BAB 14 : SAGA

Bbeeeghh merah meriah euy 😍😚

Ada yang pernah ngerasain kayak Hanania nggak, ya?  Mendadak beku di tempat berdiri! 😆

Yuk baca kelanjutan kisahnya. Jangan lupa vote sebelum membaca, ya,  Dear. Danke 😘

🍁🍁🍁

“Uuuuuuuuu, ternyata kakak ‘so sweet’ juga, ya.” Farah menggoda kakaknya diiringi tawa jahil.

“What going on setelah itu? Ah, aku yakin kak Hana pasti tersipu-sipu mendengar ucapan kakak. Dia pasti langsung terima kakak. Iya, kan?  Wanita mana, sih, yang bisa menolak kakakku ini?”

Musab menggeleng pelan. “Kamu salah, Rah. Setelah itu kakak tidak bertemu dia. Hanania seperti menghindar. Dirinya yang selalu ceria jadi menutup diri. Menjauh dari kakak.” Mata Musab menerawang. Lelaki itu tersenyum tipis mengingat betapa berbedanya Hanania dengan gadis lain yang sering ia temui.

Jika gadis lain sering mencari perhatiannya, langsung to the poin bilang suka, Hanania malah seolah tak tertarik pada dirinya. Gadis itu unik, elegan, berkelas. Hal itu membuat hatinya seakan terus terbang mencari jalan pada hati gadis berlesung pipi itu. Dan ia mulai tersesat. Tak tentu arah ke mana harus melangkah.

“Lantas?” Farah mengangkat alisnya, lalu tersenyum sambil menyilang kedua tangannya di depan dada.

🍁🍁🍁

Musab menatap lekat layar Hand Phone Nokia di tangannya. Sudah berapa banyak sms yang ia kirim pada Hanania, tapi tak satupun mendapat balasan. Gadis itu tak ia temui di Kampus. Tak juga di kosannya. Jelas ia tampak menghindar. Sikapnya ini, apa sebuah cara untuk menghindari para wanita yang mengejar Musab Baihaqi? Atau mungkin memang dirinyalah yang ia hindari?

Lelaki bermata elang itu tersenyum getir, selama ini ia yang dikejar-kejar wanita. Kali ini agaknya keadaan berbalik padanya.

Suara petir menggelegar disambut hujan deras mengguyur halaman rumah ‘Am Taufik. Lelaki itu berjalan ke luar dengan mata yang berbinar. Menatap pada rintik hujan yang berkejaran. Membiarkan air hujan membasahi dirinya, juga hatinya. 

Ah, alam seakan faham.

Hujan kali ini seakan memberi ruang untuknya bernostalgia. Membuatnya semakin merindu.  Kini detak hatinya seakan mendayu. Lelaki itu semakin menderu, hatinya berlagu, meraung memanggil sebuah nama dalam rentak hati yang tersembunyi dalam kuatnya deru hujan.

Sekeping hati yang merindu. Meliuk-liuk mencari arah, pada sekeping hati yang kini berhasil memeluk hatinya.

🍁🍁🍁

Di sisi bumi yang lain, seorang gadis berwajah ayu tengah menatap pada sebuah buku di tangannya. Sudah setengah jam ia tak kunjung menyelesaikan satu halamanpun. 

“Ck,” decaknya kesal sambil menutup kuat wajahnya dengan buku itu.

“Susah pelajarannya, Han?” Suara Ummi mengejutkan Hanania. Daritadi ternyata gerak geriknya tak lepas dari pandangan wanita yang melahirkannya itu.

“Eh Ummi. Gitu deh, Mi,” jawabnya cengengesan.

“Istirahat dulu. Jangan dipaksa, Sayang.”

“Iya, Mi...”

“Bantu Ummi dulu sini. Katanya pulang rindu Ummi." Ummi menggoda gadisnya itu. Matanya melirik. Hanania tersenyum lembut lalu bangkit mendekat padanya.

“Iya donk, Ummiku Sayang...”  Hanania merangkul dari belakang pundak Ummi yang sedang memetik sayuran.

Sedang asyik membantu Ummi di dapur, tiba-tiba hujan turun.

Hana melangkah mendekat pada jendela. Di balik tirai gadis itu menatap jarum-jarum bening menusuk permukaan halaman rumah Apak dengan penuh antusias. Bibirnya menarik sebuah senyum melengkung.

Tiba-tiba, ringan langkahnya berjalan ke luar. Tangannya terangkat mengambang, membiarkan air hujan menyentuh telapak tangannya.

Mendadak tubuhnya menerobos masuk ke dalam barisan rintik hujan. Ia tertawa riang sambil menengadah wajah pada langit. Melawan hujan yang menyentak pada kulit wajahnya. Bukannya menghindar ia malah semakin bertahan.

Suara geluduk tak menggoyahkan pertahanannya. Tampaknya rasa risih akan baju yang basah di badan tak lagi ia hiraukan.

Tiba-tiba.

“Hanania...., tolong Ummi angkat cucian di jemuran...!” teriak Ummi dari dalam. Membuyarkan nostalgianya pada rintik  hujan. Gadis itu tertawa konyol. Lalu berlari menuju tiang jemuran.

🍁🍁🍁

Hanania menatap buku di tangannya. Rasa lelah tak membuat matanya bisa terlelap setelah perjalanan kembali ke kosan dari kampung halaman. Gagal menimbulkan kantuk, lantas ia memasang headphone ke telinga dan memutar lagu di mp3 Gadgetnya.

Namun sayang, bukannya berhasil menimbulkan rasa kantuk, lagu itu malah semakin membuat hatinya berseru. Ternyata benar, lagu dan musik adalah pengikat kuat sebuah kenangan.

Ia masih ingat saat Musab mendayukan sebuah lagu berjudul “Flashlight". Lelaki itu bukan hanya berwajah tampan dan bertubuh tegap semampai, ternyata ia juga dikaruniai suara yang bagus. Nyaris sempurna.

Memang tak bisa di pungkiri, banyak mahasiswi yang bermimpi bisa menjadi pendampingnya.

“Kau suka mendengar musik?” tanya Musab waktu itu. Saat mereka duduk di bangku bernaung pohon saga di halaman Perpustakaan.

“Sedikit,” jawab Hana sekenanya. Gadis itu memungut biji buah Saga yang  bertebaran di atas meja.

“Suka musik apa?” tanyanya lagi.
“Aku suka musik Pop, Klasik, mmmm Holly and Bolly.” Hana menjawab sedikit tertahan. Sejenak berhenti dari aktifitasnya.

“Bolly? Really?” Musab sedikit menganggukkan dagu dan mengangkat alisnya.

“Haha, apa itu terdengar kampungan?” Hana menahan tawa.

“Tidak. Banyak ‘kok yang suka lagu-lagu Bollywood," ujar Musab.

“Kau bisa menyanyikannya?”

“Enggak.” Hana terkekeh dan menggeleng pelan.

“Agak sulit mengingat setiap katanya, ya, apalagi bagi yang nggak suka.” Musab mendesah pelan.

“Kau suka menyanyi, ya?” tanya Hanania antusias.

“Sedikit.” Musab menyipitkan mata, telunjuk dan ibu jarinya menyatu.

“Hooo, nyanyikan satu lagu. Aku ingin dengar." Hana terlihat antusias. Musab tersenyum sepintas. Sambil mendengarkan Mp3 dari ponselnya, perlahan lirik lagu berjudul Flashlight terdengar mendayu dari mulut lelaki itu.

“Hei, kenapa kau memunguti biji merah ini? Buat apa, sih?” tanya Musab keheranan.

🍁🍁🍁

“Airin .. cepetan,” panggil Zahra yang sedang menunggu Airin bersama Hanania di pintu masuk Flashlight Festival. Gadis itu sedang membeli minuman.

“Sabar ngapa, sih." Airin menyugar gusar.

“Di dalam ramai, lho. Jangan sampai kita terpisah." Hanania mengingatkan.

Hanania, Airin dan Zahra yang memang tinggal satu Kosan pergi ke  Flashlight Festival di akhir pekan.

Festival ini tidak selalu ada. Sudah lama mereka berencana pergi ke sana bersama.

Dalam Festival ini, para pengunjung dimanjakan dengan pemandangan indah bermacam jenis lampu-lampu yang didesign pada sebuah taman yang lumayan luas.

Ada yang berbentuk pohon-pohon, hamparan taman bunga yang kesemuanya berhias lampu-lampu. Ada juga yang berbentuk terowongan. Warna warni lampu-lampu dalam gelapnya malam menambah romansa suasana.

“Bagus banget...”  Zahra bertepuk kegirangan.

“Waaaa, romantis, ya, kan, squard,” seru Airin semangat.

“Hei, ayuk kita foto bareng,” ajak Hana tak kalah bersemangat. Mereka tertawa riang sambil sesekali saling melempar canda pada satu sama lain. Tentu saja, ada banyak spot bagus dalam festival ini.

Hana terkesima dengan jejeran lampu kecil yang terbentang bagai taman bunga terhampar, berwarna-warni sungguh indah sekali. Lalu pandangannya beralih pada jejeran warna warni lampu-lampu  membentuk terowongan panjang.
Tiba-tiba matanya terpaku pada seseorang yang berjalan di bawah lampu-lampu terowongan itu. Seketika, entah kenapa jantungnya serasa berdenyut lebih cepat, wajahnya menghangat. Laki-laki itu tampak sangat indah. Hana tak bisa memungkiri bahwa ia sedang terpesona dengan apa yang dilihatnya.

Hanania tak bisa memerintahkan debaran dalam dadanya untuk tetap normal, nyatanya dentuman itu semakin menguat saat laki-laki itu semakin mendekat.

Hanania membuang pandangan, berpura-pura dan menyembunyikan sesuatu yang menggeliat di perutnya. Apakah ini yang disebut Butterflies in Tummy?

“Hai, kepiting rebus,” sapa laki-laki itu menggoda. Mata Hanania sontak membulat. Wajahnya memerah merona, nyaris ia gagal berpura-pura.

“Berhenti memanggilku kepiting rebus!” bentaknya sedikit menaikkan nada suara. Namun sejatinya ia bingung mengekspresikan dan mengartikan rasa yang berdenyut di dalam dada. 

Musab tertawa renyah, “wajahmu memerah saat marah. Nah, kayak gini, nih.” Tangan Musab menunjuk ke wajah Hanania.

“Ihh, kamu nyebelin banget, ya!” potongnya sambil ‘membuang' wajah.

Musab menatap rindu gadis itu sambil tertawa ringan. Ekspresi Hanania yang sering ia rindukan.

“Maaf deh... aku janji gak bakal panggil kamu sebutan itu lagi. Tapi dengan syarat....” ucapnya berjeda.

“Apa?!” sambut Hanania kesal.

“Jangan menghilang lagi, Hanania. Aku kecarian." Tegas, sedikit terbata. Mata elang itu menembus tajam, bukan hanya ke dalam matanya, tapi juga hatinya.

Hanania salah tingkah. “Menghilang? Siapa?” bantahnya ketus.

“Ehem, ehem.” Deheman Airin dan Zahra membuyarkan pertemuan mereka.

“Hana, ke sana, yuk. Kak Musab boleh ikut sekalian,” ajak Airin dan Zahra. Mereka berdua senyum-senyum tak keruan. Hanania sedikit melotot tak setuju. Agaknya ia menyadari kedua temannya itu punya andil untuk pertemuan malam ini.

“Okay. Aku panggil Andra dulu, ya.”

Mereka berkumpul dekat pertunjukan Waterscreen.  Pertunjukan air mancur menari di iringi lagu-lagu. Tak tertinggal di sekelilingnya banyak lampu-lampu kerlap kerlip berwarna-warni. Sungguh menawan hati.

Yo're still the one I run to, the one that I belong to,  yo're still the one I want for life, yo're still the one I love, the only one I dream of,” lirih Musab di sisi kanan Hana. Matanya sesekali melirik pada Hanania sambil tersenyum kecil. Laki-laki itu mengikuti lirik lagu dari Sania Twain  pengiring pertunjukan Waterscreen. Tapi Hanania merasa lagu itu tertuju padanya.

🍁🍁🍁

Sore itu, Musab duduk sambil membaca buku di sebuah bangku berlangit pohon saga tepat di depan perpustakaan. Lelaki itu menunggu seseorang. Hanania. Ia meminta gadis itu menemuinya di sana.

Lama lelaki itu menunggu. Namun Hanania tak kunjung tiba. Lelaki itu mendesah pelan.  Mungkin memang lebih baik begini, demi menghindari gangguan dari para wanita penggemar Musab yang berulangkali Hanania dapat.

Tiba-tiba hujan turun. Laki-laki itu berlari ke pelataran Aula yang tak jauh dari jalan raya. Matanya menangkap sosok wanita sedang memayungi seorang pengemis cacat yang berjalan nyaris mengesot.

Wanita itu memayungi sang pengemis dan membiarkan tubuhnya basah kuyup, demi memayungi pengemis itu agar tak kehujanan. Laki-laki itu tersenyum hangat. Ia mengenali siapa wanita itu.

“Kamu?” ujar Hanania terkejut saat berpasan dengan Musab, setelah berhasil menggiring pengemis tadi berteduh.

“Kamu nggak datang, jadi aku yang datang. Menemuimu. Sudah aku bilang, jangan menghilang!” seru Musab ketus.

“Aku...” Ucapannya terhenti saat tangan Musab tiba-tiba menarik tangannya, lalu menggiring ia ke parkiran motor.

“Ayo, aku antar kau pulang dulu,” ajak Musab tegas. Hanania bingung dengan sikap lelaki itu. “Naik!” perintahnya lagi sedikit keras.

“Nggak mau!” Hanania menggeleng kuat.

“Jangan keras kepala. Kamu kedinginan.” Musab tau Hanania sering risih dengan baju yang basah di badan. Sebab itu ia dulu tak suka hujan-hujanan.

“Nggak papa. Udah telanjur. Bicaralah, apa yang ingin kau sampaikan?*

“Bukannya kamu nggak suka basah kuyup begini?”

“Iya, tapi....”

“Tapi sekarang nggak lagi, gitu?” potong Musab cepat. “Sejak kapan?” ujarnya lagi.

“Sejak...” Kata-katanya terhenti. Ia hampir keceplosan. “Aku masih risih tapi udah terlanjur,” tukasnya cepat.

“Emang kamu main hujan-hujanan tadi?” Musab tertawa lirih. Ia berpura-pura tidak tahu kenapa Hanania basah kuyup.

“Cepetan deh, jadi bicara enggak? Kalau gak biar aku pulang,” kata Hanania ketus.

“Jadi. Tapi nggak di sini. Ayo aku antar. Jangan keras kepala!”

“Hanania, maafin aku, beasiswa itu...” ucapnya perlahan sambil fokus ke jalan.

“Iya, aku udah tau, kok. Aku udah lihat pengumumannya tadi. Selamat ya, Bro! Kamu hebat." Hanania berucap pelan. Hujan mulai reda. Rintiknya tak lagi besar-besar.

“Kamu nggak papa?”

“Biasa aja. Jangan kawatir. Kenapa minta maaf. Aku masih punya kesempatan lagi tahun-tahun depan,” ujarnya ceria. Musab tersenyum hangat.

“Aku tau kamu berambisi dengan beasiswa pertukaran mahasiswa ke Oxford University itu, kan?”

“Hai, it’s okey. Aku memang berambisi, tapi Aku bahagia kamu berhasil dapetinnya. Jadi jangan sia-siakan." Hana menepuk pundak Musab pelan.

“Aku akan berangkat bulan depan. Maukah kau hadir di hari keberangkatan?” tanya Musab.

Hanania terdiam.

“Aku anggap itulah cara untukku mendapat jawabanmu, yes or not." Musab menatap wajah Hanania yang tertunduk. Mereka sudah tiba di depan Kosan.

“Jangan kawatir Hanania, aku tak sedang bergurau. Ketahuilah, aku nggak pernah main-main untuk hal semacam ini. Sebab itu aku selalu menghindar dan jaga jarak dari wanita yang... eng ya... begitulah." Musab menggoyang kepala pelan.

Hanania masih terdiam.

“Aku akan bilang 'ya' jika aku suka, dan tegas bilang 'tidak' jika aku nggak suka. Dan jika aku sudah bilang ‘ya’,  maka aku akan berjuang. Menemui orang tuamu pun aku mau." Musab berkata mantab. Hanania mendelik tak percaya. 

“Pikirkanlah. Aku menunggumu di sana, Hanania,” bisiknya sambil berlalu pergi.

Hanania berdebar tak karuan, hingga ia berhasil mencairkan kakinya yang sempat beku di tempatnya berdiri, lalu masuk dengan rasa mengharu biru jadi satu.

🍁🍁🍁

Musab menatap ke setiap arah.  Tak ia temukan sosok yang ia cari. Acara pelepasan di depan Biro Rektor selesai. Hanya Apel biasa.  Melepas mahasiswa yang akan dikirim kampus untuk pertukaran mahasiswa ke luar negeri.

Di tangannya ada banyak surat, bahkan kado, ucapan selamat dan cenderamata yang kesemuanya dari para pengagumnya. Salah satunya dari Dona. Gadis itu tadi menemuinya di kelas dengan antusias.

Di bandara Musab menanti dengan debar-debar tak keruan. Setengah jam lagi ia harus masuk ke ruang tunggu.

Tadi ia sudah menelpon Baba dan Ummi untuk pamit. Berhari-hari lalu ia tak putus berkomunikasi dengan mereka. Hari ini ‘Am Taufik ada pekerjaan, Musab juga menolak agar ‘Am Taufik membatalkan kerjanya demi melepas Musab berangkat. Di rumah tadi mereka juga sudah berpamitan dan saling mendo’akan.

“Tak perlu 'Ammu. Aku bisa, kok. Laki-laki harus mandiri dan berani,” ucapnya mantab.

Musab menatap arloji di tangan kanannya. Ia masih menunggu.

“Kayaknya dia gak datang, Bro!” Andra berujar pelan, “masuk gih, nanti kamu ketinggalan pesawat. Kesempatan langka ini, Bro. Banyak yang ngincer kesempatan kamu. Jangan sia-siakan." Andra mengingatkan.

“Lima menit lagi,” ujar Musab mengulur waktu.

Matanya masih sibuk mencari sosok yang ia tunggu. Nihil. Gadis itu tak ada. Tak sabar, ia menekan panggilan ke nomor Hanania. Tak ada jawaban. Lelaki itu menarik napas kuat lalu tersenyum mantab.

‘Baiklah, Hanania. Kini aku tau jawabannya,' lirihnya dalam hati.

“Aku masuk, ya,” pamit Musab pada Andra. Mereka saling memeluk bersahabat.

“Sukses, Bro!” ujar Andra. Musab tersenyum hangat. Lalu berjalan ke arah pintu masuk ruang tunggu keberangkatan.

“Kak Musab.....!!” Terdengar suara seseorang berteriak. Musab berbalik dan menatap seorang gadis. Zahra, teman satu Kosan Hanania.

“Zahra,” ucap Musab terkejut, “ada apa?”

Zahra yang  hampir terpeleset karena berlari, ia tersengal-sengal. Nafasnya tak beraturan. Dadanya naik turun. Gadis itu membungkuk dengan tangan bertumpu pada dua lututnya.

“Tunggu..tunggu....” pintanya terbata. Musab menatapnya dengan penuh harap dan cemas. Pikirannya terbang pada gadis yang ia tunggu sedaritadi.

“Hanania...” ucapnya terhenti. Nafasnya masih tersengal.

“Hanania? Kenapa?  Mana dia?” tanya Musab dengan penuh penasaran.

Tangan Zahra menunjuk pada sisi timur Bandara. Tak jauh dari pintu masuk ruang tunggu.

Musab mengerutkan dahinya bingung. Lalu menatap kearah yang di tunjuk Zahra. Lelaki itu terkejut, matanya membulat sempurna, ia melihat ada Hanania dan Airin di balik pilar tinggi dan besar tengah berdiri bersembunyi. “Hanania...” panggilnya spontan.

“Kamu daritadi disitu?” Andra tak percaya, matanya membulat.

Hanania kikuk, gadis itu cengengesan malu. Airin mengangguk sambil menyenggol lengan Hana pelan. Ia tak kalah salah tingkah.

“Oh,  Tuhan,” pekik Andra sambil menoyor jidatnya sendiri. Tubuhnya seakan seketika lemah terkulai. Zahra tertawa lirih sambil geleng kepala.

“Mereka sudah daritadi di situ, Kak. Tapi nggak mau ke luar. Aku nggak sabar, mengejar ke sini. Mereka tidak tau aku ke sini. Maaf, kawan. Aku membocorkan persembunyianmu." Zahra tertawa renyah.

Musab ikut tertawa lirih. Lalu lelaki itu berjalan mendekat pada Hana. Airin beralih mendekat pada Zahra. Mereka berdua terkekeh kecil saling menepuk lengannya.

“Kamu datang?” Musab tersenyum hangat. Sehangat mentari pagi menyapa. Mata elang itu begitu tajam. Hatinya bahagia tak terkira. Hanania tertunduk malu.

“Apa ini artinya iya, kan?” tanya Musab cepat. Hanania tersipu.

“Iya apanya?” sambutnya ketus. Musab tersenyum melihat tingkah gadis itu.

Laki-laki itu lalu mengambil sesuatu dari tas ranselnya. Sebuah kotak berwarna merah muda..

“Ini buat kamu." Musab menyerahkan benda berbentuk kubus itu.

“Ini apa?”

“Buka, deh." Musab tersenyum lembut.

Hanania perlahan membuka kotak itu. Matanya berpendar  tak percaya.

“What?” ucapnya sambil mengangkat alisnya.

Musab tertawa kecil.

“Kamu mungutin biji saga sebanyak ini?” Hanania masih tak percaya. Bagaimana mungkin laki-laki itu bisa mengumpulkan biji saga merah sebanyak itu. Apa dia tidak malu memungutnya?

“Jangan tanya bagaimana aku mengumpulkannya." Musab terkekeh. Hanania menggeleng pelan sambil tertawa.

“Kenapa kamu mungutin ini?”

“Kau suka mengkoleksi biji itu, kan?”

“Lalu?”

“Simpanlah,” ujar Musab lagi.

“Dari mana kamu tau aku suka mengkoleksinya?”

“Aku type laki-laki yang suka mencari tau sesuatu yang membuat hatiku terpaut,” katanya sambil menatap iris mata Hana. Pandangan mereka beradu.

“Biji saga mengandung senyawa aktif tanin dan taksabulmin, daya kerja kedua senyawa tersebut itu mirip dengan bisa ular.  Ada sebagian orang yang menggunakan serbuk biji saga di campur dengan air dan aseton untuk mengusir serangga atau hama. Aku tidak tahu kau menggunakannya untuk apa. Yang aku tahu kau suka mengkoleksinya.”

“Tampaknya kau banyak tahu." Hanania terkesima.

“Jangan kaget, aku sengaja mencari tau tentang itu. Aku tau, wanita yang aku incar adalah type wanita yang tak mudah di buat terkesan,” ucap Musab santai. Hanania tersipu. “Simpanlah. Suatu hari aku akan menanyakannya,” pamitnya sambil melangkah ke pintu masuk.

“Musab,” panggil Hanania. Lalu dengan segera ia menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna merah pekat.

Lelaki itu tersenyum hangat. “Wait me,” ucapnya lirih. Lalu berpamitan pada mereka semua.

🍁🍁🍁

Udah lama gak Up ya.. 😄
Kemarin fokus benerin cara kepenulisan dan tentu kesibukan lain. Nyoba masukan tulisan ini ke seleksi naskah. Alhamdulillah yang dikirim udah kelar di edit,yang disini belum 🙈
Gak papa, ya... 😬😁

Boleh donk tinggalkan jejak, biar makin semangat nulisnya. 😉 Danke All, love you coz Allah. 😘

#RamadhanBersamaBukuKaros
#i_am_in







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top