BAB 12 : A FLASH OF MEMORIES
Hay... Ketemu lagi. 😍
Alhamdulillah. Di episode ini kalian akan ketemu wajah Musab. Yeaaay 😁
Seperti apakah dia?
Cus langsung baca. Jangan lupa Vote dulu, ya... 😉😘
🍁🍁🍁
"Don't judge people that you don't know their life."
"Wanita itu dinikahi atas 4 perkara. Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, karena agamanya. Pilihlah yang paling bagus agamanya. Niscaya kamu beruntung."
🍁🍁🍁
Hana tengah fokus membalas pesan dari Aini, rekan kerjanya disekolah, saat mobil grab online membawanya menuju hotel tempat ia akan menghadiri kelas wirausaha hari ini. Wanita diseberang sana banyak curhat kepada Hana tentang kecurigaannya pada perselingkuhan suaminya.
Ia mencoba menguatkan sahabatnya itu. Baginya, wanita tak boleh terlihat lemah. Cukup di hadapan Allah sajalah wanita rebah dan berserah.
Ingatannya terbang ke masa lalu, saat masih berstatus istri Adam.
Waktu itu Adam meninggalkan berkas kerjanya diatas nakas. Malam tadi Adam bilang itu berkas penting. Hana mencoba menghubungi. Namun tak ada jawaban. Ia berinisiatif menyusul ke kantor Adam bekerja untuk mengantarkan berkasnya. Entah mengapa ada sebuah dorongan dari dalam dirinya, hingga rasa takutnya keluar tanpa izin Adam sirna.
Toh yang akan ditemuinya adalah Adam. Demi berkas penting pula. Mumpung masih ada Bi Asnah di rumah.
Sampai di kantor Hana langsung menuju ruang Adam setelah bertanya pada resepsionis.
Yakin dengan ruang yang ia tuju, Hana langsung masuk saja tanpa mengetuk pintu, dengan niat memberi kejutan.
Tanpa diduga, bukannya berhasil memberikan kejutan malah ia yang mendapat kejutan. Di hadapannya Adam bersama seorang wanita, tengah saling memeluk dan berciuman mesra.
Bagai disambar petir, seketika Hanania mematung, kakinya kaku, dadanya bergemuruh hebat. Ubun-ubunnya serasa mendidih.
Adam dan wanita bersamanya tak kalah terkejut. Mereka kikuk tertangkap basah. Wanita itu langsung berjalan mencoba meninggalkan ruang.
"Tunggu!" cegah Hana. Menghadangnya di dekat pintu. Wanita itu berhenti.
"Apa hubunganmu dengan Adam?" tatarnya tegas. Tampak kuat. Padahal di dalam hatinya hancur remuk tak terbilang.
Wanita itu diam, tak menjawab.
"Katakan padaku, atau aku akan membuat keributan di sini hingga kalian malu. Apa hubunganmu dengan Adam?!" serunya lagi.
"Hubungan kami hanya keprofesionalan kerja," jawab wanita itu angkuh. Lalu menggeser tubuh Hana kasar. Agar ia bisa membuka pintu dan ke luar.
Hanania memandang Adam tajam.
"Aku beri Mas waktu untuk menjelaskan. Bicara sekarang atau kau tak akan melihatku lagi." Hana memicingkan mata. Tangannya mengepal kuat menahan rasa sakit yang berulangkali ditorehkan Adam.
Bukan hanya fisiknya yang terluka, kini psikisnya juga ikut menanggung sakitnya sebuah pengkhianatan.
Lamunannya buyar saat driver grab online memberitahunya bahwa mereka sudah sampai.
Hanania menepis secerca embun di sudut matanya yang hampir menganak sungai. Meski kini ia terlepas dari cengkraman Adam, tapi semua tentang kisahnya meninggalkan luka yang masih menganga. Dan kini luka itu tersiram garam hingga perihnya belum kunjung sirna.
Wanita itu menghembuskan napas kuat. 'Ridhoi aku, Allah..., aku ridho atas semua garis jalan hidup yang Kau beri padaku. Ridhoilah aku."
Dari kejauhan, ia melihat ada Musab berjalan ke arah pintu masuk loby hotel bersama seorang wanita. Mereka tampak serasi.
Hana tak acuh, ia tak ingin sering berinteraksi. Bagaimanapun lelaki itu pernah punya tempat khusus dalam hatinya. Ia takut rasa itu akan mendobrak segala pertahanannya.
Hanania tau diri, status dirinya sekarang. Wanita yang pernah menikah lalu rumah tangganya kini meski ambruk dan berakhir pada perceraian. Mau tak mau status 'janda' melekat pada dirinya.
Menjadi singel parent mungkin lebih ringan daripada menyandang status janda, meski keduanya sama saja. Tapi wanita yang pernah menikah dan kini sendiri sering dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang.
'Janda' bagi sebagian orang adalah status yang kurang berkelas. Status ini sering dipandang remeh oleh kebanyakan orang. Meski kesetaraan gender banyak dikoar-koarkan. Tetap saja pandangan orang terhadap janda lebih banyak negatif.
Berbeda dengan lelaki yang berstatus 'duda'. Entah mengapa duda dianggap lebih berkelas dan punya nilai 'jual' lebih tinggi.
Bisa jadi sebab itu Hanania betul-betul menjaga maruahnya sebagai wanita yang kini harus menyandang status 'janda'. Wanita itu tak ingin apa yang dipikirkan orang tentang 'janda' terkena pada dirinya.
"Hai, Han." Suara Musab menghentikan langkah kaki Hanania. Wanita itu sedang menuju lift. Ternyata ia gagal menghindar.
Hana memalingkan muka ke arah suara, dan mendapati Musab berjalan mendekat ke arahnya bersama wanita yang sama saat Event waktu itu.
"Kamu mau ke atas? Ikut kelas juga hari ini?"
"Kelas? Ya, aku mau ikut kelas wirausaha hari ini. Hadiah Event hari itu." Hanania mengangguk canggung, menekan rasa hangat di wajahnya.
"Kebetulan. Bareng aja kalian." Musab memalingkan wajah pada Farah di sampingnya.
Hana sedikit melongo. Ia tak menyangka kalau wanita bersama Musab menang Event juga hari itu. Artinya ia akan berada di kelas yang sama selama kelas dibuka.
"Ya udah. Yuk, Mbak," ajak Farah.
"Kenalan, dulu." Musab menimpali.
"Iya di lift aja, entar telat." Farah tertawa kecil sambil berjalan cepat masuk lift yang sudah terbuka.
"Mbak, hayuk. Nanti telat." Farah melambaikan tangan pada Hana yang masih sedikit canggung. Hanania menyusulnya dengan langkah besar masuk ke dalam lift. Sebelum pintu lift tertutup Farah melambaikan tangan sambil tersenyum hangat pada Musab. Lelaki itu membalas dengan hal yang sama.
Diam-diam Hana memperhatikan kedekatan antara mereka.
Di dalam lift mereka berdua berkenalan. Wanita bernama Farah itu cantik, fashionable, dan tampak elegan. Hana sedikit mengagumi keseluruhannya. Diam-diam ternyata ia memberi penilaiannya untuk wanita itu. Menurut Hana, Musab pantas mendapatkannya.
Musab lelaki tampan, tinggi semampai, rahang kokoh dipenuhi bulu halus yang terawat membingkai wajah kearab-arabannya. Otot lengannya berisi, sorot matanya tajam, melemahkan hati Hana saat ia menatapnya. Selain menjaga pandangan sebab itu jugalah wanita itu selalu menghindari kontak mata saat berhadapan dengan Musab.
"Omar Borkan Al Gala? What? Seriously?" Zoya melongo tak percaya saat Nay menyebutkan nama Aktor dan model tampan asal Timur Tengah itu. Zoya, Hanania dan Nay sedang duduk di sebuah warung gado-gado waktu itu.
"Hush!" Hanania menepuk pundak Nay pelan.
"Ya, menurutku begitu." Nay melotot tak terima. "Kak Musab memang mirip Omar Borkan. Lihat saja nanti, Mbak Zoya pasti setuju denganku jika melihatnya juga." Nay tertawa menantang.
Hanania hanya tersenyum simpul. Dalam hati wanita itu mengiyakan.
Di dalam lift, tak banyak bicara, Hana hanya bertanya dan menjawab seadanya saja. Entah kenapa ia merasa sangat canggung berada bersama wanita yang ia duga istri Musab itu.
Saat kelas selesai, Farah mendapati Musab sudah menunggu di kursi tak jauh dari ruang pertemuan. Hana berusaha menghindar. Namun gagal, Musab lebih dulu memanggilnya.
"Kalian sudah kenalan, kan, tadi?" tanya Musab pada mereka berdua. Farah dan Hanania mengangguk bersamaan sambil tertawa.
"Udah. Kenapa sih?" Farah tertawa kecil mendengar pertanyaan Musab.
"Aku gak yakin."
Hana mendadak malas. Apa maksud Musab? Ia sudah tau nama wanita itu Farah. Istri Musab, bukan? Habis perkara. Lantas mau apalagi?
"Aku pamit dulu, ya," ucapnya cepat.
"Mbak Hana, pulang naik apa? Bareng aja ama kita," ajak Farah ramah.
"Ah, tidak. Terimakasih." Hanania mengangguk sungkan. 'Apa jadinya kalau aku ikut mereka. Mau jadi obat nyamuk? Oh no!' gerutunya dalam hati.
"Kak Ubay, aku ke toilet dulu, ya," ujar Farah.
Musab mengangguk hangat.
"Dia adikku, Han. Adik kandungku." Musab berujar santai. Namun ada nada penegasan di sana. senyuman tersungging dari bibirnya. Seakan faham gelagat dan bahasa tubuh Hana dari awal berjumpa dengan Farah.
Hana menahan Ekepresi wajah yang entah. Seakan tertangkap basah, kata-kata Musab menodong dirinya. Farah hanya tertawa kecil dan pergi meninggalkan mereka di keramaian yang sibuk dengan bincangnya masing-masing.
"Aku tau kau pasti berpikir aku sudah menikah, bukan?" todongnya lagi.
Hana hanya mendengus tak terima. "Apa peduliku?" Hana menjawab ketus. Ia bergeser ke tepi saat orang-orang melewati mereka.
Musab mengulum senyum simpul melihat sikap wanita itu. Kali ini ia melihat sifat asli Hana yang dulu. Hal yang kadang ia rindukan. Wanita itu lebih banyak terlihat murung sekarang.
"Kau peduli. Aku tau itu," jawab Musab percaya diri. Matanya lembut namun menghujam ke arah Hana.
"Aku tau kau sengaja menghindar dariku. Aku tau kau sengaja menjaga jarak. Aku tau kau takut Apak marah. Aku tau kau memendam sesuatu di dalam hatimu. Aku ... merasa ada sesuatu yang memanggilku dari sudut hatimu. Hanania."
Jeda sesaat.
"Sesuatu yang mengikat kakiku untuk tidak masuk pada perangkap cinta wanita lain. Hingga saat ini." Kata-kata itu mendayu ditelinga Hana.
"Itu omong kosong terkonyol yang pernah aku dengar diusia kita yang tak lagi muda. Sudahlah. Aku pamit. Salam buat Sarah, eh, Farah." Hana pamit dan langsung berlalu.
"Hanania!" Panggilan Musab menghentikan langkah wanita itu. Kini ia berdiri membelakangi Musab berjarak beberapa hasta.
"Aku masih memegang janjiku, Han. I'm seriously," ucap Musab cepat.
Hanania memejamkan matanya yang terasa memanas. Wanita itu menelan saliva. Ia tak berani menatap lelaki itu. Tatapan itu membuatnya merasa kuat namun juga melemah disaat bersamaan.
"Semua sudah berbeda Musab. Aku bukan Hanania yang dulu kau kenal." Hanania berujar tegas. Langkahnya membawa tubuh ramping itu pergi menjauh.
🍁🍁🍁
Hanania berjalan di trotoar. Angin tengah berhembus kuat. Tampaknya akan turun hujan. Langkah kakinya melaju cepat ke teras sebuah toko. Belum sampai ke sana hujan buru-buru turun membasahi bumi. Hijab Hana sedikit basah. Ia mengibas-kibaskan hijab dengan tangannya.
"Bunda...!" Suara Kays sayup menggema di telinga Hana. Di seberang jalan terlihat Kays berada dalam mobil bersama Habib, Zaky dan Nay. Hana tak menyangka kalau mereka akan datang menjemputnya.
Mobil berhenti tak jauh dari dekat Hana. Tanpa disangka Habib turun dengan membawa satu payung ia pakai dan satu payung ia serahkan pada Hana. Laki-laki itu lalu membukakan pintu mobil untuknya. Hana sedikit risih, tapi ia tak bisa menolak.
"Kok kalian bisa di sini?" tanya Hana yang masih keheranan.
"Kebetulan aja tadi lewat sini. Nay bilang kamu lagi ada kelas di hotel ini," jawab Habib sekenanya.
"Ada yang rindu," bantah Zaky sambil tertawa.
"Iya, Kays rindu tuh, daritadi merengek minta di ajak jalan," sambung Habib menyembunyikan gugup.
"Paman Habib ajak Kays jalan-jalan," celoteh Kays. Hana memandang Kays masih penuh tanya.
"Udah, yuk, kita mampir ke tempat makan favoritku, barangkali bisa jadi masukan buat kamu, Han. Kalau buat Designer kayak aku butuh referensi dari interior dimanapun, pengusaha kuliner kayak kamu meski banyak referensi dari kuliner orang lain, bukan?" Habib mengalihkan pembicaraan.
Hana memandang Nay yang tersenyum penuh arti sedaritadi.
🍁🍁🍁
Musab menghempaskan tubuhnya ke atas kasur di kamarnya. Ingatannya memutar kembali pertemuan dengan Hanania tadi.
Laki-laki itu lalu bangkit dan menarik sebuah kotak berwarna coklat pekat di bawah ranjangnya. Mulutnya sedikit maju menghembus abu yang melekat di atasnya.
Musab membuka kotak itu perlahan. Matanya menatap ke dalam isi kotak penuh haru dan rindu. Sesekali matanya menerawang dan bibirnya menarik seulas senyum tipis. Ingatannya tentang masa lalu tengah menari-nari di kepalanya.
Tangan Musab meraih sebuah benda berbentuk persegi dipaling bawah. Di sana tersimpan potret seorang wanita sedang tertawa riang dikelilingi salju dan pohon pinus yang mulai memutih tertutup salju. Di sudut foto tertulis:
"One day we will ending our adventure together, promise me, Hananiaku, Edelweisku, My HANAphali".
Tangan Musab berpindah pada sebuah buku agenda. Di dalamnya ada banyak lembaran bertulis tangan Hana. Jari jemarinya menyentuh tulisan itu sendu. Membuat hatinya semakin berdenyut syahdu.
Lembaran-lembaran yang mereka gunakan untuk bertukar pesan dan kabar. Box loker Hana di kampus yang menjadi jasa pengirimannya.
Musab membuka Laptopnya. Kini ia duduk di balkon yang tertutup kaca. Hingga ia bisa melihat hujan dari baliknya.
Jemarinya mencari folder yang sudah lama tidak ia buka. Folder kenangan yang entah mengapa belum juga ia hapus walau mengetahui wanita di dalamnya sudah menjadi milik oranglain.
Segera tangannya menekan 'Enter'. Terlihatlah di sana potret Hanania sedang bermain salju, dan berlarian di pantai sambil tertawa riang. Sesekali terlihat wajah cemberut Hana yang juga tertangkap kamera.
"Kak, aku buat kopi dan cemilan. Mau?" Terdengar suara Farah mendekat, gadis itu sudah berada di balkon juga.
"Boleh ... pas banget." Musab menutup cepat folder yang tadi terbuka.
"Hei, siapa itu tadi? Kasi liat donk," rengek Farah.
"Ish, Anak kecil, mau tau' aja," jawab Musab. Farah manyun tak terima.
"Ih, kasih tau donk, kak. Aku selalu curhat ke kakak. Kenapa kakak gak mau cerita sama aku." Farah mendekat, lalu membuka Laptop Musab kembali.
"Ya, sebab kamu masih kecil donk. Mana tau apa-apa." Musab menyeruput kopi buatan Farah yang sudah terletak di atas meja.
Farah tak terima, ia menggeser laptop dan mencoba mencari folder yang masih tampak iconnya di paling bawah layar.
Seketika wajah Farah tersenyum mengejek.
Musab membalas senyumnya di balik gelas kopi yang menempel di bibirnya.
"Masih ada aja, ya," ujar Farah. Tawanya pecah.
"Belom move on juga Komandan? Bukannya dia sudah menikah, kak?"
"Ya, tapi sekarang dia single."
"Janda donk, kak?"
"Emang kenapa?" Balas Musab cepat.
Farah nyengir tak punya jawaban.
"Apa yang salah memangnya?"
"Yaa ... gak ada si 'kak, cumak 'kan agak gimanaaa gitu. Kakak 'kan perjaka. Belum pernah menikah. Jangan marah, nih, ya, Menurutku .... lebih pantas mendapatkan yang gadis juga." Farah nyengir.
Musab tersenyum, ia tahu hal itu yang akan terlontar dari mulut adik semata wayangnya itu.
"Don't judge people that you don't know their life, Rah," ujar Musab sambil menatap Farah yang masih cengengesan.
"Jangan menjeneralkan label jelek tanpa melihat individunya. Yang terlihat belum tentu mengambarkan isi. Meski janda tapi jika dia mampu menjaga diri dan maruahnya sebagai wanita, apa dia meski kita labeli jelek juga seperti janda yang sering dicap tak baik di mata masyarakat?"
Farah mengangguk, manyun mendengarkan kakaknya. Baginya mungkin itu sebuah ceramah.
"Seorang wanita berstatus janda yang menjaga diri lebih berkelas daripada yang berstatus gadis tapi gak bisa jaga diri. Sama saja kan? Hanya status sosialnya saja. Namun bisa jadi yang gadis itu terpredikati janda juga."
"Ish, kakak. Kok gitu amat sih? Sensi, ya?"
"Bukan. Maksudnya, kita itu meski lihat dulu pribadinya, jangan status sosialnya saja, begitu lho adikku yang cantik..."
"Kalau ada gadis, baik, pandai jaga diri, kakak pilih mana?"
"Lihat dulu individualnya, kepribadiannya. Yang paling penting, agamanya. Itu!" Musab meneguk lagi kopi di depannya.
"Wanita itu dinikahi atas 4 perkara, Rah. Hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah yang paling bagus agamanya. Maka terlepaslah tanganmu. Artinya selamatlah kamu," terang Musab lagi.
Farah manggut-manggut mengerti.
"Lalu, kenapa kakakku ini belum bisa move on juga dari wanita ini?" tanya Farah, dagunya terangkat menunjuk ke labtop.
"Sudah. Dulu kakak sudah mengikhlaskan dia, Rah. Mebiarkan dia bahagia dengan pilihannya," jawab Musab pelan. Matanya memandang sendu pada hujan.
"Hei, jadi ini kenapa masih dibuka?" Farah menepuk lengan kakaknya kuat.
Musab tersenyum malu. "Tapi sekarang tidak, Rah. Setelah tau apa yang terjadi padanya, kakak seperti mendapat kesempatan kedua. Dan kali ini kakak akan berusaha lagi. Tidak ingin dia terlepas lagi." Musab menerawang. Ingatannya kembali terbang ke masa lalu.
Baginya mengenal Hanania adalah sebuah keniscayaan. Ia mengikuti setiap metamorfosa Hanania sampai dirinya harus melepas dan mengikhlaskan gadis itu ketangan orang lain. Lalu kembali menemukannya dalam keadaan sendiri dan luka yang tak kecil, membuat lelaki itu tak bisa menahan diri untuk tidak berhenti mencintai. Rasanya ia ingin merengkuh Hanania kepelukannya dan membiarkan gadisnya meluapkan semua sedihnya. Ia ingin mengobati luka Hana. Untuk itu ia ingin berjuang sekali lagi.
"Kak, bukannya dulu kakak pernah ditolak sama orangtua Mbak Hana? Apa bedanya dengan sekarang?" Farah mengingatkan kakaknya.
"Entahlah. Setidaknya kakak harus mencoba, kan?"
"Sampai kapan?"
"Sampai Hanania menerima pinangan atau menikah dengan oranglain," jawab Musab tenang.
"Kakak siap patah hati lagi? Dengan wanita yang sama?" Farah kembali mengingatkan.
"Jika memang harus begitu, kakak siap. Paling tidak kakak sudah berusaha memperjuangkan sampai tetes darah penghabisan. Patah hati bukan akhir dari sebuah jalan hidup, Rah." Musab tertawa kecil sambil menyomot kue buatan Farah.
Kembali di pertemukan dengan Hanania dalam kondisi sekarang menurut Musab bukan sebuah kebetulan. Ada tangan Tuhan yang mengatur disana. Hanya saja ujung dari ceritanya masih rahasia. Setidaknya ia berusaha melukis kisah indah di akhir ceritanya. Meski ia belum yakin apakah kali ini Tuhan akan mentakdirkannya sesuai dengan apa yang ingin ia lukiskan.
Farah menggeleng-gelengkan kepala mendengar jawaban kakaknya.
"Aku cuma gak tega lihat kakak gini-gini terus kak. Ibarat jatuh dilubang yang sama."
"Siapa bilang? Jatuh di lubang yang sama itu untuk sebuah kesalahan. Yang ini beda. Ini perjuangan." Musab berujar tegas.
"Ceile ... kalau udah cinta semua dibelain," ejek Farah sambil tertawa.
"Lalu, gimana dengan Elora? Bukannya Baba jodohin kakak sama dia?"
Musab membuang napas berat. Baba memang pernah bilang akan menjodohkan dirinya dengan anak temannya. Elora.
Gadis itu sering datang bersama orang tuanya ke rumah orangtua Musab. Mereka saling mengenal. Tapi bagi Musab Elora hanya seperti saudara. Tak lebih.
Menurut Musab gadis itu terlalu manja, kadang kekanak-kanakan.
Tapi, tanpa sepengetahuan Musab Elora sudah lama diberitahu lebih dulu sejak Musab pendidikan dan bertugas di luar negeri. Gadis itu menaruh hati pada Musab, dan berharap lebih.
"Kakak gak pernah bilang, iya mau, kok." Musab bersedekap tenang.
Farah membuang napas kuat. Ia tertegun melihat kakaknya.
"Kak, ceritakan padaku, bagaimana kakak mengenal kak Hanania. aku ingin tahu, apa alasannya hingga kakak tak mampu membunuh cinta," goda Farah.
Musab tertawa renyah. "Anak kecil, sok ngomong cinta. Tau apa, sih?" Musab balik menggoda Farah.
"Iiih, udah deh, kakak itu harus cari tim. Biar kalau Baba dan Ummi membantah ada yang bantuin kakak untuk meyakinkan. Jadi ceritakan dulu padaku, beri aku alasan supaya aku berniat bergabung di tim kakak," tawarnya.
Musab malah tertawa lepas mendengar ucapan adiknya itu.
"Ceritanya panjang, Rah. Kamu gak akan kuat.." Lagi, lelaki itu tertawa terbahak.
"Aku atau kakak yang gak kuat untuk cerita, haa?" tantang Farah lagi. "Tenang, deh. Kita masih punya banyak cemilan, tadi aku buat banyak. Kalau kopinya kurang, aku bisa buat lagi. Hhmm, hmm," ujar Farah sambil mengangkat kedua alisnya.
🍁🍁🍁
To be continued.
.
.
Gimana, udah lihat si ganteng Musab Baihaqi, kan? 😍
Jangan lupa tinggalkan pesan buat Musab, ya...
Entar aku sampein deh... 😉
Terimakasih sudah setia membaca. Boleh lho kasi komentarnya. Komentar membangun dari kalian akan sangat berarti buat aakuuhh.. 😁😅😘
Danke. Sarangheeeyooo 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top