melihat tingkahnya. Entah menurut mereka itu romantis, terlalu berlebihan, suami siaga, atau entahlah. Hana sudah tidak peduli.

Berulangkali cek bukaan, namun tak kunjung juga bayi mungil ini mengajak keluar.

"Pak Adam, jika sampai nanti belum ada kemajuan. Mungkin kita harus ambil tindakan Operasi, Pak. Air ketubannya keluar terus. Namun bayi belum turun juga."

"Apa tidak ada cara lain Dokter?" tanyanya.

"Cara lain, bisa kita beri suntikan ransangan yang dimasukan melalui cairan infus. Karena tadi saya sudah memberikan suntikan ransangan, namun tidak ada reaksi, bukan? Namun suntikan melalui cairan infus ini perlahan nanti akan terasa sangat sakit saat kontraksi," terang Dokter.

"Kalau begitu, coba di infus saja, Dokter." Pinta Adam.

'Oh Tuhan, apa yang dipikirkan suamiku ini. Apa dia takut jika aku keluar dari rumah ini? Meskipun hanya ke rumah sakit? Rasanya aku hampir mati menahan rasa sakit. Apa dia masih memikirkan egonya?" Hana seakan merutuki sang suami.

Saat-saat seperti ini ingatannya terbang kepada Ummi. Merindukan wanita terkasih itu berada disampingnya. Namun lagi-lagi itu hanya sebuah impian.

"Bagaimana, Buk Hana?"

"Ambil cara yang menurut Dokter terbaik, Dok. Tolong, saya mulai tidak kuat," jawab Hana lemah.

"Coba cara tadi saja dulu Dokter!" ucap Adam tegas.

Dokter mengecek kembali kemajuan pada bukaan jalan lahir. Meminta para perawat memasang infus, dan memasukan suntikan ke dalam infus.

Perlahan tapi pasti, rasa sakit tak terkatakan menyerbu perut hingga kebagian bawah perut Hana. Ia meronta menahan kontraksi dengan sakit tak berkesudahan.

'Ya Allah, beginikah rasanya? Seakan nyawaku sudah berada di ubun-ubun kepala. Dan siap tercabut dari tempatnya.'

Setelah menunggu beberapa lama. Terdengarlah suara bayi menggema.

Hana tak bisa menahan rasa haru saat bayi mungil itu berada dalam dekapannya. Airmata kesakitannya kini berubah menjadi airmata kebahagiaan.

Matanya berkaca-kaca melihat sorot mata mungil dari bayi yang kini otomatis mengganti statusnya menjadi seorang ibu.

Setelah bayi mungil itu selesai di bersihkan dan dipakaikan bedong bayi, Dokter menyerahkan si mungil penghuni baru di rumah mereka kepada Adam --sang Ayah-- untuk di azani.

Saat bersamaan, pandangan Hana meredup, tenaganya melemah, habis terkuras.

Sebelum matanya terkatup, ia sempat melihat Adam menolak untuk mengazani bayi mungil mereka, entah mengapa. Bayi laki-laki yang berhasil membuat Hana jatuh cinta jauh sebelum melihatnya hadir kedunia.

.
.
.
.
To be continued

_____________________
Terimakasih buat pembaca semua. Mohon koreksi jika ada typo bertebaran disana sini, ya... 😉

Krisan yang lain juga boleh. Sebagian masukan buat saya yang masih belajar menulis. Danke all

Love you cause Allah. 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top