PROLOG


Cerita ini, sudah tayang di parade Grub LR dan sedang masa PO. Yang mau ikutan list PO bisa DM, ya. 😉

🌎🌎🌎

Ada yang bilang, chemistry itu bisa terasa sendiri. Dhuha sedang berada di pusat perbelanjaan sebuah mall besar. Hari ini ia akan pulang ke rumah orang tuanya setelah sekian lama tidak pulang karena tugas luar negeri. Luka di lengannya dari insiden pencurian Legend Tuxedo milik Letkol Adi masih terasa. Namun, baginya itu hanyalah luka biasa.

Ia sedang berdiri di depan rak buah hendak memilih buah segar saat tiba-tiba ada angin samar meniup ke telinga. Ia berpaling ke arah angin datang, kemudian melihat seorang wanita dengan blus abu-abu dan kerudung berwarna senada. Tanpa sengaja Dhuha melirik lekat, ia menghidu sesuatu yang tidak biasa dari dirinya untuk gadis itu.  

Naga, pir!’ tebak hati Dhuha. Gadis itu tadi memang sedang bingung hendak membeli buah apa.
Tiba-tiba saja tangan wanita itu terlihat mengambang dan perlahan jatuh di buah naga dan pir kemudian. Dhuha terkesiap, ia tergugu seketika sambil menoleh tajam tidak percaya. Tebakannya benar!

Wanita itu lalu berjalan lagi menuju rak sayuran. Dhuha yang penasaran dan ingin memastikan sesuatu di dalam dirinya, dengan gerakan cepat meraih buah apel dan kelengkeng ke dalam plastik, memindahkanya sekali gerakan ke dalam troli, lalu mengikuti langkah wanita itu.

Fokus Dhuha tidak pecah, sambil mengekor, tangannya meraih benda apa saja yang ingin ia beli saat melewati rak barang-barang yang dijual di sana, memasukkannya ke troli, sambil instingnya  tetap bermain dan berfokus pada wanita yang ia ikuti.

Wortel.’ Sesuatu di dalam dirinya bicara.

Beberapa saat setelahnya, terlihat wanita itu meraih wortel.
Selada.’ Instingnya masih terus mengeja.

Benar saja, wanita itu persis meraih selada dan memasukkannya ke troli belanja. Berjalan ke rak makanan ringan, wanita berkerudung abu itu sempat lama menimbang, terlihat berpikir. Ia meraih sebungkus makanan ringan, membacanya, lalu mengembalikannya ke tempat semula.

Kau hanya akan mengambil sebatang coklat kali ini.’ 

Surprise! Wanita itu mengembalikan beberapa makanan ringan yang ia pegang, hanya meraih sebatang coklat dan pergi ke kasir.

Ada senyum samar yang tertarik di bibir Dhuha. Ia tidak percaya. Setelah sekian lama, ternyata hari ini, ia menemukan seorang wanita yang mampu ia baca setiap gerak gerik dan kata hatinya. Sebuah kemampuan yang datang secara naluriah. Entah anugerah. Sebab sejatinya, ia tidak mampu melakukan itu pada tiap wanita. Namun, jika itu terjadi, wanita itu bisa jadi adalah wanita istimewa . Itu yang dikatakan kakek buyutnya dulu.

Masih dengan rasa penasaran tinggi, melihat gadis itu selesai berbelanja, Dhuha ikut menyudahi kegiatannya. Dengan segera ia ke kasir berbeda. Saat gadis berwajah ayu itu mulai berjalan pergi, mata Dhuha sempat mengekor ke mana gadis itu berarah. Selesai membayar, ia kembali gegas melangkah untuk mencari gadis tadi.

Namun sayang. Ia sudah menghilang. Dhuha menghela napas kecewa, rasa penasarannya belum tertuntaskan. Langkah tegasnya menuju ke parkiran. Tiba-tiba ia melihat kerumunan di depan lift dekat pintu masuk parkiran. Dhuha menajamkan pandangan. Apa yang terjadi?
Dhuha Yu ikut mendekat. di dalam kerumunan, ia melihat seorang wanita yang kembali menarik perhatiannya. Sementara Di tengah kerumunan terlihat ada seorang gadis remaja tergeletak lemah. Dhuha melirik tajam gadis dengan blus abu yang jadi fokus perhatiannya tadi.

Kau akan melakukan sesuatu?’

Hitungan detik, benar saja, gadis itu mengambil posisi berjongkok. Terdengar suaranya memanggil-manggil remaja yang tergelatak. Sigap ia mengecek kondisi, perlahan sedikit membuka kerah kemeja dekat bagian leher pasiennya. Seakan peka, insting Dhuha yang terus bermain, tanggap. Ia meminta para massa yang berkerumun memberi jarak agar pasien bisa mendapat lebih banyak udara. Remaja itu sedang mengaduh sambil memegang dada, yang diduga Dhuha adalah mengaduh di organ jantung atau paru. 

“Berita manca negara. Baru-baru ini telah terdeteksi virus misterius yang mewabah di Dukhan provinsi Haena. Meski masih menjadi epidemi, namun virus misterius ini telah berhasil meraup banyak korban di pusat kota Dukhan. Sementara itu bla ... bla ... bla.”

Suara tegas seorang wanita pembawa acara berita pada statiun televisi terdengar menggema dari  televisi besar yang terpasang di dinding mall. Tidak jauh dari lift tempat kerumunan kini. Telinga Dhuha sempat menangkap info itu, tapi instingnya tetap mengarah pada gadis dengan blus abu-abu. 

Gadis yang berjongkok itu terlihat berbicara dengan security sekilas. Lalu fokusnya kembali pada pasien di lantai. Ia terlihat masih sibuk memberi pertolongan pada sang remaja.

Cek tasnya.’ Bukan kalimat perintah. Namun insting Dhuha seakan seirama dengan apa yang akan dilakukan gadis yang belum ia tahu namanya.
Gadis dengan blus abu, mengecek isi tas si gadis remaja. Ada benda yang ia raih, membaca sejenak, kemudian, tiba-tiba ia menyuntikkan sesuatu ke bagian bokong pasien. Dhuha membelalak takjub, instingnya mengatakan hal yang serupa, meski ia tidak tahu apa istilah bahasa yang baru dilakukan wanita itu. Pelan, wanita itu menyemprotkan sesuatu ke mulut pasien. Dhuha menduga itu adalah nebulizer.

Melewati beberapa menit kemudian, security datang bersama dua orang tim medis. Pasien lalu diangkat masuk ke ambulans untuk mendapat pertolongan lanjut. Dhuha yang melihat, ikut mendorong emergency strecler agar pasien segera sampai di ambulans. Sementara gadis yang mengusik perhatiannya tadi tampak sibuk dengan belanjaannya dan barang pasien. Dhuha  melihat sesuatu bertali biru terjatuh dari bawaan sang gadis. Pemuda itu hendak mengaungkan kata pemberitahuan. Namun kini, sang gadis sudah gegas ikut masuk ke dalam ambulans juga. Hatinya sempat nelangsa, ia belum tahu siapa gadis yang sempat berhasil masuk dan bermain dalam insting naluriahnya. 
Dhuha meraih benda itu di lantai, sementara suara sirene sudah mengaung kian menjauh.

Tiba-tiba suara ponselnya berdering. Dhuha menatap layar ponselnya. Ada nama “Dear Brother” di sana. Dengan hati rindu ia mengangkat panggilan itu.

Dear, Brother  ...! Oh, akhirnya nomor ini bertuan juga, ya! Kau di mana? Apa kau masih hidup?”

Dhuha tersenyum kecil mendengar suara bariton laki-laki dari seberang. Ia memang baru mengaktifkan nomor kontaknya. 

Hallo, Brother! Jawab lah adek semata wayangmu ini, hah! Atau  ... apa aku sedang terhubung ke alam ghaib?”

Senyum Dhuha kian melebar mendengar ocehan dari ponselnya lagi.

Dear, Brother! Hei! Bla ... bla ...!”

Dengan santai, Dhuha Yu malah memutus panggilan itu. Ia akan memberi kejutan saat pulang ke rumah orang tuanya nanti.

Kembali ia menatap benda yang kini sudah berpindah ke tangannya. Saat melihat benda apakah itu, seketika hatinya tersenyum, merasa moment ini adalah hoki untuknya. Segera ia simpan ke dalam saku celana. Sebuah ID pengenal, bertuliskan sebuah nama seorang wanita. 

dr. Yasmin Rezvan.’

♕♕♕

Dhukan Provinsi Haena 2015

"Aku tidak akan pergi, Nath!!" Laila berdiri di samping Nath yang sibuk mengemas barang-barang Laila. Wanita itu tidak menyiapkan apapun untuk pergi. Nath mengambil alih setelah melihat arlojinya menunjukkan bahwa mereka tidak punya banyak waktu lagi. 

Ia bergeming dari kata-kata Laila. Tangannya terus bergegas mengecek berkas-berkas penting dan segala hal yang dibutuhkan Laila untuk pulang. 

"Nath, aku tidak akan pergi!!" Laila menarik lengan Nath untuk menahan apa yang laki-laki itu lakukan.

"STOP IT!” Nada suara Laila naik. Ia kembali menarik paksa lengan Nath. Lelaki bertubuh tegap itu kini menghadapnya.

"Laila, kau harus pergi, meskipun kau dan aku tak ingin." Meski suara Nath melunak, ada nada penegasan di sana. Laki-laki berkulit putih bersih itu kembali sibuk menyiapkan apa yang sedang ia lakukan.

"NO!" Laila lagi-lagi menahan dan menarik paksa tangan suaminya. Ia tersedu. Nath menatap mata Laila yang basah. Lelaki itu memegang kedua pipi Laila dan membalas tatapan Laila penuh sorot cinta. 
"Laila. I know, ini berat. Tapi harus ...." Lembut suara Nath berucap.

Laila semakin terisak. Tangannya kini memegang kedua tangan Nath di pipi. Dadanya terasa berdenyut sakit dan sesak. Dalam waktu tiba-tiba ia dan suaminya harus berpisah. Entah untuk berapa lama. 

Kota Dukhan, tempat mereka bertugas, resmi diisolasi. Virus mematikan tengah mewabah di kota ini. WNA dijemput pulang ke negara asal mereka dengan melewati beberapa prosedur. 

Laila, seorang perawat asal Korsear. Ia menikah dengan dr. Jonathan Overof si ahli biokimia yang bekerja di Laboratorium Rumah Sakit Pusat Kota Dukhan satu tahun yang lalu. Rumah sakit yang sama tempat Laila bekerja. Namun, Nath memintanya berhenti setelah mereka menikah. Laila membantu Nath di laboratorium pribadi Nath di rumah mereka.
Nath dan Laila menikah secara agama atas izin ayah Laila. Dibantu paman Sadat selaku wali Laila yang berlibur ke Dukhan tahun lalu.

Mereka berencana pulang ke Korsear satu bulan setelahnya untuk mengurus legalitas pernikahan. Namun tanggung jawab tugas berhasil menyita waktu mereka. Hal yang dalam kondisi begini ternyata membawa keberuntungan menurut Nath. 

"Tapi aku tidak ingin meninggalkanmu di sini. Kalau aku pergi, maka kau juga harus pergi. Kalau kau tidak pergi, maka aku juga tetap di sini," ucap Laila penuh perasaan.

"Sayang, aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku masih berwarganegara sini. Kota ini diisolasi. Warga negara asli Haena tidak bisa kemana-mana. Tapi kau, kau bisa. Negaramu menjemput warga mereka yang berada di sini. Aku sudah mengurus segalanya. Lagipula, aku punya tugas dan misi besar yang harus aku kerjakan di sini. Aku harus melanjutkan penelitianku, Laila. Jika ini berhasil, akan ada banyak nyawa yang bisa diselamatkan." Nath menatap Laila penuh cinta. 

Ah, laki-laki ini, kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan selalu membuat ia menggebu. Laila tahu benar itu. 

"Kau egois! Ingin masuk surga sendiri! Aku juga ingin punya manfaat untuk dunia. Kalau begitu, ajak aku dalam misimu!!" Laila menghunus mata Nath dengan tatapan tajam.

"Tidak! Kau tidak boleh ikut dalam misi ini! Menurutlah, Laila. Aku mau kau dan calon bayi kita sehat dan selamat. Berjanjilah padaku. Kau akan membesarkan bayi kita. Hanya ini kesempatan kita. Aku berharap besar padamu."

Laila terkejut. Bagaimana bisa suaminya tahu. Ia sengaja merahasiakan kehamilan karena tahu ini yang akan dilakukan suaminya. 

"Bagaimana kau tau?" Laila melemah. 

"I love you even more, Laila. You know that. Aku berusaha menyelamatkan banyak nyawa, tapi yang pertama akan aku selamatkan adalah kau dan calon bayiku. Harus!" 

Nath menenggelamkan kepala istrinya ke dalam dadanya yang bidang. Laila merasakan ritme jantung suaminya berdenyut lebih kuat dan cepat. Mereka saling memeluk erat dalam isakan hati yang kian menyayat. 

Nath mengantar Laila dengan mobilnya menuju tempat keberangkatan di mana pesawat khusus evakuasi telah disiapkan. Di perjalanan, terlihat beberapa mayat bergelimpangan di sepanjang trotoar. Ada banyak para tenaga medis yang tampak lalu lalang. 

Laila ketakutan. Air matanya tak henti mengalir. Nath menggenggam erat tangan istrinya sambil fokus ke jalan. Kota ini, kini mirip kota mati di sebuah film yang pernah mereka tonton. Orang-orang menyebutnya 'zombieland'. Bedanya, yang ini nyata.

Nath dan Laila saling melambaikan tangan saat Laila masuk ke ruang tunggu keberangkatan, setelah mereka saling memupuk cinta dengan pelukan erat tak ingin berpisah. Ada beberapa pemandangan yang sama di sana. 

Mata mereka tak henti-hentinya basah. Dari kejauhan, Laila menatap Nath dalam. Bibir Nath bergerak mengatakan sesuatu. Dari gerakannya, Laila memahami ungkapan itu. 

"I love you."

Setelah itu, Nath bergegas ke rumah sakit melanjutkan tugas dan misi. Lelaki itu penasaran dan nyaris tak bisa tidur memikirkan penelitiannya terhadap virus yang sedang mewabah di Dukhan.

Ia belum bisa tenang jika belum berhasil menemukan apa yang ia cari. Antiviral dari virus misterius yang berhasil merenggut banyak nyawa di kotanya. 

Virus ini, masih mewabah hanya di kota Dhukan. Namun Nath khawatir virus ini bisa berubah jadi pandemi jika tak segera ada antiviral untuk menangkalnya.

Tak lupa Nath mengenakan hazmat-baju pelindung khusus-sebelum bertugas. Menurut jurnal National Center for Biotechnology Information (NCBI) baju ini dibuat dari material, polietilena, kain spunbond dan meltbown yang dirancang untuk mencegah penularan patogen dari pasien yang terinfeksi. Seluruh tenaga medis harus menggunakan ini. 

Tiba-tiba Nath mendengar keributan dari ruang IGD. Ia bergegas menuju sumber keributan. Seorang pasien sedang mengamuk dan meludahi seorang suster. Pasien itu membuka masker dan merobek baju hazmat yang dikenakan seorang suster yang hendak mengecek kondisinya. Nath sedikit meradang. Ketersediaan hazmat mulai menipis. Ada sebagian tenaga medis yang bahkan menggunakan popok dewasa agar tidak bolak balik membuka hazmat mereka. Selain antisipasi penularan virus, bisa saja itu baju hazmat terakhir yang ada. 

"Kenapa kalian bisa menggunakan baju astronot ini sementara aku terinfeksi?! Jika aku harus mati karena ini, kalian juga harus mati! INI TAK ADIL!!" 

Pasien itu berteriak dan memporak poranda alat-alat medis di dekatnya. Beberapa tenaga medis mencoba menenangkan. Suster yang diludahi tadi tampak gemetar dan menangis. Nath memintanya keluar dan sigap mengambil alih pasien.

♕♕♕

Malam hari di laboratorium pribadinya. Nath bersama dr. Rick Mheiza-rekan kerjanya di rumah sakit-, sibuk dengan penelitian. Mereka mencoba berulang-ulang formula yang mereka ramu khusus untuk membunuh virus mematikan ini. 

"Kau sudah membaca berita, Rick?" Rick mengangguk. "Aku takut berita itu benar," sambung Nath sambil tetap fokus pada erlenmayer di tangannya. 

"Entahlah. Jika memang ini akibat kebocoran dari laboratorium pusat Haena, kenapa mereka belum memberikan antiviralnya?"

"Entahlah. Aku merasa ada politik terselubung di sini. Kau tau, laboratorium pusat Haena adalah laboratorium tercanggih di Haena. Pernah dilansir mereka sedang menciptakan senjata biologis rahasia yang bekerjasama dengan negara Iksmaroel. Jika itu benar. Ini bisa menjadi senjata biologis pembunuh mematikan. Bekerja tanpa tanda-tanda fisik yang kentara. Lalu sasarannya mati perlahan ataupun tiba-tiba. Aku tidak tau kebenarannya. Tapi kita harus secepatnya menemukan antiviral ini, Rick."

"Ya. Tapi banyak berita beredar bahwa virus ini berasal dari pasar bebas perdagangan hewan di Dukhan, Nath."

"I know. Bisa saja itu untuk pengalihan ‘kan? Itu sebabnya aku memintamu meneliti kelelawar. Di dalam tubuhnya terdapat banyak virus bukan? Tapi jelas virus itu tidak berefek apapun pada binatang itu. Dugaan sementara sel-sel itu tinggal dalam sel imun yang akan berpindah ke sel baru saat hewan mengosumsi makanannya. Aku ingin tau kandungan antibodi apa yang ada dalam tubuhnya hingga bisa menangkis semua virus mematikan secara bersamaan."

Nath menghentikan kata-katanya.
Dalam hati, ia memuji kebesaran Allah yang menciptakan segala hal dengan sempurna dengan fungsi serta manfaat yang kadang tak disadari manusia. Bahkan disepelekan. 

Tiba-tiba ia merindukan Laila. Wanita itu selalu mengaitkan penelitian mereka dengan kebesaran Tuhan. Membuat rasa keimanannya kian menguat setiap kali penelitian mereka memampangkan kenyataan yang luar biasa. 

Beberapa hari setelahnya, Nath dan Rick sibuk bolak-balik rumah sakit dan laboratorium pribadi Nath. Sebenarnya bisa saja ia menggunakan laboratorium milik pihak rumah sakit. Namun, Nath takut sesuatu bisa saja terjadi padanya tanpa prediksi yang pasti, karena kecurigaannnya pada keanehan yang berlaku semenjak virus ini mewabah. 

Hingga suatu siang, Nath dan Rick menemukan titik terang. Formula antiviral yang mereka ramu berhasil memulihkan beberapa pasien secara berangsur-angsur. Nath dan Rick sungguh berbahagia untuk itu. 

Malam hari, Nath sedang sendiri di rumah. Lelaki  berkulit putih bersih itu masih sibuk dengan makan malamnya. Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi dari pintu depan. Lalu pintu digedor kuat menciptakan kegaduhan. Nath merasa terganggu dan berjalan membuka pintu. Saat pintu dibuka. 

"Angkat tangan!" Nath terkesiap. Sebuah senapan laras panjang menodong lurus ke arah kepalanya.

♕♕♕

Sementara itu, Laila yang telah tiba di Korsear setelah melewati banyak prosedur, sibuk bolak-balik menatap layar ponselnya. Sudah berhari-hari ia tak mendapat kabar dari Nath. Ia baru selesai memanjatkan do'a seusai salat saat sebuah pesan dari Rick masuk ke ponselnya. 

[Laila, maafkan aku. Sudah berhari-hari aku berusaha menghubungimu. Ini tentang Nath. Malam itu ia sendiri di rumah. Aku pergi mengantar beberapa antiviral temuan Nath kebeberapa pasien. Berkatnya antiviral berhasil memulihkan kesehata pasien terinfeksi. Saat aku kembali, kondisi rumah porak poranda. Hampir seluruh rumah kalian terbakar. Untungnya aku masih menyimpan beberapa antiviral yang bisa jadi sample. Keesokan hari, Nath ditemukan dalam tumpukan puing rumah kalian. Maaf, Laila. Aku berduka untuk ini. Hormatku untuk dr. Jonathan Overof. Bagaimanapun bagiku suamimu tetap pahlawan negara.]

Tangan Laila seketika lemas. Ponsel di tangannya terjun bebas. Air mata mengaburkan pandangannya. Lantai tempat ia berpijak seakan melesak menelan keseluruhan dirinya. Tiba-tiba, semua terasa gelap, sepi, hilang.

Sepekan setelahnya, tersebar berita dari mancanegara bahwa antiviral virus mematikan yang terjadi di kota Dukhan telah ditemukan oleh Haena Laboratorium Centre

Fapilaxir, obat ini mulai beredar di kota Dukhan tempat awal wabah ditemukan. Ini adalah antiviral virus D pertama yang disetujui oleh Medical Product Administration Haena. Laila tersenyum getir saat mendengar berita itu. Ia merasa ada yang aneh, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. 

♕♕♕

Pulau Tapah 2020

Laila sedang sibuk berkebun di samping rumahnya saat tiba-tiba ia merasakan tanah tempat ia berpijak terasa bergetar, bumi terasa bergoyang. 

Gempa!

Laila langsung tanggap melangkah berlari menuju rumah untuk menjemput duo kembarnya Hideo dan Hideko yang sedang berada di dalam rumah. Saat kakinya sampai tepat di depan pintu, sudah ada lelaki yang ia kenali sedang berlari keluar sambil menggendong dua jagoannya. 

“Menjauh dari sini Laila ...!”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top